Namira Satyawati. Sebenarnya sudah beberapa tahun lalu aku tidak pernah lagi mengingat dirinya. Mantan kekasihku, cinta pertamaku. Gadis yang aku tunggu sejak dulu. Namun, takdir memaksaku untuk melupakannya. Ya, di saat penantianku yang tak ada kepastian itu, aku memutuskan untuk melabuhkan hatiku pada Yoona. Ayah angkat menyuruhku untuk menikahi putrinya. Meski awalnya karena keterpaksaan, lambat lain cinta itu tumbuh juga. Aku tahu Yoona sebenarnya melihat orang lain pada diriku. Sama, aku juga berharap Yoona adalah Namira ku.
Namun, demi suatu hal kami akhirnya menikah. Awalnya hanya untuk kompensasi atas kebaikan ayah angkat padaku. Tapi, kini aku menyayangi Yoona seutuhnya. Tapi tak dapat ku pungkiri nama Namira masih ada.
Ini adalah rahasia yang mengejutkan. Aku bahkan hancur ketika mengetahui fakta tidak menguntungkan itu. Sungguh sial nasib Namira memiliki saudara laki-laki seperti Kensuke dan mempunyai ayah angkat seperti si keparat Kakek Daisuke itu. Ya, tua bangka itu telah menghamili Namira. Namira ku yang malang. Namira lugu yang mengadu nasib di negeri orang.
Aku tak akan membicarakan hubungan kekerabatan mereka. Itu membuatku sakit saat tiba-tiba aku mendapat kabar bahwa Namira hamil anak si tua bangka berkebangsaan Jepang itu. Aku masih mengingat jelas saat pertemuan kami beberapa hari lalu.
Pertama-tama, yang muncul di benakku adalah pemandangan balkon rumah sakit. Bau obat yang menyeruak masuk ke dalam lubang hidungku. Angin yang sejuk, dan bangunan kecil dapat terlihat dari lantai tiga belas rumah sakit ini. Kemudian muncul wajah Namira. Tangannya yang mungil dan dingin, rambutnya yang indah lurus menyentuh hingga ke tangan, dia benar-benar indah. Wajahnya yang putih dan cantik. Matanya yang selalu menatap lekat lawan bicaranya adalah khasnya.
Kami berbicara banyak sekali hari itu. Namun, tak satupun membahas masa lalu. Aku sudah memiliki satu orang putri berusia 2 tahun lebih dan putra berusia 4 bulan, Jiae dan Jeje. Yoona adalah istriku. Ya, yang kukira simpanan Big Boss. Gadis urakan yang aneh itu.
Dia tak seperti Namira yang anggun dan khas Indonesia. Dia lebih frontal dan menyebalkan sebenarnya, tapi aku menyukai mereka berdua sama besar. Aku mencintai Yoona, tapi aku tak pernah bisa mengelak kalau aku pun masih sangat menyukai Namira, dia cinta pertamaku.
Namira menikah dengan Kensuke, tapi ia melahirkan anak Kakek Daisuke, ayah dari Kensuke.
Rumit!
Ya, hubungan kami memanglah rumit. Membelit dan penuh drama. Hidup serius seperti dulu rasanya seperti hidup di neraka paling bawah.
Oh, aku ingat Namira berkata kalau dia tak mau putrinya kubenci hanya karena ayah biologisnya. Kensuke mungkin bisa menerima itu, tapi aku masih tak bisa sepenuhnya untuk tidak membenci anak malang itu. Aku sadar, tak ada anak yang memilih dilahirkan dengan status seperti itu. Namun, inilah hatiku.
"Bagaimana keadaan Yoona?" Namira bertanya sembari menatap gedung yang terlihat di balkon. Ia duduk dengan perutnya yang membuncit. Aku berdiri di sisi kanannya dengan tangan kumasukkan ke dalam saku celana jeans-ku.
"Sepertinya ia akan kerepotan dengan anak-anakku," jawabku.
"Anak-anakku?" Dia mengulang. Ada nada getir di sana. Mungkin dia kecewa mengetahui bahwa aku sudah memiliki anak dengan Yoona.
"Anakmu nanti ... juga akan menjadi anakku," kataku menghibur.
"Tidak! Ini anak Daisuke," balasnya cepat.
"Hmm ...," aku menggumam. "Namira!" panggilku.
"Hmm?"
"Bagaimana kiranya kalau jatuh dari lantai atas ya, apa langsung mati?" Aku berkata, niatnya ingin meringankan obrolan.
Namira tertawa. "Aku tidak tahu, tapi kurasa pasti begitu. Syuuut ... Bruk! Tamat sudah."
"Apakah pernah terjadi seperti itu?" Aku bertanya.
