31. Tidak Ada Jejak
"Jadi Papa bener?"
Arqom mengangguk, lalu mendengus kesal. Apa-apaan ini. Ternyata papanya asal menebak tapi kenapa tepat sasaran? Apa raut wajah Arqom begitu kentara?
Pria paruh baya itu tertawa puas melihat wajah jengkel anaknya. Bahu Arqom ditepuk pelan, membuat kepalanya mendongak ke arah sang ayah.
"Bagus. Pilihan yang tepat, Nak. Kita tinggal atur strategi biar cewek itu jatuh cinta sama kamu," ucap Gara—ayahanda Arqom. Netra anaknya membulat tak percaya.
"Papa beneran serius sama ucapan Papa?" tanya Arqom memastikan. Gara mengangguk mantap. Memang sekarang waktu yang tepat untuk bermain-main?
Ini masalah penerus keluarga Gara. Di umur sekian, Arqom masih betah menyandang status jomlo padahal teman-temannya sudah pada menikah. Gara sebagai seorang ayah tentunya geram melihat anaknya lebih memilih pekerjaan ketimbang menikah dan mempunyai anak.
Hartanya tak mungkin cukup jika hanya untuk Arqom. Anak dari Arqom juga harus merasakan kemewahan yang mereka hasilkan selama ini. Lagipula, Qonita dan Gara sama-sama tak sabar ingin menggendong cucu mereka. Keburu tua kalau nunggu Arqom bergerak sesuai nalurinya sendiri.
"Tenang aja. Jalannya halal kok, Papa jamin deh." Arqom mendekat ke arah Gara meski awalnya ragu. Mereka seperti berencana hendak menculik Nufus dari Ramdan walau kenyataannya memang begitu. Tapi tak apa. Demi cinta. Kata Gara jalan yang mereka tempuh halal.
"Apa, Pa?"
***
"Mba Naya bukannya masih harus dirawat?"
Kepala Naya mendongak ketika aku bertanya. Ia sedang mengetik sesuatu di ponselnya tadi.
"Iya tapi gue gak betah. Tadi waktu Widi baru datang gue langsung minta pulang. Kata dokter gak apa-apa kok. Cuma gagar otak ringan." Ia mengetuk kepalanya sendiri, lalu tertawa. "Masih aman."
Aku tergelak lantas geleng-geleng kepala. Kulihat Lami terlelap cukup lama di atas sofa dengan mulut terbuka. Aku menyuruh Naya untuk menutupi mulut Lami dengan buku. Barangkali ia tersedak sesuatu misalnya lalat, lalu terbangun.
Kocak, sih.
"Masih mual gak, Mba? Pusing?" Naya tampak berpikir sejenak.
"Mual udah engga. Paling pusing, tapi udah gak kerasa. Udahlah gak usah dipikirin. Gue sehat kok."
"Luka Mba masih basah, lho. Udah diganti perban belum?" Sengaja kuingatkan sebab Naya hanya bermain ponsel sejak tadi.
Aku juga bermain ponsel sebab bosan tapi hanya sebentar. Naya menyitanya karena aku masih seorang pasien. Aku hanya bisa nurut sebab Lami tak mendukungku mendapatkan ponsel dari tangan Naya.
Untuk menghilangkan jenuh, aku menyalakan televisi saluran berita. Daripada nonton sinetron yang ada pikiranku melayang ke masalah rumah tanggaku. Sebab alurnya muter-muter di situ terus, tidak ada perkembangan untuk membuat alur baru lagi atau mengupgrade-nya menjadi berbeda dari yang lain.
"Nu, Ramdan ngechat gue, nih." Ucapan Naya membuatku tersentak kaget. Kulihat pesan Ramdan di ponsel Naya yang di hadapkan padaku.
[Assalaamu'alaikum, Nay. Aku mau tanya. Kamu lagi sama Nufus engga? Kalau iya, tolong suruh pulang.]
Naya berdecih tak percaya. "Kayaknya suami lo gak tau kalau lo jatuh dari kamar mandi." Aku menghela napas panjang bebarengan dengan turunnya ponsel Naya ke pangkuannya.
"Kayaknya sih gitu. Yang tau aku jatuh cuma Omar sedangkan Omar benci banget ke aku. Cuma ada satu kemungkinan."
"Apa?"
"Omar ngasih tau Lulu tentang kecelakaanku tadi."
Naya mengangguk paham kemudian mengangkat ponselnya lagi. "Gue harus balas apa ini?"
"Bilang aja Mba lagi gak sama aku biar mas Ramdan gak nyariin. Soal tagihan rumah sakit biar aku yang bayar." Naya mengernyit bingung di sela-sela mengetik.
