Beberapa waktu akhirnya berlalu dan aku memiliki kisah sekolah yang diimpikan semua orang. Memasuki tahun kedua disekolah menengah aku memiliki seorang pacar. Namanya Vania murid terpintar sekaligus tercantik yang selalu menjadi perhatian banyak orang. Dapat dibayangkan bagaimana bahagianya aku saat itu dan bagaimana irinya mereka.
It is not about how smart you are, but how lucky you are.
Vania juga tidak seperti wanita kebanyakan yang menuntut ini dan itu. Seingatku dia tidak pernah marah tanpa alasan yang jelas, dia juga tidak meminta dibelikan barang ini dan itu, dia juga tidak pernah berkomentar tentang hadiah yang aku berikan meskipun itu hanya bunga mawar dalam pot milik ibuku yang kuambil untuk hadiah di hari anniversary. Jika aku yang saat ini bercerita bisa kembali ke masa itu aku benar-benar ingin memukul diriku sendiri.
Saat itu juga belum secanggih sekarang, jika sekarang kamu bisa berkomunikasi tidak peduli seberapa jauh jaraknya dulu sekali kamu hanya bisa menelepon lewat telepon umum dengan memasukan koin. Itupun harus mengantri lamanya. Jarak rumahku dan vania memang tidak terlalu jauh namun juga tidak dekat sehingga masa liburan adalah hal paling tidak aku suka. Kami tidak akan bertemu disekolah, kami tidak bisa mengobrol, kami tidak bisa pulang bersama. Aku hanya bisa menemuinya ketika hari minggu. Untuk menyiasati hal itu kami bertukar pesan menggunakan surat, bertindak sebagai pak pos adalah anak-anak kecil yang kami beri permen sebagai upahnya. Hal itu berlangsung setiap hari selama musim libur. Jika aku membantu orangtuaku bekerja, aku akan membawa pena dan kertas. Sesekali aku mengotori surat itu.
Ide seperti itu pertama kali dicetuskan oleh vania sendiri setelah beberapa waktu kami memutuskan untuk bersama. Dia membantuku belajar matematika tentang trigonometri yang sangat sulit aku pahami,
"Vin, kamu pernah dengar kisah pasangan yang terpisaj jarak namun terap bersama karena surat?"
Aku tidak begitu menanggapi ucapannya, mataku masih fokus mengerjakan setiap soal yang ada dibuku. "Hmmmm." Respon yang singkat.
"Menurutku kisah mereka romantis."
"Hmmmmm." Respon kedua.
Dia mendorong badanku sedikit menggunakan kakinya, "Ayolahh. Aku serius."
"Hmmmmm." Entah hanya untuk mengganggunya atau memang tidak tertarik dengan bahasan itu, aku tidak memberikan respon yang lain.
"Bagaimana kalau kita juga bertukar surat."
"Untuk apa? Kita kan bertemu setiap hari disekolah." Akhirnya aku memberi jawaban yang lebih rasional dari pada sekedar hmmmmm
"Tapi sebentar lagi kan liburan." Dia kembali meyakinkan.
"Aku bisa main kerumahmu kalau kamu rindu."
Dia mengalihkan tatapannya, menghindari kontak mata langsung. Dari sudut mataku, aku dapat melirik wajahnya yang tersipu. Cantik seperti biasanya.
"Lewat surat kita bisa memberitahu apa yang tidak bisa kita katakan."
Aku tidak membalas ucapannya. Kami memasuki musim liburan, aku akhirnya terbawa arus bertukar surat dan benar saja beberapa hal memang lebih mudak disampaikan lewat tulisan. Dalam sehari kami dapat bertukar 4 sampai 5 surat dan selama musim liburan aku membeli banyak permen. Hal sederhana namun tidak dapat terlupakan.
Hubungan kami berjalan baik-baik saja untuk waktu yang cukup lama,menghindari pertengkaran-pertengkaran kecil yang dianggap tidak perlu. Mencoba menjadi dewasa dan berpikir lebih dewasa untuk hubungan ini. Namun tetap saja seberapapun kerasnya mencoba kenyataannya saat itu kami hanya anak sekolah menengah dengan pemikiran remaja yang keras kepala.
Masalah berawal saat kami memasuki semester akhir ditahun ketiga. Sekolah semakin melelahkan dengan pelajaran tambahan diakhir kelas, belum lagi jadwal ujian yang semakin dekat, jadwal praktek yang tidak ada habisnya, tekanan menghadapi ujian akhir dan kami dituntut untuk mulai memikirkan akan melanjutkan kuliah atau memutuskan bekerja. Sungguh menjadi siswa tingkat akhir tidak seindah yang dibayangkan.
Hal itu juga membuat aku dan vania semakin jarang bertemu, dari tahun kedua dan ketiga kami selalu berbeda kelas. Pulang sekolah yang biasanya kami duduk bersama sekarang lebih memilih langsung pulang agar bisa beristirahat. Jam istirahat lebih banyak kami habiskan untuk makan siang atau mengistirahatkan badan sebelum memulai belajar kembali. Tanpa disadari komunikasi kami mulai merenggang, berbagai macam perasaan tidak dapat diungkapkan dan kami lebih memilih untuk memendamnya dan besikap seperti tidak ada yang perlu disampaikan. Perlahan namun pasti semua mulai terasa berbeda.
Pernah suatu hari ketika Vania menghampiriku dilapangan sesaat sebelum aku bermain bola kaki,, Vania memberi pertanyaan yang cukup sulit untuk dijawab.
