35. Kena Mental
Cuaca cukup terik siang ini. Kulangkahkan kaki keluar dari rumah sakit selepas membayar semua tagihan. Mba Naya membawakanku uang tadi, ternyata ia mengambilkannya untukku di ATM. Kusuruh Naya untuk menungguku di luar karena ada hal yang harus kami luruskan.
Mobil warna hitam terparkir di samping pos satpam. Aku segera mendekatinya dengan langkah tertatih. Kakiku masih sedikit kram jika kugunakan untuk berlari.
BLAM!
Aku duduk di kursi bagian penumpang. Tas berisi pakaian pribadi kulempar ke kursi kosong di sebelahku. Perlahan, mobil yang kami tumpangi berjalan membelah jalan raya.
"Makasih udah minjemin aku rekening. Habis ini aku bakal buka rekening sendiri," ucapku membuka obrolan. Naya melirikku sekilas melalui kaca kecil di tengah-tengah kami, lalu mengangguk. Biasanya Naya akan berceloteh panjang lebar, tapi kali ini tidak.
"Mba Naya, aku mau minta maaf soal ucapan mama Qonita tadi."
Naya mengernyit. Agaknya, ia tertarik dengan topik yang kuambil. Pandanganku menunduk.
"Kenapa minta maaf?"
"Aku tau Mba Naya suka ke Arqom." Naya diam lagi. Kali ini, bola matanya bergerak gelisah ke sembarang arah, asal tidak menatapku.
"Memangnya kenapa? Apa yang bakal berubah?" tanyanya dengan intonasi tinggi. Butuh waktu cukup lama memikirkan jawaban yang tepat untuk kuberikan kepada Naya.
"Aku gak suka ke Arqom, Mba. Kemarin mama Qonita gak sengaja nabrak aku sehabis jengukin Mba. Dia bawa aku ke rumahnya buat ngobatin lukaku. Tadinya mau dibawa ke rumah sakit tapi aku nolak. Aku juga baru tau kalau mama Qonita itu mamanya Arqom. Kemarin Arqom sempet pulang ke rumah dan ketemu aku," paparku. Meski Naya gengsi meminta penjelasan padaku, aku tetap memberitahunya apa yang ingin ia tau dariku. Sebagai sesama betina, aku tau apa yang ada di pikiran Naya saat itu.
Naya menghela napas kasar. "Oke, mending kita jujur-jujuran sekarang. Gue gak mau dicap munafik jadi temen lo." Aku mengangguk setuju. Ini yang aku mau sejak tadi.
"Lo beneran gak kenal sama mamanya Arqom?" Aku mengangguk untuk kedua kalinya.
"Aku baru kenal kemarin. Aku juga gak tau tiba-tiba dia manggil aku calon mantu padahal aku udah jelasin kalau aku udah bersuami."
Mata Naya mulai melirik ke arahku lewat kaca. "Serius? Dia bilang apa?"
"Tadinya cuma disenyumin aja. Tadi aku ungkit lagi dia bilang udah tau dari Arqom. Katanya kalau gak bisa jadi mantu, dia mau angkat aku jadi anaknya. Mama Qonita pengin punya anak perempuan tapi dikasihnya laki-laki, mana cuma satu katanya."
Naya mengangguk-anggukan kepalanya masih fokus menyetir. Kucondongkan tubuh ke arah depan.
"Mba Nay, gimana kalau aku gunain ini buat bikin mama Qonita tertarik sama Mba." Naya memberiku pelototan tajam.
"Terlalu resiko, Nu. Lagian jalan itu gak murni dari hati. Gue gak mau ngebebani Arqom dengan perasaan gue. Bisa aja Arqom gak suka ke gue." Wajahnya berubah murung. Sudut bibirnya ikut turun.
Aku menggeleng tak setuju. Belum apa-apa sudah bilang begitu. Kapan usahanya coba?
"Hitung-hitung biar Mba Naya akrab sama calon mertua dulu. Lagian aku baru kenal kemarin kok. Langsung menjauh gak bakal ketera banget. Kan kita ketemu karena gak sengaja."
Naya mencoba menimang-nimang ucapanku barusan. "Kalau Arqom tau terus gak suka gue ada di sana gimana?"
"Emang selama ini Arqom kelihatan gak nyaman ada di dekat Mba?" Naya menggeleng. "Engga, kan? Kalau Mba deket sama mamanya 'kan jadi lebih enak. Tinggal gaet calon suaminya aja." Aku menyenggol lengan Naya yang sedang menyetir.
"Bisa aja."
Nayaku tertawa bebas. Ia balas menyikutku dengan senyum mengembang. Akhirnya sikap Naya kembali seperti dulu. Cukup sekali aku bermusuhan dengannya. Aku tak ingin hubungan kami retak gara-gara masalah cowok.
