Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

One Story About Life

šŸ‡¦šŸ‡ØRengginang
--
chs / week
--
NOT RATINGS
5k
Views
Synopsis
Berisi kumpulan cerpen tentang kehidupan
VIEW MORE

Chapter 1 - Alvin : 10 Tahun Sebelum Hari Ini (1)

Masa remaja itu masa yang paling menyenangkan. Tiba-tiba saja kalimat itu melintas saat melihat beberapa anak dengan seragam sekolah melewatiku. Dulu, dulu sekali aku juga pernah seperti mereka. Mengenakan seragam setiap harinya, bercengkrama ria saat pulang sekolah dan sesekali duduk berdua dipinggir sungai sebelum pulang kerumah. Dulu, dulu sekali aku juga menikmati masa remaja seperti mereka, bertemu dijam istirahat saling menunggu didepan pagar, sesekali bertukar surat diakhir pekan. Cerita kisah kasih disekolah memang selalu populer tidak mengenal berapa tahun berlalu tetap hangat untuk dibahas atau sekedar dikenang sesekali ketika hujan turun.

Seperti hari ini, saat November yang selalu dikaitkan dengan hujan aku mendapat tugas tambahan di Universitas tempat ku bekerja. Bukannya tidak menyukai pekerjaanku, aku malah bersyukur setelah lulus kuliah aku dipromosikan untuk menjadi pengajar disalah satu Universitas terbaik. Disaat lulusan seusiaku sibuk memasukan lamaran aku sudah bisa berdiri didepan calon-calon pelamar pekerjaan. Hal itu slalu membuatku bersyukur memilih jalur pendidikan yang kutempuh meskipun ada cerita yang cukup panjang mengiringinya. Cerita yang membuat sedikit pilu jika dikenang bersama hujan.

"Ambillah...." Minuman kopi kalengan yang hangat muncul dihadapan mukaku. "Jangan menunjukkan ekspresi seperti itu, kau akan terlihat lebih tua jika tiidak bersemangat."

Kupaksakan senyum kecil mengembang, mungkin dia kira aku masih anak kecil.

"Tentang data yang profesor minta kemarin sudah lengkap?" Aku mencoba membuka obrolan setelah kami cukup lama berdiam menikmati minuman masing-masing.

Dika tampak mengingat ingat isi kepalanya. "Belum sampai setengah, literaturnya masih banyak kurang. Harusnya kita bawa payung saja tadi."

"Hehehe" aku sedikit memaksakan tertawa lagi. Dika adalah teman ditempatku bekerja, dia juga merupakan asisten profesor, umur kami juga tidak terlampau jauh namun sikapnya jauh lebih kanak-kanak dari usianya.

"Aku harap hujan cepat berhenti. Aku benar-benar lelah sekarang."

Aku setuju badanku juga benar-bemar lelah, rasanya ingin segera mandi dan merebahkan diri dikasur lalu mulai bermimpi indah. Jarak ke stasiun memang tidak terlalu jauh namun dengan hujan sederas ini baru satu menit berjalanpun sudah akan basah hingga ke dalam. Sebab itulah kami memutuskan untuk berteduh singga hujan sedikit reda dan disaat seperti ini aku melihat beberapa anak sekola yang memiliki nasib serupa dengan kami. Sedikit bernostalgia, dulu hujan selalu menyenangkan.

Cerita itu bermula saat aku masih menjadi remaja dengan usia belasan tahun. Berbeda dengan tempat tinggalku sekarang, masa sekolahku dihabiskan didesa yang cukup jauh dari kota, sekarang kusebut sebagai kampung halaman tempat orangtuaku tinggal dan tempatku kembali diakhir tahun. Zamanku dulu juga berbeda dari zaman sekarang kemajuan teknologi masih sulit dirasakan, sekedar handphone pun masih untuk kalangan terbatas dan biasanya hanya untuk mereka yang benar-benar mampu. Untuk orang sepertiku dan beberapa temanku, bertukar surat menjadi salah satu hobby kami.