"Vin, apa kamu mulai merasa kita berbeda?"
Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba Vania menanyakan hal seperti itu. Menurutku walaupun kita mulai jarang berbicara kita tetap memiliki hubungan ini.
"Ini hanya perasaanku atau kamu mulai terasa jauh?"
Vania menunjukkan raut wajah yang seharusnya lebih aku perhatikan. Aku tidak dapat menerjemahkan kesehedihan yang dia sembunyikan saat memaksa untuk tersenyum. Hari itu dia terlihat baik-baik saja menurutku. Berapa kalipun dipikirkan aku tidak memiliki jawaban untuk pertanyaannya.
"Jadi tentang universitas yang akan kamu pilih...."
"Bukannya aku sudah memberi tahumu sebelumnya, tidak ada universitas lain yang ingin aku tuju." Aku menyela pertanyaan sebelum dia selesaikan. Kenapa hari itu aku besikap begitu dingin?
"Ah iyaa, tentu saja..." vania diam sejenak "Oh iya Vin, aku..."
"Alvinnnnnn" seorang teman dari seberang lapangan memberiku isyarat jika permainan akan segera dimulai.
"Sorry Vania. Bisa kita berbicara lain waktu."
Aku berlari meninggalkan Vania tanpa memperhatikan seperti apa raut wajahnya sekarang. Aku tahu aku salah. Seharusnya aku mendengarkan apa yang ingin dia katakan, harusnya aku meyakinkan dia jika tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Harusnya aku lebih peka, bukannya berlari meninggalkan dia begitu saja. Harusnya aku lebih bisa memahami dia. Harusnya aku yang sekarang yang berada dimasa itu.
Semua bertambah rumit ketika program beasiswa kuliah di luar negeri ditawarkan disekolah kami. Setiap siswa mendapat kesempatan untuk mewujudkan mimpinya menempuh pendidikan yang lebih baik. Seperti itulah bunyi semboyan di brosur itu. Aku tidak terlalu memikirkannya namun yang membuatku kesal adalah ketika aku harus tahu dari orang lain.
"Jadi kamu tidak tahu Vin, Vania mendapat rekomendasi untuk program itu?"
Kenapa aku harus mendengarnya dari orang lain? Tentu saja hal itu membuatku kesal. Dia pacarku kenapa dia tidak bercerita lebih dulu. Aku menunggunya hingga pulang sekolah. Dari raut wajahnya aku tahu dia lelah, akupun juga merasa lelah.
"Alvin?"
"Ayo pulang.." hanya itu yang aku ucapkan.
Sepanjang perjalanan aku tidak mengucapkan sepatah katapun. Bagaimana aku memulainya?
"Vin, apa kamu marah?"
Akhirnya, aku bisa memulainya. "Kenapa kamu tidak memberitahuku?"
Vania terlihat bingung, "Memberitahu apa?"
"Kenapa kamu tidak memberitahuku kamu mendaftar di program beasiswa itu?"
"Aku sudah..."
"Kenapa aku harus tahu dari orang lain?"
Aku kembali menyela ucapan Vania.
"Aku mencoba memberitahumu kemarin, tapi kamu tidak punya waktu untuk mendengar."
"Oh jadi menurutmu aku yang salah begitu?" Kenapa aku jari tersulut emosi, tidak seharusnya aku marah hari itu. "Kenapa kamu selalu memutuskan semuanya sendiri?"
Sepertinya Vania sama terkejutnya, ah itu buruk.
"Memutuskan sendiri? Kamu sendiri bagaimana? Apa kamu pernah bertanya tentang rencana aku? Apa kamu peduli universitas mana yang ingin aku tuju? Apa kamu pernah berpikir kenapa sekarang kita mulai jauh?"
Damn! Aku semakin tidak dapat menahan kesal.
"Itu karena aku mengira kita akan masuk universitas yang sama. Kamu sendiri yang bilang untuk selalu bersama."
Matanya mulai berair. Tolong jangan menangis.
"Aku tidak pernah bilang masuk universitas yang sama, tapi kamu mengatakan kamu tidak bisa jika harus mempunyai hubungan dalam jarak."
Apa yang sebenarnya kita ributkan? Ini bukan hal besar yang harus diperdebatkan.
"Jadi kamu tidak ingin kita selalu bersama? Jadi kamu ingin menjauh. Baiklah kalau begitu tidak perlu menunggu hingga lulus, ayo berpisah sekarang."
Bukan, bukan itu yang ingin aku katakan. Sungguh bukan itu yang ingin aku bahas, bukan seperti ini yang aku harapkan. Vania tolong, jangan setuju dengan ucapanku barusan. Tolong!!!!
Plaaaaaaaaakkkkkkkkkkkkkkk
"Kamu tidak pernah bisa mengerti Vin."
Kamu benar vania, aku tidak mengerti apapun. Aku tidak mengerti tentang hubungan kita, aku tidak mengerti caranya membuatmu bahagia, aku tidak mengerti caranya mememahamimu, aku tidak mengerti bagaimana aku harus mempertahankanmu. Bahkan hingga sekarang aku masih tetap tidak mengerti kenapa aku tidak menahanmu saat itu? Kenapa aku membiarkanmu berlari dan akhinya menghilang tanpa pernah kembali.
Satu hal yang sampai hari ini aku pertanyakan, jika aku memberi tahumu usahaku hari itu, apa kamu akan menerimaku lagi?
Hujan memang tak pernah lepas dari kenangan