30. Rumah Sakit Lagi
[Flashback]
Omar berdiri di depan kamar mandi samping dapur dengan mata terbelalak. Di hadapannya, Nufus terbaring tak sadarkan diri. Ia bergegas pergi ke kamar orang tuanya, mencari ponsel milik wanita itu untuk menghubungi orang lain agar menolongnya.
Beruntung Omar menemukan benda pipih itu di dalam cardigan yang terselampir di pinggir kasur. Nufus sempat memakainya tadi untuk pergi ke Algamart. Bocah itu lekas mengotak-atik ponsel mama keduanya.
Tapi bukannya menelepon Ramdan atau mamanya yang sedang berada di luar rumah, ia justru menghubungi salah satu teman Nufus bernama Lami. Di kontak tertulis "Sahabatku Lami." Begitu panggilan dijawab, Lami bergegas pergi ke rumahnya.
Tugas Omar selesai. Ia mengembalikan ponsel Nufus ke tempatnya kemudian pergi menuju tempat kejadian lagi. Menunggu sambil duduk di kursi makan tanpa melakukan apapun sebab Omar tidak tau pertolongan apa yang harus diambil untuk wanita itu.
TOK! TOK! TOK!
"Nufus!"
Ketukan diiringi teriakan dari luar rumah seketika membuat Omar panik. Ia buru-buru turun, tergesa-gesa mendekati pintu utama, lalu membukanya perlahan. Beruntung kaki mungilnya tidak terjepit pintu karena Lami mendorongnya langsung hingga terbuka lebar untuknya.
Namun, tamu yang datang tak hanya satu melainkan dua. Siapa dia? Padahal Omar hanya memanggil satu di antara mereka.
"Di mana Nufus?" tanya Lami pada bocah laki-laki itu. Omar pun menunjuk arah dapur yang langsung didatangi oleh mereka bertiga.
Tamu yang satu lagi adalah Naya. Lami sempat menghubunginya sebab ia tau tidak ada orang lain di rumah Nufus. Untuk apa bocah seusia Omar menghubunginya jika di rumah ada orang? Maka dari itu, Lami menelepon Naya untuk menjemputnya di rumah.
"Ya Allah, Nufus!"
Naya memekik histeris sembari menahan tangis. Kedua wanita itu mengangkat tubuh Nufus dengan hati-hati. Bagaimana tidak histeris? Ada genangan darah yang sudah bercampur air di dekat kaki Nufus. Hanya ada dua kemungkinan yang salah satunya terjadi.
Nufus sedang haid atau malah ... hamil? Jika hamil, Naya tak bisa membayangkan akan sehancur apa hati sahabatnya nanti setelah dibuat menderita oleh suaminya sendiri.
"Tahan, Nu. Gue tau lo cewek kuat."
Lantas, keduanya membawa tubuh Nufus keluar dari dalam rumah dan memasukkannya ke dalam mobil Naya. Setelahnya, Naya segera masuk dan duduk di bagian kemudi.
Sebelum pergi, Lami menyempatkan diri untuk menghampiri Omar yang berdiri di ambang pintu dengan wajah datar.
"Di rumah gak ada orang?" tanyanya dijawab oleh gelengan kepala. Ini anak gak mendadak bisu, kan? Ditelepon aja tadi sempat berbicara dengannya.
"Mama kamu ke mana? Mau ikut kita ke rumah sakit? Daripada kamu di rumah sendirian." Omar menggeleng lagi.
"Bentar lagi mama pulang." Lami heran. Mengapa Lulu tega meninggalkan Omar di rumah tanpa membawanya serta? Kalau tidak ada Nufus tadi bagaimana? Sekarang pun Nufus sedang dalam kondisi butuh pertolongan medis.
"Emang mama kamu ke mana?" Omar menunjuk arah barat laut Lami.
"Beli sayur buat dimasak."
Lami buru-buru mengangguk. Baguslah. Ia tak perlu membawa anak itu pergi bersamanya. Pasti akan melelahkan walau dilihat-lihat Omar anaknya pendiam. Tapi tidak ada yang tau ke depannya bagaimana, kan?
Segera Lami tepuk bahu Omar berulang kali. "Kita pergi ke rumah sakit bawa mama keduamu. Nanti kalau mamamu udah pulang, kamu bilang ke dia atau kalau engga hubungi papamu sekarang biar mereka langsung ke rumah sakit wakilin Nufus."
Namun, Lami mendapati gelengan tak setuju sebelum berbalik. Dahinya mengernyit bingung.
"Aku gak mau ngasih tau papa. Papaku lagi kerja sekarang. Dia sibuk. Mama juga mau masak buat makan siang." Lami sukses dibuat menganga olehnya.
Ini bocah titisan siapa sebenarnya? batinnya geram. Sifatnya gak tau nurunin dari siapa. Jangan-jangan dari Lulu.