Tentang cintapun tidak kalah manisnya seperti anak muda sekarang. Ada satu wanita yang membuatku jatuh hati, rambutnya panjang berwarna hitam selalu dibiarkan terurai. Senyumnya tidak pernah bosan dilihat, gayanya natural tanpa make up dan cara berpakaiannya pun sederhana tidak berlebihan. Dia anak terpintar dan selalu menjadi primadona dikalangan sekolah. Bagiku dia wanita yang sangat sempurna pada masa itu.

Aku juga tidak tahu alasan kenapa dia juga menyukaiku, pada dasarnya aku bukan lelaki yang romantis, aku juga tidak memiliki gaya yang cool atau kendaraan yang saat itu juga masih sangat langka. Aku hanya Alvin lelaki desa biasa yang sangat suka bermain sepak bola dilapangan terbuka atau mandi di sungai sambil menangkap ikan. Kehidupan anak desa yang sudah sangat langkah sekarang namun dibalik itu semua aku memiliki keberanian untuk mengatakan perasaanku padanya.

Hari itu juga hujan seperti hari ini.Aku mendapat tugas tambahan setelah beberapa hari absen karena sakit. Saat pulang hari sudah lumayan sore dan suasa sekolah mulai sepi. Dari arah koridor aku dapat melihat dia berdiri sendiri, Sesekali dia menyeka air hujan diwajahnya, seragam sekolah yang saat itu masih pendek juga basah terkena rintikan hujan. Bahkan dibawah hujanpun dia tetap cantik.

"Lupa bawa payung?" Aku memberanikan diri menghampirinya.

Dia hanya mengangguk kecil dan tersenyum.

"Mau pulang bersama? Aku bisa mengantarmu pulang sampai rumah."

Jika diingat-ingat lagi saat itu aku mencoba bersikap keren didepannya namun ketika melihat wajahnya tersipu jantungku berdetak lebih keras. Disepanjang perjalanan kami tidak berbicara satu sama lain. Dia begitu dekat, pundak kami beraentuhan dan aroma samponya tercium jelas. Hal itu membuatku gugup namun sekali lagi aku mencoba bersikap seperti mana aku biasanya. Hal itu tidak berhasil banyak, karena jantungku tetap tidak bisa diajak kompromi. Ini pengalaman pertamaku begitu dekat dengan perempuan, atau bisa dikatakan seperti ini ketika berjalan bersama teman perempuan yang lain aku tidak berespon seperti ini. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan dulu, wajar saja saat itu aku belum memiliki banyak pengalaman.

"Terimakasih." Ucapnya memecah keheningan diantara kami.

"Tidak masalah, lagi pula rumah kita satu arah."

Dia kembali menunjukkan wajah tersipunya, "Bukan hanya hari ini. Kamu selalu datang membantu setiap kali aku kesulitan."

Ucapannya sedikit membuatku terkejut, aku mencoba mengingat kembali ketika aku membantu dia dan baruku ingat meskipun dia pintar dia anak yang cukup ceroboh. Sekarang apa kamu sering menjatuhkan buku yang kamu bawa? Memecahkan gelas didekat tanganmu? Atau salah meletakan sepatu di loker orang lain? Dulu kecerobohan kecilmu selalu membuatku tertawa.

"Itu bukan masalah besar karena aku sering memperhatikanmu."

Diluar dugaan dia menunjukan ekspresi yang sangat terkejut. Tunggu, apa aku salah bicara?

"Ehhh maksudku bukan seperti itu..." tiba-tiba saja aku kebingungan dengan apa yang ingin aku sampaikan, "Aku tidak bermaksud menjadi stalker, maksudku semua orang selalu memperhatikanmu."

Aku berharap dia tidak mentertawakan jawabanku. Sungguh, bodoh sekali aku ini.

"Tidak apa." Dia tersenyum dengan pipi berwarna merah muda. "Aku juga dari dulu selalu memperhatikan Alvin."

Kali ini wajahku yang dibuatnya merona. Apa yang harus aku lakukan?

November hari itu bukan hanya tentang hujan.