Chereads / Every Story Needs a Beginning, Right? / Chapter 20 - Sayap Hitam VIII

Chapter 20 - Sayap Hitam VIII

Seorang gadis terbangun di tempat tidur.

Kemudian dia duduk di atas kasur dan melihat gelembung transparan yang mengelilingi tempat tidurnya.

Rambut lurus panjang biru muda bagai warna air laut miliknya terhembus angin, mata coklat kehitaman dengan alis lentiknya menatap jendela yang sedikit terbuka.

Gadis bertubuh langsing itu memalingkan pandangannya ke kiri, terlihat ada gadis lain di sampingnya berjarak lima langkah dari kasurnya.

Gadis berpostur tubuh sepertinya berambut merah api sedang terlelap.

"!"

Gadis berparas cantik itu mendadak mengernyitkan dahinya, kedua tangannya langsung menopang dahinya.

Keluar sedikit keringat dari dahi kecilnya, mukanya sedikit pucat.

Beberapa saat setelah dia berhasil mendapatkan kembali kesadarannya, dia berdiri di samping ranjang tempat tidurnya.

Ruangan tempat dia berada itu redup sehingga sulit untuk melihat sekeliling dengan baik terkecuali melihat jendela kaca yang sedikit menyelipkan cahaya.

Kemudian dia melihat pintu kembar di seberang tempat tidurnya.

Tergambar sebuah lingkaran sihir putih menghalangi pintu kembar itu.

Setelah mengamati sekelilingnya, dia menyadari bahwa hanya dua orang yang tinggal tetapi ada banyak kasur lain diletakkan di ruangan ini.

Cekrak!! Kiieek….

Seseorang masuk dari jendela dan memanjat masuk ke dalam, dia mengenakan pakaian yang sama sepertinya, kaos putih panjang sampai paha tanpa lengan.

"Ayo kita keluar dari sini!"

"Apa? Siapa kamu?"

"Sepertinya orang itu sudah menghapus ingatanmu lagi, Tifa"

"Bagaimana dengan dia?"

Seorang gadis berambut coklat bob mendekati gelembung dimana gadis itu berada, Tifa namanya.

"Aku tidak pernah melihatnya bangun atau keluar dari sini. Aku telah mencoba membangunkannya beberapa kali tetapi dia tidak pernah bangun. Aku tidak ingin melakukan ini tetapi kita harus meninggalkannya! Ini aku! Nina!"

Plop!

Nina mengetuk gelembung yang mengurung Tifa dengan tekukan jari tengahnya.

Gelembung itu langsung pecah seribu dan membebaskan gadis berambut biru yang masih terlihat lemas itu.

Nina meraih tangan kanan Tifa untuk menariknya menjauh dari ranjang. Keduanya melompat keluar dari jendela dan berjalan di lorong yang gelap.

"Kita akan keluar dari sini Tifa! Seperti yang selalu kau katakan pada kami!"

"Kami? Aku bilang begitu?"

Tiupan angin yang lembut membuat buluk kuduk Tifa menegang, membuatnya sedikit mengigil.

Nina terus menatapi lorong gelap yang diiringi oleh cahaya remang-remang dari sinar purnama.

Kemudian muncul dua pria berjalan melintas kearah mereka sambil membawa pelita kayu.

Nina menarik tangan Tifa dan bersembunyi di balik peti suplai di samping jalan, mereka berdua berjongkok sambil berjalan perlahan ke depan dimana patroli menuju ke arah mereka.

Mereka berhasil menyelinap melewati kedua pria itu dan menghindari beberapa patroli lainnya dengan trik serupa menuju halaman rumput yang dikelilingi pagar besi setinggi lima meter.

Pagar besi itu tidak terlalu tebal, dan ada bekas potongan disudut pertemuan antara pagar barat dan pagar utara.

"Aku sudah mempersiapkan ini sekitar satu minggu, selagi berharap kita masih bisa pulang hidup-hidup dari medan perang"

Krang!!

Nina mendorong besi yang sudah terpotong itu dan keluar dari fasilitas bersama Tifa.

TENG! TENG! TENG!

Suara bergema berasal dari bel dibunyikan dari dalam fasilitas itu tedengar sampai ke telinga mereka.

"DUA ASET SIHIR TERKAHIR HILANG! TEMUKAN MEREKA! BAWA MEREKA KEMBALI KE SINI HIDUP ATAU MATI!"

Seorang patroli mendengar suara langkah kaki tergesa-gesa, suaranya terdengar lebih jelas karena mereka berlari di padang rumput.

"Itu mereka!"

"Sial!"

