Gerald duduk nyaman di meja belajar sambil mengerjakan tugas sekolahnya. Meskipun sering bolos pelajaran, ia masih ingat pekerjaan rumah (PR), se-nakal-nakalnya Gerald, ia tidak bodoh dalam semua mata pelajaran.
Saat sedang fokus mengerjakan tugas Kimia, pintu kamar Gerald digedor oleh seseorang.
"WOE GERALD! BUKA DULU WOE!" teriak orang tersebut dari luar.
Gerald menghela nafas lalu berdiri dengan malas untuk membukakan pintu kamarnya.
"Lemot banget sih, Lo!" protes cowok itu kesal.
"Mau apa?" tanya Gerald.
"Lo lagi ngapain?" tanya cowok tinggi itu sambil mengintip sedikit kedalam kamar Gerald.
Gerald keluar dan menutup pintu kamarnya. "Mau apa?" tanyanya lagi.
"Mami bilang besok papi pulang, Lo disuruh jemput bareng gue ke bandara." ujar Gevan.
Gevan Mahendra, Saudara kandung dari Gerald Mahendra. Tinggi mereka setara, tapi berbeda sifat. Gerald yang cuek, dingin dan pendiam. Sementara Gevan, cowok itu humoris, ramah dan hangat kepada semua orang.
"Oke."
Saat hendak kembali kedalam kamar, Gevan menghentikannya, "mami nyuruh makan malamnya dibawah, ada yang mau mami omongin."
Gerald mengangguk lalu kembali ke kamarnya untuk melanjutkan tugas sekolahnya.
Gevan menatap pintu kamar adiknya itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Gini amat punya adek yang sifatnya 11 12 sama kutub es, kalau ngomong irit banget," ucap Gevan lalu turun kebawah untuk membantu maminya menyiapkan makan malam.
Ditempat yang berbeda, Gina duduk merosot di balik pintu kamarnya. Gadis itu kembali menangis, kata-kata kasar dan perlakuan kasar yang ia lihat dari sang ayah kepada mamanya membuatnya sangat sesak. Ia tidak tega melihat mamanya diperlakukan kasar oleh ayahnya.
Sepulang dari perjalanan bisnis di Amerika, mamanya selalu mendapat pukulan dari ayahnya. Gina ingin membela mamanya pun percuma, mamanya tidak pernah mau mendengarkan Gina untuk pisah dari ayahnya itu.
Dari kecil Gina selalu menyaksikan perlakuan kasar ayahnya. Mamanya? Rita hanya pasrah ketika mendapat pukulan, dan pernah sekali ayahnya melempar kursi kayu kearah Rita namun dengan cepat Gina berlari melindungi mamanya alhasil Gina pingsan dan langsung dibawa ke rumah sakit.
Sepulangnya dari rumah sakit, lagi-lagi Gina melihat hal yang sama. ia hanya bisa menangis tanpa berbuat apa-apa. Gadis itu bahkan pernah melaporkan Ayahnya pada Neneknya di Bandung menggunakan telepon, dan Tomi dinasehati habis-habisan oleh ibunya. Tahu jika Gina yang melaporkan dirinya kepada ibunya, Tomi marah besar dan menghukum Gina selama tiga hari. Pria itu mengurung Gina didalam kamar tanpa makan dan minum, alhasil ketika hukuman Tomi selesai Gina kembali dibawa ke rumah sakit karena dehidrasi dan kekurangan gizi.
Setiap hari Gina selalu memakai berbagai jenis topeng untuk menutup kesedihannya. Ia selalu cerita pada dua sahabatnya jika dirinya mempunyai keluarga yang humoris, dan hangat. Ayahnya sering bercanda, dan ibunya yang sangat perhatian, setiap ia bercerita pada Dinda dan Riri, Gina selalu menangis, tapi ketika ditanya, ia menjawab jika ia terharu dan bahagia mendapat keluarga yang diidam-idamkan oleh orang banyak.
Gina mengusap air matanya kasar, ia harus berjanji pada dirinya sendiri agar suatu saat bisa membawa mamanya pergi jauh dari rumah ini. Ia harus menyelamatkan mamanya dari ayahnya yang kejam dan kasar.
Gadis itu bangkit berdiri lalu pergi ke kamar mandi untuk mencuci mukanya dan tidur.
Pagi harinya Gina sudah siap dengan seragam sekolahnya, ia harus belajar untuk bangun lebih awal agar tidak merepotkan mamanya lagi. Ya Gina harus berubah demi mamanya.
Sedari tadi gadis itu berdecak kesal, pasalnya ia meminta Gerald untuk menjemputnya untuk ke Sekolah bersama-sama, tapi cowok itu malah menolak ajakkannya.
Gina men-dumel sambil menuruni tangga, saat dimeja makan, dia tidak menemukan mama dan ayahnya. Gina menghela nafas berat, kemudian menarik kursi dan duduk untuk sarapan pagi, sendiri.
Ia mengambil dua lapis roti tawar dan mengoleskannya dengan selai kacang dan memakannya dengan lahap. Gadis itu melirik jam tangan mungilnya yang melingkar dipergelangan tangannya yang menunjukkan pukul 06:30. Masih aman, batinnya.