Ya. Keputusan yang baik, Nufus. Kamu udah bersuami, sudah sepatutnya menjaga jarak sama cowok lain, batinku menyemangati diri sendiri.
"Mau ke mana?" Aku berpikir sejenak. Pulang ke rumah suami yang ada moodku langsung rusak.
Seketika aku teringat orang tuaku. Aku sudah bilang pada Ramdan akan menjenguk orang tuaku selepas pertengkaran hebat kemarin. Mungkin sekarang waktunya. Hitung-hitung untuk mengulur waktu pulang ke rumah suami dan isteri pertamanya.
"Aku boleh request, Mba?" Naya mengangguk riang.
"Mba hari ini free?"
"Free dong! Aku ambil cuti tiga hari sejak kecelakaan kemarin. Sisa sehari lagi." Aku mengangguk paham.
"Ke rumah orang tuaku mau, Mba?"
"Mau. Udah lama aku pengin ke sana tapi gak dibolehin sama kamu. Ayo! Kita berlibur ke kampung!"
Kami tertawa bahagia ketika Naya mulai tancap gas membelah jalan raya.
***
"Kamu udah janji mau bahagiain Nufus hidup dan mati. Tapi kenapa kamu malah nyakitin anak saya?"
Ramdan diam tak berkutik. Sejak tadi, orang tua Nufus memarahinya habis-habisan. Bahkan ayahanda Nufus sampai main fisik. Ramdan yang sudah ciut nyali dibuat lebih sengsara lagi di tempat ini. Ayahanda Nufus tidak akan melepaskannya begitu saja meski amarahnya sudah diluapkan.
Lulu juga tak bisa membantah. Dari awal, Ramdan sudah salah ambil jalan. Harusnya ia menelepon saja, bukan malah datang ke kandang singa. Sudah tau tabiat ayah mertuanya sangat kasar dan hobi main tangan Ramdan tetap nekat ke sini hanya untuk mencari Nufus.
Seakan-akan teknologi canggih di jaman ini tidak ada gunanya.
Lulu menyesal ikut suaminya datang ke sini sebab dirinya ikut jadi sasaran amukan ayahanda Nufus meski tak sampai main tangan. Sebagai gantinya, mental Lulu diserang habis-habisan. Bagai diajak keliling dunia menaiki roller coster. Lulu tidak tahu lagi harus meminta tolong kepada siapa agar dirinya bisa lepas dari genggaman ayah Nufus.
Kasihan Omar ia tinggal di rumah sendiri.
"Jangan kira anak saya pemaaf jadi kamu seenak jidat menyakiti hatinya. Manusia macam apa kamu? Sudah dikasih hati mintanya jantung. Apa satu wanita tidak cukup untuk berada di sisimu?" bentak Tono—ayah Nufus dengan nada tinggi. Isterinya hanya diam di sebelahnya tanpa melakukan apapun. Ia juga sakit hati sebab anaknya dipoligami.
"Apa semua ucapan kamu kepada anak saya di hadapan Tuhan hanya main-main? Seharusnya kamu jujur dari awal! Kasihan anak saya yang jadi korbannya. Kalau sudah seperti ini kamu mau apa? Bahkan kamu gak bersunggung-sungguh nyari anak saya."
"Saya sampai melakukan segala cara agar anak saya mau bersanding denganmu. Kamu tau sendiri anak saya menjadi pembangkang ketika saya suruh untuk menikahimu. Dia tidak menyukaimu dulu, kamu juga tau. Masalah Nufus tidak ada yang saya tutupi dari kamu. Tapi kamu? Satu kejujuran kamu sembunyikan yang akhirnya berakibat fatal. Dengan gampangnya kamu menyia-nyiakan pengorbanan saya?" Tono menggeleng tak percaya.
"Saya menyesal menikahkan Nufus dengan kamu." Tono berbalik badan sembari berkacak pinggang. Emosinya masih di ubun-ubun.
"Mulai hari ini, saya akan mengambil Nufus dari kamu. Sampai bertemu di pengadilan."
Ramdan memejamkan kelopak matanya dengan gigi gemeletuk. "S—aya tau saya salah, Pak. Saya mohon, kasih saya kesempatan buat nebus semuanya."
"Apa yang perlu ditebus? Uang dan cintamu? Harusnya anak saya yang minta itu dari kamu! Saya sangat kecewa padamu, Ramdan. Saya kira kamu pemuda baik seperti yang saya harapkan, bukan seperti yang tetangga saya bicarakan. Ternyata saya keliru. Saya dibutakan oleh wajah tak bersalahmu itu!"
Ramdan terisak. Ketika Tono hendak melangkah masuk ke rumah, Ramdan segera menarik kakinya, menciumnya beberapa kali agar pria itu menarik ucapannya tadi.
"Saya mohon, Pak!"
"Bapak! Mas Ramdan!"
Semua orang kompak menoleh ke sumber suara.
***