Suara bising kendaraan dan padatnya stasiun yang berada di pusat ibukota Bhuvelle, menjadi kebiasaan lama para pekerja yang ingin kembali pulang ke rumah dan bertemu keluarga yang menunggu kepulangan mereka. Seorang perempuan yang memakai pakaian formal setengah berlari menuju gerbong kereta yang menjadi tujuannya.
" Permisi!" ujar perempuan itu seraya mencari tempat untuk berpegangan. Setelah berdesakan dengan penumpang lainnya, akhirnya perempuan itu melihat ke arah jendela kereta. Langit mulai mendung dan nampaknya perempuan itu melupakan payungnya. Dia teringat dengan kenangan saat adiknya menunggu dirinya datang menjemput karena lupa membawa payung. " Seperti dulu kan Genzi? Kau selalu mengabaikan ocehan kakakmu ini." Pikirnya seraya tersenyum melihat ke arah luar jendela gerbong kereta.
Senyuman dibibir perempuan itu menghilang, begitu matanya menangkap sebuah pemandangan yang tidak etis. Perempuan itu mencoba untuk lebih dekat ke posisi gadis berumur 17 tahun itu. Seorang pria paruh baya mencoba menyentuh gadis itu. Namun perempuan itu lebih dulu merangkul gadis yang sedang ketakutan. Perempuan itu menatap tajam pria yang memiliki niat kurang baik terhadap gadis remaja di sampingnya.
POV Anna
Namaku adalah Anna. Perempuan berumur 24 tahun yang bekerja di salah satu perusahaan swasta. Jadwalku seperti pekerja pada umumnya, dan hari ini aku menyempatkan diri mendatangi salah satu psikiaterku Nathan. Namun malah berurusan dengan pria paruh baya yang masih mengelak saat ditanya petugas stasiun.
" Bapak ini sudah melecehkan gadis ini. Saya melihatnya dengan mata kepala saya sendiri. Sekarang minta maaflah pada gadis ini." Ujar Anna seraya bersedekap. Melelahkan dan menjengkelkan sekali pria paruh baya ini. Seharusnya dia tadi mengancam sedikit bapak ini dengan meminta pengakuan beberapa saksi mata, supaya dia tidak terlambat dengan jadwal kunjungannya hari ini.
" Baiklah, saya minta maaf. Kalau begitu saya pergi." Ujar pria itu seraya melangkah pergi begitu saja.
" Minta maaf macam apa itu? Sopan sekali, Hei pak!" Tuntut Anna seraya menyusul pria itu namun ditahan oleh gadis yang menjadi korban pria itu.
" Sudahlah mba, saya tidak apa-apa. Terima kasih sudah membantu saya. Maaf sudah merepotkan mba." ujar gadis itu seraya menunduk.
" Sama-sama, lain kali lebih hati-hati." Ujar Anna seraya tersenyum.
" Adik sendirian sajakah?" Tanya Anna sebelum berniat meninggalkan gadis itu.
" Iya, tapi sebentar lagi kakak saya datang." ujar gadis itu seraya memeriksa layar handphonenya.
" Karina!" Panggil seorang pria dari seberang.
" Kakak!" Sahut gadis itu seraya melambai ke arah kakaknya.
" Nathan?"
" Mba kenal dengan kakak saya?" tanya gadis itu yang dijawab anggukkan kecil dari Anna.
***
Tidak disangka bila gadis yang ditolongnya barusan adalah adik dari pskiaternya. Setelah menceritakan kejadian barusan Nathan mulai protektif terhadap adiknya setiap adiknya hendak izin setelah sesi kunjungan terapinya berakhir. Nathan melarangnya untuk pergi sendirian.
" Maaf, boleh aku bicara tentang sikapmu pada adikmu, walau pun aku sendiri hanya pasienmu tetapi kau terlalu khawatir pada Karina." ujar Anna setelah melihat wajah Karina yang selalu muram setelah bertemu kakaknya.
" Tapi aku hanya mencoba menjaga Karina. Dia saudara perempuanku satu-satunya. Aku menghindari kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada adikku." ujar Nathan khawatir.
" Iya tapi kau tidak perlu terlalu keras bersikap padanya. Dia hanya ingin keluar sebentar, apalagi hanya di sekitaran komplek. Lagi pula Karina sudah mulai mempelajari bela diri." ujar Anna seraya melihat sedikit pemandangan dirinya saat kehilangan adiknya Genzi pada diri Nathan.
" Maaf, aku terlalu khawatir. Terima kasih telah menyadarkanku." Ujar Nathan seraya menatap Anna. Alis Nathan berkerut begitu melihat Anna sedikit tertawa.
