Chereads / Hidden Desires / Chapter 64 - Bab 64. Keputusan Yang Diambil.

Chapter 64 - Bab 64. Keputusan Yang Diambil.

Tak berapa lama Tommy pun tiba di hotel berbintang yang ditempati Andin, segera menaiki lift dan sedikit berlari menuju kamar Andin saat tiba di lantai tersebut. Tommy kemudian mengetuk pintu kamar dan tak lama itu sosok Andin dengan balutan bathdroop berwarna putih muncul di hadapannya.

"Tommy? Kenapa kau kembali, apa ada yang ketinggapan?" tanya Andin basa-basi.

Namun tanpa disadari Tommy ternyata memperhatikan matanya yang merah dan bengkak. Ia terkejut dan bertanya, "Kau habis menangis?"

Pertanyaan Tomny membuat Andin kembali menangis. Air mata yang kini menetes seakan mengungkapkan perasaan yang sebenarnya. "Maaf kalau aku sudah tidak sopan, tapi___"

Buk!

Tommy dengan cepat menabrak tubuh Andin. Dipelukanya tubuh gadis itu dengan erat, seakan meluapkan kerindukan yang selama ini ia rasakan. Mereka sama-sama berpelukan dan menangis seakan melampiaskan perasaan yang selama ini mengendap dalam dada seakan menyiksa. Perasaan yang sejak remaja tak pernah diungkapkan dan sekaranglah perasaan itu baru meluap seperti gairah yang ada pada diri Andin dan Tommy.

Jika Tommy dan Sherly tidak pernah bercinta lagi sejak mereka pindah ke Jawa, begitu juga dengan Andin, yang tak pernah mau disentuh suaminya, karena kebosanan yang dirasakan wanita itu terhadapnya. Mungkin karena dasarnya menikah tanpa cinta, Andin justru semakin lama semakin bosan pada suaminya dan berharap semoga suatu saat Tommy bisa menerima cintanya meskipun hanya orang kedua.

Dan sekarang, karena tak tahan akan perasaannya terhadap pria itu sejak belasan tahun tidak bertemu, Andin memanfaatkan kesempatan di saat hubungan Tommy dan Sherly sedang tidak bagus. Dan ternyata Tuhan menjawab doanya.

"Maafkan aku, Tom. Segala cara sudah kucoba untuk melupakanmu, tapi tidak bisa. Aku pikir setelah menikah dan punya anak, aku bisa melupakanmu, tapi ternyata salah." Ia semakin menangis dalam pelukan Tommy.

Sementara Tommy masih memeluknya begitu erat. Pintu hotel bahkan tidak tertutup. Perlahan Tommy melepaskan pelukannya kemudian menatap Andin. Ia tersenyum dengan mata yang merah akibat menangis.

Andin tertawa. "Maaf sudah membuatmu menangis," bisiknya seraya menatap bibir Tommy.

Tommy masih tak bersuara, tapi sebelah tangannys terangkat dan mengelus pipi Andin hingga wanita itu memejamkan mata. Jemarinya yang lembut meraba tektur bibir Andin yang lembab. "Kau masih ingat kejadian tempo hari?" tanya Tommy dengan nada berbisik.

Perlahan Andin membuka mata. Matanya yang sayu karena kenikmatan belaian jari Tommy bibirnya kini balas menatap pria itu. "Aku sangat ingat, bahkan sampai sekarang pun aku mengingatnya."

"Benarkah?" bisik Tommy lagi seraya mengusap bibir Andin bagian bawah dengan jempolnya. Bibir yang merah itu begitu menggoda, sehingga mata Tommy tak sekalipun berpaling dari bibir itu.

Andin tak menjawab, ia malah mengulurkan lidahnya untuk merasakan tekstur lembut dari jempol yang kini bermain di bibirnya. Tommy pun membiarkan Andin menganggap jempol itu adalah permen.

