Tibanya di Sulawesi, Tommy dan Sherly kembali ke rumah mereka yang dulunya diberikan Charles. Di sana mereka di sambut oleh ketiga putra mereka yang tampan-tampan.
"Papi!" seru Arya bersama Julian begitu melihat Tommy.
Tomny berlutut dan segera menyambut mereka Julian dalam pelukan. Sementara Arya berdiri di depan mereka. "Anak-anak Papi tidak nakal, kan?"
Julian menggeleng polos, sedangkan Arya langsung menatap adiknya itu dengan kesal. "Dede rusakin stik playstation-nya Titi, Pi."
Tommy menatap putra bungsunya. "Dede apa benar yang Titi Arya bilang?"
Julian menunduk sedih. "Maafin Dede, Pi, habisnya Titi gak mau pinjamin Dede, jadi Dede rusakin aja biar sekalian Titi gak bisa main."
Tommy menggeleng kepala. "Lain kali jangan begitu, ya. Kalau Titi gak kasih, jangan rusakin barang orang, ya?" Julian mengangguk, "Dan kamu, Titi," katanya pada Arya, "kalau Dede pinjam, harus ngalah, ya? Papi gak mau kalian berantem."
Arya menunduk sedih. "Iya, Pi."
Tommy berdiri seraya mengusap kepala Arya. "Jangan sedih, besok kita akan ke toko untuk beli playstation baru."
Kepala Arya tersentak. "Benar, Pi?" Tommy mengangguk. "Hore!"
"Dede dapat playstation juga kan, Pi?" kata Julian tak mau kalah.
Tommy tertawa. "Iya, Sayang. Sekarang Papi mau bersih-bersih badan dulu."
Julian minta turun. "Hore! Dede dapat playstation baru. Dede dapat playstation baru." Bocah itu berteriak-teriak seraya berlari memasuki ruang nonton, sementara Arya yang hendak menyusul, langsung menghentikan langkahnya saat Tommy melontarkan pertanyaan.
"Titi, Koko mana?"
"Koko sudah tidur, Pi."
Saat itulah Tommy hendak menengok ke sebelahnya untuk mencari Sherly, tapi ternyata wanita itu tidak ada. Alis Tommy berkerut-kerut. Ia baru sadar kalau saat tiba tadi Sherly bahkan tidak memeluk kedua anaknya. "Apa dia tidak rindu anak-anak?" Tommy pun berjalan memasuki ruangan, sementara Bibi sibuk memasukkan barang bawaan mereka ke dalam rumah. "Bi, Mama dan Papa mana?"
"Tuan Harry dan Nyonya Lenna sedang keluar, Tuan. Katanya tadi mau ke rumahnya orang tua, Tuan."
Tommy tersenyum. "Oh. Makasih ya, Bi."
"Sama-sama, Tuan."
Tommy kemudian berjalan memasuki kamar, namun saat hendak mendekati pintu, ia sempat melihat pintu kamar Donny sedang terbuka. Ia pun segera mengalihkan badan menuju kamar anak tertuanya.
ZET!
Ternyata di sana ada Sherly sedang duduk di atas kasur sambil menelepon. Karena tubuh wanita itu membelakanginya, Tommy pun diam-diam masuk untuk mendengarkan pembicaraan Sherly.
"Aku akan menghubungi lagi. Pokoknya kamu jangan hubungi aku kalau aku tidak menghubungimu," kata Sherly pada seseorang di balik telepon.
Tommy mengerutkan alis dan menyapu seluruh ruangan untuk mencari Donny, tapi ternyata tidak ada. "Ke mana anak itu? Kata Arya dia sudah tidur."
"Ya sudah, sampai nanti, Sayang. Bye."
ZET!
Tommy emosi. "Siapa itu?!"
Bentakan Tommy membuat Sherly terlonjak. "Ya ampun, Sayang, kau kagetin aku saja, sih. Aku sedang bicara dengan Imeng, dia orang kepercayaanku, Sayang. Dia yang sekarang mengurus semua keperluan rumah makan di sana."
Tommy tak percaya. Entah kenapa ia merasa Sherly berbohong. "Kalau begitu mana kulihat panggilannya."
Sherly pun tertawa dan memperlihatkan kontak yang barusan diteleponnya. "Nih, masih gak percaya juga?" Ia menengadahkan ponsel yang terdapat panggilan bernama Imeng. Namun dalam hati ia bertanya-tanya, "Kenapa dia curiga padaku, apa jangan-jangan dia tahu kalau aku menjalin hubungan dengan Denny?" katanya dalam hati, "Memangnya kau pikir aku selingkuh, hah?"
"Memang!" Kata-kata nyaris saja terlontar dari mulut Tommy, namun lagi-lagi wajah ketiga putranya selalu terbayang. "Maaf, habisnya bicara kamu mesra sekali. Pakai sayang-sayang lagi, jadi siapa yang tidak curiga."
