Saat hendak keluar dari pintu depan, Harry dan Lenna baru saja saja keluar dari mobil. "Tommy? Kalian sudah pulang, Nak? Sherly mana? Kenapa kalian tidak menelepon dulu, Sayang?"
Dengan santun Tommy menjawab, "Maaf, Ma, kami hanya tidak ingin merepotkan Mama dan Papa. Sherly sedang menidurkan Julian di kamar."
"Bagaimana pekerjaanmu, Nak?" tanya Harry basa-basi.
"Lancar, Pa. Aku mau ke rumah Mami dan Papi dulu. Ada hal yang harus aku bicarakan dengan mereka."
"Kami juga dari sana," sahut Lenna.
Tommy pun menunduk pamit, kemudian masuk ke dalam mobilnya. Dalam perjalanan ia memikirkan soal masalah rumah tangganya yang semakin rumit. "Aku tak menyangka dia sekarang jadi suka berbohong," lirihnya seraya menatap lurus ke depan, "Tapi siapa nama di balik nama Imeng itu, ya? Apa itu Denny? Tapi kenapa dia tidak mencantumkan nama Denny saja, kan dia belum tahu kalau aku tahu mereka selingkuh?"
Tommy menginjak pedal gas lebih dalam lagi menuju rumah keluarganya. Tibanya di rumah itu, sosok Lisa muncul dengan mimik wajah terkejut saat melihat putranya berdiri di depan pintu.
"Tommy, kapan kau tiba, Nak? Kenapa kau tidak menghubungi Mami?" Lisa mengintip di belakang Tommy. "Sherly mana?"
Ingin sekali Tommy menjawab rentenan pertanyaan yang dilontarkan Lisa, namun pertanyaan yang terakhir saat ibunya bertanya soal Sherly membuat Tommy menelan kembali semua jawabannya, kemudian masuk ke dalam rumah. Ia berhenti di ruang tamu dan tepat bersamaan Charles muncul.
"Tommy, kapan kau tiba? Tumben kau tidak menelepon dulu." Dilihatnya lelaki itu membungkuk sambil menunduk. Sebagai sesama lelaki ia tahu kalau putranya itu sedang ada masalah.
Ia kemudian duduk di sofa dengan posisi saling berhadapan dengan Tommy, sementara Lisa terus berjalan menuju dapur untuk memerintahkan si pengurus rumah agar membuatkan teh untuk anaknya. Dan setelah selesai mengucapkan hal itu, Lisa kembali berbaur bersama suami dan anaknya.
"... selesai, aku akan resign dari perusahannya Pak Malik."
Perkataan Tommy membuat Lisa dan Charles saling bertatap. "Resign? Kenapa Tommy?" tanya Lisa setelah mendudukan tubuhnya di samping Charles.
Tommy mendongak kemudian menyandarkan punggungnya ke sandaran. Sambil menatap kedua orangtuanya secara bergantian ia berkata, "Aku sudah bosan menjadi kontraktor. Aku ingin punya waktu banyak untuk anak-anak."
Alasan yang cukup logis. Tapi sebagai sesama pria, Charles tahu kalau anaknya itu tidak berkata jujur. Apalagi selama yang diketahuinya dalam sejarah, Tommy adalah tipe orang tidak pernah bosan dengan pekerjaan. Semakin pekerjaan itu menantang, semakin tinggi pula dedikasi dan tanggung jawab yang akan ditunjukkan Tommy.
"Lalu bagaimana proyekmu saat ini? Sudah berapa persen tingkat penyelesaiannya?" tanya Charles.
Di saat yang sama si pengurus rumah datang seraya membawa baki berisi secangkir kopi. Tommy meraih cangkir itu kemudian menyesap isinya. "Proyek itu sudah lima puluh persen selesai. Tapi sudah mengalihkan proyek itu sepenuhnya kepada Andin."
"Andin?" Pekikan Lisa membuat Charles menatap istrinya.
"Ada apa? Apa ada masalah dengan proyek itu?" tanya Charles dengan mimik wajah khawatir.
"Tidak, Pi, aku hanya ingin lebih fokus pada anak-anak."
Tommy kembali menunduk, sementara Lisa dan Charles saling melirik seakan mengodekan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan Tommy. Namun mereka tak ingin terlalu memaksa untuk mencari tahu alasan yang sebenarnya kenapa sampai Tommy mengalihkan proyek itu. Lisa dan Charles selalu yakin jika putra mereka itu akan selalu bersikap terbuka dalam segala hal.
"Aku sengaja mengambil keputusan itu agar Pak Malik tidak akan lagi memberikan proyek padaku. Dengan begitu akan lebih mudah bagiku untuk mengajukan resign terlebih dulu. Aku ingin fokus mengurus usaha keluarga kita. Aku ingin duduk diam di kantor dan menekuni hobinya dalam mendesain. Di samping itu aku ingin selalu bersama anak-anak."