Namun semakin lama Tommy tak tahan, emutan Andin di jarinya membuat bagian tubuh lain Tommy ikut merespon. Perlahan ia menarik jempolnya dan menggantikannya dengan bibir.

Andin yang ternyata juga sudah bergairah, dengan lembut membalas lumatan bibir Tommy yang tak kalah lembut. Namun karena mengingat sebentar lagi sahabatnya itu akan berangkat, dengan cepat Andin melepaskan bibirnya.

"Kau akan ketinggalan pesawat," bisiknya dengan suara mendesah.

Tatapan Tommy menjadi sayu. "Maukah kau berjanji akan menungguku di sini hingga aku kembali?"

Mata Andin nanar. "Kapanpun. Kapanpun aku akan selalu menunggumu, Tom."

Tommy memeluknya. "Aku mencintaimu, Andin. Aku sangat mencintaimu."

***

Di rumah kediamannya yang besar, Sherly sedang duduk-duduk di ruang tamu sambil menunggu Tommy pulang. Dengan posisi menghadap pintu masuk ia kini berbicara di telepon. "Kau jangan pernah menghubungiku, ya? Biar aku saja yang akan menghubungimu. Aku tidak mau sampai suamiku tahu hubungan kita."

"Kau tenang saja, Cantik. Asalkan kau harus janji padaku bila mana kau tidak akan pernah meninggalkanku." Suara di balik telepon itu ternyata Denny.

"Aku janji, Sayang. Aku janji tidak akan pernah meninggalkanku." Saat itulah bunyi mobil dari arah luar terdengar. "Dia datang. Nanti aku akan mengabarimu lagi. Ingat, jangan hubungi aku, oke?"

"Oke, Cantik. Cium sayang untukmu, Cantik."

"Oh, Denny, aku akan merindukanmu. Sudah dulu, ya. Bye."

Tut! Tut!

Sherly dengan cepat memutuskan panggilannya dan melihat Tommy dari balik jendela saat pria itu hendak memasuki ruang tamu. "Aku pikir kau akan membatalkan penerbangan kita."

Tommy menghentikan langkah kemudian menatap Sherly dengan tubuh yang terbalut jubah mandi . Jika biasanya ia sangat senang melihat istrinya seperti itu, tapi kini rasa itu hilang setiap kali ia membayangkan istrinya bersama pria lain masuk ke dalam penginapan. Tommy pun baru sadar jika gairah yang ditunjukkan Sherly setiap hari ternyata bukan untuknya, melainkan untuk orang lain.

Tanpa menjawab pertanyaan istrinya, Tommy kembali bergerak menuju kamar mereka. Sherly menatap aneh dan dalam hati bertanya-tanya, "Kenapa dia jadi seperti ini? Apa jangan-jangan dia tahu kalau aku .... " Dengan cepat Sherly beranjak dari sofa untuk mengejar suaminya di dalam kamar. Dan saat dia masuk, Tommy sudah berada di dalam kamar mandi. "Aneh, tidak biasanya dia seperti ini," katanya seraya berpikir, "Andin, apa jangan-jangan karena Andin?" Ia menggeleng. "Itu tidak mungkin." Sherly sangat hafal perlakuan Tommy terhadapnya. Dan meskipun menyangkut Andin, suaminya itu tetap tidak akan secuek dan sedingin itu padanya. "Jika bukan karena Andin, lalu karena apa? Apa yang menyebabkan sikap Tommy berubah dingin seperti es?" Sherly pun memutuskan untuk menunggu sampai suaminya selesai mandi.

Clek!

Bunyi pintu kamar mandi mengejutkan Sherly. Ia pun segera bergegas untuk mendekat Tommy yang kini hanya mengenakan handuk sebatas pinggang. "Sayang, kok sikap kamu padaku jadi berubah, sih? Apa jangan-jangan kau sudah bosan padaku?"