"Terserah. Biar gue yang hubungi mas Ramdan. Lagian, gue juga tau lo gak mau papa lo rukun sama Nufus. Udahlah, baik-baik lo di rumah. Moga gak digondol penculik." Lami mencebik kesal kemudian masuk ke dalam mobil. Kendaraan roda empat itupun melaju dengan kecepatan tinggi.
Sedangkan Omar yang ditinggal sendiri mengangkat kedua bahunya tak acuh. Memilih untuk masuk serta mengunci pintu daripada memikirkan perkataan wanita tadi.
[Off]
"Gak ada panik-paniknya tuh bocah. Heran gue." Usai bercerita panjang kali lebar, Lami menonjok kasur yang aku tiduri saking kesalnya. Sementara Naya hanya mengangguk-anggukan kepalanya seperti boneka besar yang dipajang di depan toko handphone. Persis sekali.
Aku sudah mengubah posisiku menjadi duduk dengan bersandar pada bantal. "Kamu jadi ngehubungi suamiku, Lam?" Seketika, Lami menepuk jidatnya pelan.
"Lupa gue. Gue hubungi sekarang deh." Tadi mereka sibuk mengisi bagian administrasi agar Nufus cepat ditangani daripada mengandalkan Ramdan yang saat ini sedang bekerja. Bener apa kata Omar. Lebih baik Lami tidak menghubungi pria itu daripada masalah semakin runyam.
Aku segera menahannya untuk tidak menghubungi suamiku. "Jangan. Lebih baik mas Ramdan gak tau aku di sini. Aku gak mau lihat muka dia dulu." Lami mengangguk setuju, lalu memasukkan ponselnya kembali.
"Itu baru sahabat gue." Naya mencolek pipiku gemas. Kami pun tertawa.
"Eh, Nu! Gimana ceritanya lo sampai jatuh di kamar mandi begitu? Mana kepala lo benjol lagi 'kan gue kasihan lihatnya," ucap Naya sembari melihat jidatku. Aku berusaha mengingat kejadian sebelum terjatuh.
"Mungkin ini salahku sendiri. Aku masuk ke kamar mandi bekas Lulu buat pipis karena kamar mandi di kamarku lagi dipake sama Omar. Wak—"
"Kan. Udah firasat gue kalau tuh bocah ada kaitannya sama kecelakaan lo tadi," sela Lami yang langsung dihadiahi jitakan oleh Naya. Aku segera melanjutkan ceritaku.
"Terus waktu aku masuk, anehnya lantai kamar mandinya malah kering bukannya basah karena habis dipakai orang. Biasanya kalau orang ke kamar mandi pasti pakai air, kan?" Naya dan Lami mengangguk kompak.
"Aku bingungnya di situ. Baru sadar sekarang malah. Terus aku pipis dan siram segala sisi di dalam kamar mandi itu. waktu mau keluar, tiba-tiba lantai yang aku basahi itu licin. Kayak kecampur sama detergen, sabun, atau shampoo gitu. Aku gak tau apa karena gak nyium baunya, yang pasti tiba-tiba licin terus kepleset deh. Ya orang aku gak tau tiba-tiba licin gitu sehabis aku siram."
Lami mengangguk sembari mengetuk dagunya menggunakan telunjuk. Netranya menerawang keluar lewat jendela.
"Gue curiga kalau ini ulah si Omar. Jangan-jangan dia bohongin lo waktu Lulu ada di kamar mandi. Lo sempet ngecek kamar mandi itu belom?" Aku menggeleng.
"Aku habis pulang beli pembalut tadi terus disuruh buat jemur baju sama Omar. Katanya Lulu yang nyuruh. Nah, aku keplesetnya setelah itu."
"Tapi lo lihat Lulu di rumah gak waktu lo pulang?" tanya Naya yang kujawab dengan gelengan. Mereka kompak mengembuskan napas panjang.
"Udah gue duga. Keknya ini akal-akalan si Omar. Dilihat dari mukanya, sih cocok. Kayak psiko dia kecil-kecil nakalnya melebihi nalar manusia." Lami berdecak lantas geleng-geleng kepala. Aku memikirkan kata-katanya barusan.
Apa Omar sengaja buat aku luka kek gini seperti kata mereka? Tapi buat apa? Apa hal ini bisa bikin hubungan Lulu dan Ramdan lebih harmonis dari sebelumnya? Pikiranku berkecamuk.
"Gak usah dipikirin, Nu. Gak penting juga. Mending lo istirahat aja. Nanti kalau gue sama Lami dapet bukti jika Omar pelakunya, gue bakal labrak si Lulu-lulu itu. Lo tenang aja." Naya mengusap bahuku lembut kemudian membantuku berbaring. Sedangkan Lami membenarkan letak bantal dan selimut untukku.
"Makasih ya. Kalian selalu ada buat aku." Kami bertiga saling melempar senyum.
"Lo juga selalu ada buat kita, Nu. Kita 'kan sahabat." Lami tak bisa menahan diri untuk tidak memelukku disusul Naya.
Setidaknya aku masih punya mereka, batinku sedikit lega.
***