" Lucu sekali, kau bahkan mendengarkan nasihat pasienmu sendiri." Ujar Anna meledek. Nathan hanya tersenyum melihatnya.
" Apa kau ada rencana minggu ini?" tanya Nathan seraya menulis resep obat.
" Ada, aku mau berencana pergi ke Guador malam minggu." ujar Anna sembari memainkan jemarinya.
" Oh, kau berencana keluar kota. Apa kau pergi sendirian atau bersama teman?"
" Aku sendirian. Temanku memiliki kesibukannya masing-masing." ujar Anna lalu menerima kertas obat yang diberikan oleh Nathan.
" Kebetulan jadwalku saat itu sedang kosong. Apa kau mau kutemani?" Tawar Nathan seraya melepas kacamatanya.
" Tidak perlu. Guador itu cukup jauh. Lagipula kau akan tambah kerepotan jika mengawasi dua adik. Aku cukup stabil untuk berpergian bukan?" ujar Anna lalu bangkit dari kursinya.
" Tidak apa-apa lagipula aku berniat mengajak Karina setelah beberapa minggu jarang pergi bersama. Lagipula apa yang membuatmu pergi ke sana?" Tanya Nathan.
" Ada urusan yang harus aku selesaikan di rumah lamaku. Lagipula sepertinya rumah itu agak sedikit kurang nyaman untuk tempat berlibur." Ujar Anna seraya tersenyum.
" Kelihatan ya? Maaf tapi aku akan berusaha untuk membantumu. Lagipula aku dan Karina bisa menginap di penginapan."
" Baiklah, jika kau tidak keberatan. Terima kasih banyak atas terapinya Nathan. Dah Karina.." ujar Anna seraya melambaikan tangan pada Karina yang melongok dari balik pintu kamarnya.
" Sama-sama. Berhati-hatilah." Ujar Nathan seraya membuka pintu.
" Mba besok ada acara? Kalo gak ada mau ke perpustakaan gak sama Karin?" Tanya Karina pada akhirnya dia melihat takut-takut ke arah Nathan dan memohon pada Anna.
" Mba bisa temenin kamu ke perpustakaan kok. Tenang saja Nathan, Karin aman bersamaku. Sekalian beli perlengkapan buat berpergian besok." Ujar Anna. Jarinya mencoba mengacak rambut Karin.
" Oh oke, tapi kamu jangan ngerepotin Anna paham?" ujar Nathan seraya melihat ke arah Karina. Karina hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum manis.
Anna melihat hubungan kedua bersaudara yang begitu hangat. Seperti hubungannya dengan adiknya Genzi dulu. Jikalau Anna bertemu dengan Genzi walaupun tidak saling mengenal tetapi setidaknya Anna tahu jika Genzi ada di tempat yang sama. Begitu lekatnya sosok manis dan lucu yang selalu memanggil namanya dibenak Anna. Mungkin Genzi sudah seumuran dengan Karina saat ini.
POV Nathan
Nathan melihat tatapan Anna yang sedih dan bahagia bersamaan. Perkiraan Nathan benar ternyata, Anna masih terhanyut oleh sosok adiknya yang menghilang. Sebenarnya Nathan penasaran dengan rangkaian kejadian masa lalu yang diceritakan Anna. Penyebab keluarganya menghilang begitu ganjil. Nathan merasa jika Anna memiliki trauma mendalam hingga melupakan beberapa kejadian. Perempuan yang kuat dan tangguh. Ke rumah lamanya adalah kunci sekaligus ujian sesungguhnya bagi Anna.
Kasus menghilangnya keluarga Anna menjadi kasus yang cukup hangat di tahun 2007 lalu. Nathan memiliki kekecewaan terhadap sanak keluarga Anna yang mengabaikan mental anak umur 10 tahun. Bahkan Anna sendiri baru menjalani pengobatan sekitar 1 tahun lalu atas keinginannya sendiri. Sungguh disayangkan karena Anna benar-benar sudah melewati fase itu tanpa pengobatan dan penyembuhan. Walaupun keluarganya mengurus kebutuhan primer dan sekunder Anna dengan baik tetapi satu hal yang paling penting yaitu mental. Anna berjuang sendirian menanggung beban itu selama hampir 14 tahun lamanya.
Nathan sebenarnya cukup terkejut dengan ucapan Anna setelah sesi terapi. Tetapi dia ingin melihat perkembangan Anna. Jika Anna menunjukkan gelagat tidak biasa, Nathan akan mencoba untuk menunda rencana Anna lalu pulang dan kembali lagi ke rumah lama Anna setelah kondisinya benar-benar stabil.