Lagi-lagi Lisa dan Charles dikejutkan oleh keputan Tommy. "Tapi kenapa, Tommy? Apa mertuamu tidak mengurus cucu-cucu kami dengan baik? Kalau itu benar, bawa mereka tinggal di sini biar Mami yang akan mengurus mereka," kata Lisa seraya melirik Charles.
Suaminya itu tidak memberikan komentar apapun, tapi dia membalas lirikan Lisa kemudian mengalihkan pandangannya kepada Tommy yang kini tampak sedang berkutat dengan pikirannya.
"Tidak, Mi. Semua ini tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi. Aku hanya ingin menggabiskan waktu bersama anak-anak saja, karena aku akan membawa mereka ke sana. Baiklah, mungkin saat ini aku bisa membawa mereka bertiga bersamaku di sana sampai proyekku selesai dan itu artinya mereka akan pindah sekolah di sana. Tapi kalau proyek itu selesai dan Pak Malik akan menempatkan aku di kota lain, bagaimana? Apa aku harus mengajak mereka lagi ke kota tersebut? Aku tidak mau seperti itu, Mi. Aku tidak mau sekolah mereka terganggu hanya karena pekerjaanku, sementara aku ingin selalu bersama mereka. Jadi jalan terbaikku adalah resign dan fokus dengan perusahan kita nanti."
Alasan yang cukup masuk akal bagi Charles dan Lisa. Sebenarnya ia ingin sekali berkata jujur kepada orangtuanya terhadap masalah rumah tangga yang dialaminya saat ini, namun sebisa mungkin Tommy menahannya sampai ia bisa menemukan bukti yang kuat.
Hanya suami bodoh yang mau memaafkan istrinya, padahal sudah jelas wanita itu masuk bersama laki-laki lain di dalam penginapan. Hanya suami bodoh yang masih memberikan istrinya toleransi, padahal jelas-jelas suara pria di balik telepon itu begitu mesra saat mengira dirinya Sherly. Namun selama ia tidak melihatnya dengan mata kepala sendiri, Tommy tidak akan pernah menyerah sampai ia mendapatkan bukti jelas tentang hubungan istrinya bersama pria lain. "Aku harus melakukan sesuatu untuk mendapatkan bukti-buktinya. Tapi bagaimana caranya? Apa aku harus membayar orang untuk menyelidikanya?" pikir Tommy, "Tidak, aku sendiri yang harus menyelidikinya. Aku sendiri yang harus mempergoki mereka secara langsung."
Seandainya tidak memikirkan ketiga putranya__ bisa saja tempo hari saat melihat mobil istrinya memasuki penginapan__ Tommy akan segera mempergoki mereka dan memukul Denny. Tapi meskipun mereka bilang dirinya bodoh karena masih mempertahankan perempuan yang sudah jelas-jelas bersama pria lain, ia tak peduli. Karena yang ia perdulikan saat ini hanyalah masa depan ketiga anaknya.
"Baiklah, jika itu memang sudah keputusanmu, Papi akan menyuruh para konstruksi agar mempercepat penyelesaian."
Tommy tersenyum. "Terima kasih, Pi."
Lisa, yang sempat menangkap ekpresi Tommy saat masuk tadi masih bertanya-tanya. "Tidak biasanya saat aku bertanya soal Sherly dia akan diam. Apa jangan-jangan mereka sedang ada masalah?" pikirnya.
Sebagai orang tua yang paham akan sikap anak, mereka tak ingin ikut campur dengan masalah yang sebenarnya terjadi. Karena mereka tahu jika Tommy tidak mengutarakan hal yang sebenarnya.
***
Dan seperti yang sudah ia pikirkan sebelumnya, keesokan hari Tommy mulai menjalankan rencananya. Semalam saat pulang dari rumah orangtuanya, Tommy tidur di kamar bersama anak-anak. Dan karena terbangun lebih pagi, ia pun beranjak keluar dari kamar anak-anak, menuju kamarnya untuk melihat Sherly.
"... bilang, jangan hubungi aku. Biar aku saja yang menghubungimu lebih dulu," kata Sherly sambil berbaring. Ia sedang bicara di telepon. "Sekarang karena dia sudah tahu kau menghubungiku via telepon, jadi sebaiknya kau tidak menghubungi dulu. Jika kau ingin bicara atau apa, lebih baik kau inbox saja aku lewat akun facebook. Di akun itu dia tidak akan curiga, karena dia tahu aku jarang menggunakan facebook."
ZET!
Perkataan Sherly membuat Tommy memundurkan langkahnya lagi. Dengan cepat ia keluar kamar yang ternyata pintunya tidak ditutup entah sejak kapan. "Facebook?" Tommy ingat bahwa dialah yang membuat akun itu untuk Sherly, tapi dia lupa password dan emailnya, "Seingatku aku sempat mencatat email dan passwordnya, tapi di mana?"
Continued___