Jam istirahat telah berbunyi lima menit yang lalu, Gina, Dinda dan Riri sudah nongkrong dikantin untuk makan. Sedari tadi Dinda diam tak banyak berbicara, gadis itu sepertinya ada masalah.
"Din!" Panggil Gina.
Dinda menoleh.
"Ada masalah?" tanya Gina.
Dinda mengangguk, "Iya, gue lagi ada masalah," katanya.
"Masalah apa?" kini giliran Riri yang bertanya.
"Masalah hati, gue lagi patah hati guys," ujarnya semakin murung.
Gina dan Riri saling bertatapan, kemudian kembali menatap Dinda.
"Emang siapa, yang buat hati Lo, patah?" tanya Gina polos.
"Siapa lagi kalo bukan Vian, kemarin gue liat dia jalan berduaan sama Ana di Mall sambil gandengan." jelas Dinda, setelah itu dia menghela nafas berat.
"Udah tau Vian itu nge-bucinin Ana, masih aja Lo kejar tuh cowok," ujar Riri lalu memakan baksonya santai.
"Ya mau gimana lagi, gue udah suka sama Vian dari SMP sebelum Vian suka sama Ana."
"Ya itu salah Lo sendiri, coba dari awal kalo Lo emang suka sama dia Lo bilang, kalo perlu Lo perjuangin. Jangan gengsi, atau pun bilang 'cewek gak ada sejarahnya ngejar cowok'"Kata Riri sambil menye-menye.
"Justru Lo harus buat sejarah kalo cewek juga perlu perjuangkan seseorang yang dia suka!" lanjut Riri.
Dinda memutar bola matanya malas, "Cerita cinta Lo gak kayak gue sama Gina, Ri. Lo nggak tau rasanya mendam perasaan sama seseorang Lo suka bertahun-tahun tanpa Lo ungkapin. Lo ngomong seolah itu mudah, tapi enggak menurut gue, butuh pertimbangan dan mikir panjang buat, itu." papar Dinda menggebu-gebu.
Riri tertawa pelan kemudian menyeruput es tehnya. "Lo mau tau cerita Cinta gue kayak gimana? Gue juga sama kayak kalian, suka sama seseorang yang gak suka sama sekali sama kita. Lo nanya gimana rasanya? Rasanya sakit broo! Tapi karena gue harus mendapatkan apa yang gue mau, gue berjuang!" balasnya tak kalah sengit.
Brak!
"Lo berdua kok berantem sih?! Kalo cerita cinta kita sama, ya berarti itu emang udah takdir kita! Untuk Lo Din! bener kata Riri, Lo harus ungkapin perasaan Lo sebelum terlambat! Dan untuk Lo Riri, sana samperin Bintang yang senyumin Lo dari tadi di luar kantin!" ujar Gina dengan kesal, ia menatap kedua sahabatnya itu tajam.
Riri menoleh kearah luar kantin, benar yang diucapkan Gina, Bintang sudah tersenyum manis padanya dan memanggilnya untuk keluar dengan melambaikan tangannya.
"Gue samperin Bintang dulu ya, Kayaknya ada yang mau diomongin." pamitnya.
"Yaudah sana," acuh Dinda masih kesal.
"Buat Lo Din, mending Lo mulai drama deh sana, pesenin gue jus strawberry. Mumpung si Vian lagi mesen minuman juga," titah Gina.
mendengar nama Vian, Dinda langsung semangat empat lima, Gadis itu lalu berdiri dan pergi untuk memulai lakonnya.
Gina memukul dahinya pelan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Punya temen pada sarap semua."
"Dari pada gue gabut sendiri mending gue samperin Gerald," ujarnya bermonolog lalu pergi menghampiri meja dua cowok tampan di pojok kantin.
"Hallo my hani bani bebi switi!" sapanya pada Gerald lalu duduk di samping cowok itu.
"Makin lengket aja Lo berdua, jadian napa!" ujar Alder, cowok itu tersenyum menggoda sahabatnya yang menatapnya datar.
"Kan kita emang udah jadian Al," jawab Gina.
"kapan?"
"Lah Lo lupa kalo gue pernah nembak Gerald dikantin? kan gue gak terima penolakan dari Gerald, jadi kita pacaran dong." jelas Gina tanpa memperhatikan tatapan maut dari Gerald.
"Wah ide nembak Lo boleh juga, nanti gue praktekin deh," kata Alder sambil terkekeh. "Jadi Lo berdua jadian?" tanyanya.
"Iya."
"Gak!"
Alder mendengar jawaban kompak dari keduanya tiba-tiba tertawa ngakak, "Lo gak denger yang Gina omongin tadi Ger?"
"Gue gak peduli!"
"Gitu aja terus, sampe Lo beneran suka sama Gina," Alder menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Gue gak suka sama dia, gue udah ada tunangan!" ucap Gerald penuh penekanan.
"Yakin Lo gak suka sama gue Ger?" kini giliran Gina yang bertanya, gadis itu menopang dagunya sambil menatap Gerald dari samping.
"Hm."
"Ger, yakin Lo gak suka sama Gina?"
"Bacot lo!"
[Sudah direvisi✓]