Chereads / Jodoh yang Disimpan / Chapter 6 - Godaan

Chapter 6 - Godaan

"Apa?"

"Selama ini kamu gak jujur sama aku? Aku merasa ditipu ... " ujar Alexa dingin.

"Maksud kamu apa, Lex?"

"Selama ini kamu menyembunyikan rahasia dariku."

"Rahasia?" tanya Angga kebingungan.

"Kamu ngomong apa sih, Lex? Aku gak ngerti," sambung Angga.

"Kamu bilang, kalau kamu tinggal di kosan. Kamu bilang, kalau kamu hidup sendirian di kota ini. Lalu, ini semua apa?"

"Haish ... kupikir kamu mencurigaiku tentang hal yang aneh-aneh." Angga menghela nafas lega.

Angga perlahan duduk di sebelah Alexa.

"Aku ... tidak bermaksud membohongimu. Aku hanya malas menceritakan latar belakang keluargaku," tuturnya.

Sejak pertama kali mengenal Angga di bangku kelas 3 SMA. Alexa diberitahu bahwa hubungan Angga dengan keluarganya tidak harmonis. Yang Alexa tau, Angga tinggal dengan ayahnya. Angga tidak pernah menceritakan tentang ibunya. Alexa segan untuk menanyakan hal pribadi tersebut.

"Kamu beneran mau tau tentang keluargaku?" Angga menoleh. Netranya langsung bersirobok dengan netra Alexa yang polos.

Alexa mengangguk. "Sejujurnya, aku ingin tahu. Tapi, itupun kalau kamu gak keberatan."

Meski rasa ingin tahu Alexa lebih tinggi dari rasa malunya, tapi dia cukup tau diri untuk menghargai privasi dari sahabatnya itu.

"Dulu ... keluargaku sempurna, hingga ... "

***

"Haish ... dia malah tertidur di sini," gumam Angga.

Setelah mendengar cerita keluarga Angga --yang sebagian besar tidak diceritakan pada Alexa-- Angga mengajak Alexa menonton film. Alexa setuju saja. Dia juga merasa tidak enak hati karena harus mendengar cerita pilu dari mulut Angga.

Angga merupakan anak dari keluarga yang tergolong menengah ke atas. Karena suatu hal --yang Angga tidak ceritakan secara detil-- Angga memutuskan pergi dari rumah. Meski begitu, ayah Angga memberikan segala fasilitas yang mendukung keperluan Angga selama pergi dari rumah. Karena itulah, Angga selalu menyebutkan rumah mewah yang saat ini ia tinggali dengan sebutan kosan. Dia menganggap semua pemberian dari ayahnya adalah sebuah pinjaman yang kelak harus dia kembalikan saat dia sudah bisa berdiri sendiri. Itu janji terbesarnya dalam hati.

Angga sekali lagi menoleh ke arah Alexa. Matanya menelisik tiap inci dari wajah Alexa. Seorang gadis cantik dengan kulit wajah mulus tanpa satupun jerawat yang bertengger di sana. Hanya ada satu titik tahi lalat di bawah bibirnya. Menambah manis komposisi bibir ranumnya.

"Astaga! Kamu mikir apa sih, Ga?! Dia lagi tidur, kamu gak boleh ambil kesempatan saat dia lagi gak berdaya," rutuknya.

Menatap lekat bibir ranum Alexa, otak Angga jadi berfantasi yang aneh-aneh. Ditambah lagi suasana malam yang mendukung karena di luar sedang turun hujan. Udara dingin yang menelusup dari celah jendela membuat jiwa kelaki-lakiannya merongrong ingin dicurahkan.

"Alexa ... bangun. Ayo, pindah ke kamar. Jangan tidur di sini," desis Angga sambil menepuk lembut lengan Alexa. Dia berusaha membangunkan Alexa, setidaknya agar siksaan batinnya segera berakhir.

"Mmm ... " Alexa menggeliat kecil.

Nampaknya Alexa tertidur sangat pulas. Rasa lelah seharian karena mengurusi ini dan itu perihal kesehatan ibunya membuat Alexa benar-benar menenggelamkan diri dalam mimpi.

Angga menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Ia bingung. Mana mungkin dia meninggalkan Alexa tertidur di sofa sendirian.

"Terpaksa harus aku bopong kalau begini," desisnya.

"Alexa, maaf ya ... " bisiknya.

Dengan cekatan, tangan Angga perlahan menarik tangan Alexa kemudian mengangkat kepala lalu memposisikan diri membopong Alexa.

Bukannya tidak merasakan apa-apa bagi Alexa saat Angga mengangkat tubuhnya. Tapi, rasa kantuk dan lelah sudah menguasai dirinya, hingga akhirnya ia memutuskan untuk pasrah dan meneruskan tidurnya. Dia bahkan melingkarkan tangannya ke pundak Angga --memposisikan diri agar senyaman mungkin di gendongan Angga.