Kedua gadis berkaus putih panjang itu berlari secepat yang mereka bisa, mereka terus berlari selagi menyusuri danau.

"Tembak!"

SKAP!! SKAP!!! JAB! JAB!

Patroli menembaki mereka dengan anak panah dengan niat membunuh.

Patroli terus menembaki mereka tanpa ampun, jumlah pengejar semakin banyak.

SKAP!! SKAPP!! JREB!!

"Uahkk!!"

"Nina?!"

Salah satu panah menembus kaki kiri Nina membuatnya terjatuh ke tanah.

Tifa kaget melihat temannya tertembak, berbalik melihat patroli dengan mata marah. Kedua mata coklat kehitamannya menyala dan menggerakkan tanah yang dipijaknya.

BLUR!! BLUR!! BLUR!!!

Tifa menembaki mereka dengan batu bulat kasar dan membuat dinding batu untuk menghalangi pengejar mereka.

Serangannya berhasil melukai beberapa patroli, tetapi itu tidak cukup untuk menghentikan para pengejar untuk menangkap mereka.

"Ayo!"

Tifa meraih tangan kiri Nina dan menggandengnya dengan bahunya.

Mereka berlari selagi patroli terus menembaki mereka, tanpa sadar Tifa terus membuat dinding-dinding tanah untuk melindungi mereka dari anak panah yang menembaki mereka.

Perjuangan keduanya benar-benar terlihat dari pantulan ekspresi mereka.

Jalan buntu.

Terhenti di ujung jalan berumput, mereka berada diatas tebing yang curam dan tinggi.

Danau yang bermuara ke laut berada tepat di bawah kaki mereka.

Gadis berambut biru lurus itu memberikan tatapan teguh pantang menyerah kepada kawannya yang terluka.

"Hmm!"

JLEBB!!!

Tepat sebelum mereka ingin melompat, sebuah anak panah menembus dinding batu Tifa dan menusuk dada kiri Nina.

Crakshh!

Cairan ungu tercurah dari tubuh perempuan yang kurus itu. Keduanya kaget melihat situasi itu.

Tifa menatap wajah Nina dengan air mata yang mulai bercucuran, namun Nina hanya menunjukkan senyumannya.

Senyumannya menunjukkan segalanya, bahwa ini adalah akhir untuknya.

DAK!!

Nina mendorong Tifa jatuh kebawah.

Gadis berambut bob coklat itu bergumam dengan suara yang serak.

Semua orang kaget mendengar suara serak patah-patahnya, dia ingin meledakkan dirinya sendiri. Cahaya putih menyilaukan keluar dari seluruh tubuhnya.

JREB!!

Sedetik sebelum dia meledak, busur lain mendarat di kepalanya.

Nina terjatuh ke tanah, sihir ledakan diri sendirinya terbatalkan. Semua patroli membuang nafas lega.

Sekitar dua kilometer ke belakang, seorang wanita muncul dari belakang pohon.

Wanita bertopi baret coklat dengan rambut merah muda sebahu tersenyum lebar karena kedua tembakannya mengenai sasarannya dengan sempurna.

"Terima kasih atas bantuannya! Wakil Komandan Fayre!!"

"Bawa dia! Cari perempuan berambut biru itu!"

BRASHHH!!!

Tifa jatuh ke danau, dia menemukan sebatang kayu pohon dan berpegangan dengan erat sambil terhanyut arus.

Tatapan mata coklatnya masih penuh akan rasa sedih dan pilu.

Setengah jam kemudian, badai besar datang dan hujan lebat turun.

Tim pencari tidak dapat menemukannya karena penglihatan mereka terganggu oleh hujan.

"Arielz Vatra"

Exxone menyalakan api unggun, Richard duduk bersila menghadap kayu-kayu bakar itu.

Mereka berdua sedang beristirahat di dalam gua kecil yang kering dan sedikit berdebu.

"Kau barusan tidak merapal? Terakhir kali aku berduel denganmu semua sihirmu pasti memiliki rapalannya masing-masing"

"Oh? Aku tidak merapal ya barusan?"

"Eh? Jangan kembali bertanya!"

"…"

"Aku selalu merapalkan sihir pada X-Dragon setiap kali aku bertarung. Aku heran saja barusan kau bisa menyalakan api tanpa repot-repot"

"Oahh begitu ya? Sepertinya kau tidak memperhatikan saja"

Exxone tersenyum kaku selagi membuka seragam sekolahnya.

Richard hanya heran melihat tanggapan Exxone.

"Apakah dia seperti seorang vampir yang pernah ayah ceritakan dulu padaku?"