"Kau sudah sadar, Adek? Syukurlah! Ayah begitu khawatir, Sayang!" Tuan Kim berucap, seolah tidak ada yang terjadi sebelumnya di antara mereka. "Kakak juga tadi pagi juga sadar. Ayah sangat senang karena kalian berdua akhirnya tersadar secara bersamaan," sambungnya.
Jangjun masih terlihat bingung. Dia berkali-kali mencoba mengingat apa yang sebelumnya terjadi, tapi dia tidak mengingat apa pun itu. Yang ia ingat adalah namanya adalah Kim Jangjun, dia mempunyai saudari yang bernama Kim Jia. Mereka berdua tinggal bersama ayah mereka di Jakarta.
Ah, tunggu! Jakarta, ya? Tapi, ruangan rawat ini tidak terlihat seperti ruang rawat rumah sakit di Jakarta. Bahkan kalendernya saja menggunakan tulisan Hangul.
"Tunggu, Babe!"
"Kenapa manggil 'Babe' lagi sih, Dek? Bukankah kamu sudah sepakat dengan kakakmu kalau akan memanggil 'ayah' saja? Ini Seoul lho, bukan Jakarta."
Barulah setelah mendengar ucapan ayahnya itu, Jangjun menjentikkan jarinya.