Berbeda dengan Alexa. Justru siksaan bagi Angga jika sudah begitu. Tubuh Angga terlalu dekat bahkan bagian depan tubuhnya merasakan benda yang menjadi favorit para kaum laki-laki. Gesekan demi gesekan akibat pergerakan dirinya membopong Alexa membuat sesuatu dari dirinya "terbangkitkan". Pikirannya sudah tidak keruan. Ada bisikan yang berusaha menjebol pertahanan kewarasannya. Angga di ambang kewarasannya!

'Ayolah Angga! Jangan macam-macam!' geramnya dalam hati.

Hanya berjarak satuan meter, dirinya membawa tubuh Alexa hingga ke depan tempat tidur, tapi rasanya jarak itu begitu jauh bagi jiwa kelaki-lakiannya. Sungguh menyiksa!

Perlahan Angga menurunkan tubuh Alexa ke atas ranjang. Jika saja bisa terdengar oleh para pembaca, hati Angga bersorak seolah mendapatkan kemenangan karena sudah berhasil memindahkan tubuh gadis yang dicintainya tanpa menggubris pikiran liar yang terus merangsek dan merusak kewarasannya.

"Selamat tidur, Alex," lirihnya seraya menutup pintu kamar.

Baru saja, Angga melepas tuas pintu kamar Alexa dan hendak beranjak ke kamarnya, tiba-tiba saja sebuah suara menggelegar terdengar dari luar rumah, diikuti sebuah kilatan cahaya dari balik jendela ruang tamu. Lalu setelahnya adalah gelap gulita. Semua lampu di rumah padam.

"Anggaaa!!!!"

Suara teriakan dari dalam kamar menghentak telinga Angga.

Angga bergegas membuka pintu kamar Alexa. Tubuhnya hampir saja terjengkang ke belakang jika saja pijakan kakinya tidak begitu kokoh. Alexa menghambur ke pelukan Angga.

Buru-buru Angga merogoh kantong celananya dan mengeluarkan ponselnya. Dia menyalakan senter dari ponselnya. Dia butuh penerangan untuk melihat kondisi Alexa.

"Angga ... aku takut." Benar saja, tubuh Alexa bergetar.

Angga sangat tau ketakutan Alexa sejak dulu. Angga mengetahuinya saat pertama kali mengajak Alexa menonton film di bioskop. Saat itu lampu dipadamkan dan Alexa spontan menjerit, sama seperti yang dilakukannya saat ini.

"Ssshh ... aku di sini. Kamu jangan takut."

Angga mencoba menenangkan Alexa. Ia lalu menuntun Alexa kembali ke ranjangnya.

"Aku keluar dulu cari lilin. Kamu tidur saja, ya."

"Kamu jangan pergi ... tetap di sini. Di sampingku," pinta Alexa memelas.

Tangan Alexa menggenggam tangan Angga erat. Seolah takut ditinggalkan oleh Angga.

"Baiklah ... aku gak akan ke mana-mana. Aku rasa baterai ponselku cukup untuk menemani kita malam ini," ujar Angga sambil menilik icon baterai di ponselnya.

Angga meletakkan ponselnya di atas nakas. Meski cahaya dari senter ponselnya tidak mampu menerangi seluruh ruangan, setidaknya Alexa merasa tenang karena Angga ada di sampingnya.

"Angga ... terima kasih, ya. Kamu selalu ada di sampingku saat duniaku hampir runtuh," lirih Alexa.

"Kamu gak usah berterima kasih padaku. Tanpa kamu minta pun aku akan selalu ada untukmu," sahut Angga.

"Angga ... "

"Hmm ... kenapa Lex?" sahut Angga dengan mata yang masih terpejam.

"Kamu bilang, kalau kamu selalu mengabulkan permintaanku meski aku belum mengucapkannya."

Batin Angga langsung was-was. Kira-kira dalam hatinya bertanya-tanya 'Alexa memintaku untuk apa? Semoga saja bukan hal yang tidak masuk akal.'

"Kamu mau minta apa? Jangan bilang, kamu mau minta hujan-hujanan atau pulang ke rumah saat ini juga. Aku tidak bisa mengabulkan itu," tukas Angga.

"Bukan ... "

"Lalu?"

"Bisakah kamu, menemaniku tidur. Maksudku ... kamu tidur di sebelahku. Aku tidak bisa tidur sendirian," ucap Alexa setengah berbisik.

Mata Angga melebar seketika. Beruntung saat itu keadaan sedang gelap, jadi Alexa tidak bisa melihat reaksi terkejut dari Angga.

"Kamu ... gak apa-apa? Aku takut kamu tak nyaman," kilah Angga.

"Gak apa-apa ... naiklah."

Meski takut dan berdebar. Angga tetap mengikuti permintaan Alexa. Dia perlahan duduk di tepi ranjang. Menghitung jarak adalah tugas terberatnya saat itu.

Satu gerakan impulsif yang membuat Angga tersentak hebat. Alexa merangsek dan menarik tangannya ke dalam pelukannya. Membuat kulit tangannya yang polos menyentuh benda kenyal milik Alexa.

'Astaga ... godaan macam apa ini Tuhan ... ' desah Angga dalam hati, gusar.