"Kurasa begitu. Aku dengar dari pasien lain, dua minggu lalu terjadi begitu. Orang itu bunuh diri. Melompat dari lantai atas ke jalanan bawah sana."
"Dia memilih mati yang mengenaskan ya?"
"Cara mati yang bodoh." Ia menimpali sambil mengelus perutnya yang buncit. "Dan pasti langsung masuk neraka. Bunuh diri itu kan dosa juga. Tapi, ada juga yang karena kecelakaan. Di lantai tiga belas ini malah. Tergelincir katanya. Kalau langsung mati ya tidak apa-apa. Kalau tidak? Kan repot. Dia merasakan sakit tiada terkira."
"Sekadar membayangkannya pun bulu kudukku berdiri," kataku. "Dia kurang berhati-hati."
"Hm, pasti begitu."
"Tentu saja begitu."
Aku lebih merapatkan tubuhku kepadanya. Kupegang tangan yang ia gunakan untuk mengelus perut buncitnya. "Tetapi kau akan baik-baik saja. Aku dan kau tak akan jatuh tergelincir. Kita tak akan jatuh kalau kita bersama seperti ini."
"Pasti?" Namira manyahut.
"Pasti!"
"Kok yakin?" Namiraku berucap kembali.
"Yakin saja," ujarku sambil menggenggam tangannya yang mungil dan dingin itu erat-erat. "Sederhananya ... andai kita seperti ini, bersama seperti dulu, kita akan selamat. Selamat dari semua hal melelahkan ini, Namira. Benar kan?"
"Kau ... serius?"
"Tentu saja."
Namira menoleh ke arahku. Aku bersimpuh, sejajar dengannya. Ia menatap mataku dalam-dalam. Mencondongkan tubuhnya dan perlahan-lahan menempelkan pipinya di pipiku. Tindakan indah itu sekejap membuat dadaku sesak dan hangat.
"Terima kasih," ujar Namira.
"Kembali," kataku.
"Aku senang sekali kau mengatakan itu. Sungguh." Ia berkata sambil tersenyum senang. "Tapi itu mustahil."
"Kenapa?"
"Karena itu tidak boleh. Tidak baik. Itu ...," kalimatnya terputus, Namira langsung menutup mulut, dan memutuskan kontak mata kami. Ia kembali menatap ke depan. Tak lagi menatap mataku.
"Itu ... tidak benar, bagimu maupun bagiku," lanjutanya setelah agak lama terdiam.
"Tak benarnya seperti apa?" Aku mencoba bertanya dengan tenang.
"Kita tahu apa maksudku. Maafkan aku, Mas Jae. Aku membuatmu susah padahal aku bukanlah siapa-siapamu."
Aku bergeming. Oh, begitu. Aku mengerti sekarang. Karena Yoona. Karena statusku.
"Kurasa ini semua berawal dari kesalahanku, Namira. Aku menyakitimu jauh lebih dalam dibandingkan orang tua keladi itu."
"Itu masa lalu, aku sudah memaafkan sejak lama. Aku bahkan sudah mulai melupakannya."
"Karena itulah, aku tak pernah bisa mengabaikanmu meski sudah terisi Yoona di semua rongga diriku."
Namira tersenyum. "Mas Jaelani sangat menyayangiku, ya?"
"Tentu saja," jawabku.
"Benarkah begitu?"
Aku mengangguk tegas.
"Kalau begitu, maukah kau mendengar dua permohonanku?"
"Aku akan mendengar tiga permohonanmu!"
Namira tertawa sambil menggelenggkan kepalanya. "Dua saja. Cukup dua. Pertama, aku ingin kau tahu bahwa aku sangat berterima kasih kau mau datang dan menemaniku. Tapi, aku juga merasa tak enak hati."
"Aku akan datang menemuimu lagi, bersama Yoona dan anak-anakku," kataku. "Yang kedua?"
"Aku ingin kau terus mengingatku. Maukah kau terus mengingatku tanpa menyakiti Yoona?"
"Tentu saja, aku akan terus mengingatmu."
Matanya kembali menatapku. "Kau betul-betul tak akan melupakanku selamanya?" Ia bertanya dengan suara pelan serupa bisikan.
"Sampai kapan pun aku tak akan melupakanmu," kataku. "Tak mungkin aku dapat melupakanmu."
Kini aku sadar, Namira bukan memintaku untuk tak melupakannya. Ia memintaku untuk tak membenci putrinya dan mau menjaga putrinya jikalau sesuatu terjadi padanya kelak. Karena dengan terus mengingat Namira, aku akan membuang rasa benciku pada anaknya kelak. Dan, itu benar-benar ampuh meskipun aku tak ingin mengakuinya.
Kenangan itu perlahan memudar.
"Sayang! Tolong ajak kakak bermain dulu! Jeje sedang rewel ini."
***
Bersambung...