Termasuk malam itu. Dengan lugas, ia meminta maaf kepada teman-temannya untuk tidak ikut nongkrong tak tentu arah.
Hari-harinya justru kian berisik, oleh asa yang kian menggebu pikirannya. Sesampainya di kostan, ia tak langsung tidur, namun menemani buku-buku yang ia beli dari gajinya di sebuah pabrik belakangan ini. Kehidupannya setelah keluar dari pabrik, mulai berbeda. Dan ia, lebih sudah akrab dengan perbedaan dari perbedaan yang silih berganti menyapanya lalu pergi.
Tak hanya buku berbahasa indonesia, sesekali ia pun membeli buku terjemahan. Ketertarikannya dengan bahasa inggris, turut memupuknya belajar. Orang menyebutnya otodidak. Sederhana, belajar baginya tak kenal batas usia, sempat, ataupun kasta. Selagi ia punya kemauan, semesta berbaik hati memberi jalan.
***
Diterbangkan Takdir, Aku Sampai
Tiga Tahun Kemudian...