Bukan saol pertanyaan yang diucapkan Sherly, tapi nada wanita itulah yang membuat Tommy menatapnya. "Iya, aku sudah bosan padamu. Bosan karena kau sudah memilki pria lain." Ingin sekali Tommy melontarkan jawaban itu pada Sherly, namun bayangan ketiga wajah anak-anak seakan menahan mulutnya untuk mengutarakan apa yang ia rasakan. Seandainya ia mengungkapkan hal yang sebenarnya, apakah Sherly akan memilih bertahan dengan rumah tangganya atau akan meninggalkannya bersama anak-anak dan memilih Denny?

Tidak, Tommy tidak sanggup membayangkannya. Ia tidak sanggup ketika melontatkan perasaannya, Sherly justru akan memilih Denny dan meninggalkannya. Ia tidak sanggup melihat ekpresi dari ketiga anaknya jika tahu mereka berpisah. Ia tidak akan sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan ketiga putranya; 'Di mana Mami, Pi? Papi, mana Mami? Kok Papi pulang sendiri? Mami mana, Pi?'

Tommy tak tahan mendengar semua pertanyaan itu. Apalagi usia Julian yang masih sangat kecil. Donny maupun Arya mungkin masih bisa dimanipulasi, tapj Julian? Bocah itu pasti akan terus menanyakan keberadaan ibunya sampai dia sendiri yang melihat di mana Sherly berada.

Perlahan Tommy mendekati Sherly. Ia memborong semua wajah istrinya yang begitu cantik. "Maafkan aku. Akhir-akhir ini aku sering dibuat pikiran dengan pekerjaan."

Sherly yang kebetulan jaraknya tidak jauh dari Tommy kini mendekat dan memeluk suaminya. Kepalanya disandarkan di dada Tommy dengan tangan yang melingkar di pinggang. "Aku takut kau bosan padaku dan mencari wanita lain."

"Bukannya kau yang bosan padaku? Saking sudah bosannya padaku, kau malah memilih pria jelek itu dan mengabaikanku," kata Tommy dalam hati. Ia menunduk dan menatap pucuk kepala Sherly.

Dan saat bersamaan Sherly mendongak untuk menatapnya. "Apa waktu kita masih banyak?"

Dengan terpaksa Tommy balas memeluknya. Bayangan akan Sherly bersama Denny saat mobil mereka masuk penginapan membuat Tommy jijik. Tapi sekuat tenaga ia menepiskan bayang-bayang itu dan menggantikannya dengan wajah-wajah tampan ketiga anaknya. Ia berharap semoga setelah kembali ke Sulawesi, Sherly tidak akan lagi menjalin hubungan dalam bentuk apapun bersama Denny. Dan itu artinya, Tommy memberikan kesempatan untuk Sherly untuk berubah demi rumah tangga mereka. "Iya. Kita masih punya waktu berapa jam. Kenapa?" Tommy yakin, pasti Sherly akan berpamitan untuk pergi sebentar dan menemui Denny.

"Aku ingin bercinta, Tom. Aku ingin bercinta denganmu." Tangan Sherly merambat ke bagian dalam handuk suaminya.

Tommy terkejut, karena ternyata pikirannya salah. "Bercinta?"

Tangan Sherly menarik handuk itu hingga terlepas. "Iya, Sayang. Saking sibuknya aku baru sadar bahwa aku tidak pernah menuntaskan hasratku selama ini. Aku bahkan merasa berdosa karena selama ini aku tidak pernah menjalankan kewajibanku sebagai seorang istri."

Alis Tommy berkerut. "Apa ini alasannya agar aku tidak curiga? Atau jangan-jangan dia sudah tahu kalau aku sempat mengikuti mereka?" Pikiran Tommy membuyar ketika Sherly melepaskan jubah mandi dan memperlihatkan tubuhnya yang telanjang. Karena tak tahan akan godaan di depan mata, Tommy pun segera meraih tubuh istrinya dan membaringkannya di atas ranjang.

Continued___