"Mohon maap, nih ye bukan maksud nyinggung. Tapi lo dapet duit dari mana? Ramdan ngasih semua gajinya ke lo?" Aku menghela napas panjang, lalu menggeleng.
"Boro-boro. Ramdan aja belum gajian. Paling ngasih bulanan doang buat makan. Aku 'kan nulis, Mba. Dapet penghasilan dari sana. Besok gajiku cair, temenin aku ambil ya, Mba. Aku pake rekening Mba, kan." Naya ber-oh-ria. Pantas saja.
"Udah gue bales." Aku mengangguk senang. Ah, ia ingat sesuatu.
"Harusnya gue ngasih tau ini ke lo dari lama, cuma gara-gara ada masalah sama Ramdan, gue sama Lami jadi kelupaan sampai sekarang." Aku mengerutkan kening bingung.
"Ngasih tau apa, Mba?"
"Gini, lo 'kan suka nulis. Gue sama Lami rencananya mau bujuk lo buat nulis di platform Zua-zua."
"Zua-zua? Platform baru?" Naya mengangguk mantap.
"Lebih tepatnya platform di bawah naungan Zumba Produser, tempat kerja gue. CEO perusahaan gue juga kenal sama lo sekarang. Si Arqom itu. Gampanglah masalah kontrak bisa diatur kalau cerita lo menarik disukai sama Arqom."
Tatapanku berpaling ke arah lain. "Penulis digaji engga?" Naya mengangguk antusias sembari menggebrak brankarku.
"Pasti dong. Masa iya gue nawarin platform cuma-cuma ke lo. Gimana? Tertarik, kan? Ntar gue bantu editin naskah lo biar menarik perhatian penerbit tempat gue kerja. Lumayan kalau bisa diangkat jadi film kayak mba Yolla."
Mataku membulat sempurna. "Yolla? Penulis yang karyanya difilmin sampai diremix sama orang luar?" Naya menjentikkan jarinya di udara.
"Betul. Penulis favorit lo, kan? Gimana? Terkejut 'kan lo?" Aku mengangguk senang. Tentu saja. Siapa yang tidak kenal Yolla? Hampir semua karyanya kubaca sampai berulang-ulang. Beberapa buku karyanya kubeli demi bisa mengikuti jejaknya menjadi penulis best seller.
"Harusnya gue ikut rapat kemarin tapi gara-gara kecelakaan kayaknya gue digantiin orang lain. Gue editornya dia." Mataku berbinar.
"Berarti Mba Naya udah pernah ketemu dia dong?" Naya mengangguk. "Wah ... beruntung banget."
"Kenapa? Lo pengin ketemu dia juga?" Aku mengangguk berulang kali. Tentu saja.
"Kapan-kapan gue bantu bilang deh ke mba Yolla kalau ketemu. Lo tenang aja."
"Makasih, Mba Nay."
"Tapi dengan satu syarat." Kepalaku menoleh cepat ke arah Naya padahal baru saja berpaling ke arah televisi. "Lo harus sembuh dulu habis itu kebut nulis buat ngejar daily bulan depan. Gimana? Gue sama Lami bakal bantu lo revisi."
Aku mengangguk setuju. Ini benar-benar kesempatan emas bagiku.
"Ay-ay, Captain!"
***
"Gimana, Mas?"
Lulu sama khawatirnya seperti Ramdan tapi ia berusaha tetap tenang sebab ada Omar di sampingnya. Sedangkan suaminya sedari tadi mondar-mandir tidak jelas di ruang tamu sembari menelepon seseorang.
"Gak diangkat. Temen-temennya juga pada gak tau. Kamu beneran gak tau ke mana Nufus pergi?" Untuk kesekian kalinya, Ramdan melontarkan pertanyaan yang sama padanya. Berapa kali Lulu harus menggelengkan kepala padanya?
"Aku bener-bener gak tau, Mas. Tadi aku beli sayur ke tukang sayur keliling waktu Nufus ke Algamart beli pembalut sama susu Omar."
"Pembalut?"
Ramdan sadar akan sesuatu. Ia bergegas pergi ke kamarnya dibuntuti Lulu. Sementara Omar duduk tenang seakan-akan tidak tahu apapun perihal kecelakaan Nufus. Memainkan mainannya dengan senyum mengembang.
Di kamar, Ramdan mengambil bungkus pembalut Nufus yang sudah terbuka. Tempat selanjutnya berarti kamar mandi. Ia segera mengecek kamar mandi di kamarnya namun hasilnya nihil.
"Kamar mandi," gumamnya tanpa sadar. Ia berlari keluar kamar untuk melihat kamar mandi di samping dapur.
Semoga kamu ada di dalam, Nu, batin Ramdan berharap. Begitu pintu didobrak, ia dibuat terkejut dengan pemandangan di hadapannya.
"Nufus ...."
***