Sherly memeluk Tommy. "Maaf. Aku sama Imeng memang begitu, kok."
Tommy balas memeluk istrinya, tapi entah kenapa ada keraguan dalam hatinya saat Sherly memeluknya. "Kenapa tadi kau tidak menyapa anak-anak?"
"Anak-anak! Di mana mereka?" Sherly melepaskan pelukannya. "Maaf, tadi saking paniknya membaca pesan dari Imeng, aku langsung menghubunginya, sampai lupa sama anak-anak." Sherly pun pergi meninggalkan kamar.
Sementara Tommy masih diam seribu bahasa dengan pikiran yang penuh curiga. "Ibu macam apa kau? Masa orang lain lebih penting dari pada anak-anak." Tommy hendak bergerak keluar kamar, namun tiba-tiba ia mendengar ponsel Sherly yang berdering di atas ranjang. Tommy mendekati ranjang. "Imeng?" katanya saat melihat nama si pemanggil. Karena tadi Sherly bilang Imeng adalah orang kepercayaannya, Tommy pun segera meraih benda itu dan menghubungkan panggilannya.
"Halo, Cantik! Tadi aku lupa bilang, kalau hari ini aku ada kerjaan di rumah Bos. Jadi mungkin aku gak akan bawa handphone, karena sibuk."
ZET!
Suara laki-laki dari balik telepon membuat Tommy terkejut. "Ini siapa?" tanyanya dengan suara parau. Tubuhnya menadadak panas. Tangannya mengepal, tapi lelaki di balik telepon tidak menjawab dan langsung memutuskan panggilan.
Tut! Tut!
Tommy terkejut. Dengan cepat ia menekan radial untuk menghubungi nama itu lagi, tapi tiba-tiba Sherly muncul. Ia pun tak peduli dan tetap menempelkan ponsel itu ke telinganya menunggu panggilan itu terhubung.
"Siapa, Sayang?" tanya Sherly dengan wajah khawatir saat melihat ponselnya di tangan Tommy. Lelaki itu tidak menjawab, melainkan terus menatap Sherly dengan tatapan garang seperti singa hendak memangsa.
Sherly tahu apa penyebab emosi yang tersirat dari wajah suaminya. "Apa jangan-jangan Denny telepon?" katanya dalam hati.
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif, atau berada___"
Tut! Tut!
Tommy memutuskan panggilan dengan mata yang masih menatap Sherly. "Bisa kau jelaskan siapa sosok lelaki di balik nama Imeng?"
"Jadi benar Denny tadu telepon?" pikinya, "Mati aku, lagian kenapa lagi si jelek itu meleponku. Sudah kubilang jangan telepon aku, kok masih ditelepon. Ya Tuhan, bagaimana ini?"
"Siapa dia, Sherly?" bentak Tommy.
Sherly terkejut. "Di-dia___"
"Mami!" Seruan Julian membuat perkataan Sherly terhenti. "Mami, Dede mau bobo sama Mami dan Papi. Koko Donny sama Titi Arya tidurnya berhimpitan, Dede sesak tidur sama mereka."
Sherly bernapas lega. Ia bersyukur anak bungsunya datang dan menyelamatkannya. Meski ia tahu Tommy akan menagih jawabannya nanti, tapi ia bersyukur untuk saat ini bisa menghindar sampai ia punya alasan yang tepat untuk menjelaskannya pada Tommy. "Iya, Sayang, tapi Mami masih ada urusan dengan Papi. Dede gak apa kan duluan ke kamar Mami?"
Julian menggeleng. "Tidak mau, Dede mau sama Mami. Dede suka mengantuk."
Sherly menatap Tommy yang masih terus menatapnya. "Aku antar dia dulu ke kamar." Sherly memeluk Julian kemudian keluar dari kamar.
Tommy yang merasa hal ini perlu ditindak lanjuti dengan cepat mengikuti Sherly dan Julian menuju kamar mereka. Sherly masuk ke dalam kamar sambil memeluk Julian, sementara Tommy juga mengekor di belakang dengan emosi yang kapan saja bisa meledak. Seandainya tidak ada Julian bersama mereka, Tommy sudah pasti akan menuntut jawaban dari Sherly atas kebohongan yang dilakukannya terhadap sosok laki-laki di balik nama Imeng.
Namun lagi-lagi ia sadar. Jika seandainya saja emosinya tadi meledak, sudah pasti rumah akan dihebohkan oleh perkelahian mereka. Dan ia tidak mau perkelahian mereka diketahui oleh anak-anak, terlebih orang tua Sherly. Karena tak ingin emosinya semakin meluap, Tommy akhirnya keluar kamar dan pergi meninggalkan rumah.
Continued___