Tak berapa lama Tommy pun tiba di bandara. Getaran ponsel membuat Tommy terkejut dari lamunannya. Ia turun dari mobil sambil merogoh saku celananya. Dilihatnya nama Andin yang membuat senyumnya melebar. "Halo?"
"Di mana kau? Aku sudah tiba di bandara."
Tommy terbahak. "Sabar, Bu. Aku baru saja tiba di parkiran."
"Ya sudah, cepat, ya. Gak pake lama!"
Tut! Tut!
Andin memutuskan panggilannya. Dan hal itu membuat Tommy menggeleng-geleng, karena teringat akan sikap Andin yang dulu saat masih sekolah. Dengan cepat ia pun segera merapikan kemejanya dan mengenakan kaca mata, kemdudian masuk ke dalam bandara. Tapi belum sempat Tommy masuk di depan pintu utama, suara wanita dari arah lain sudah mengenai telinganya.
"Tommy!"
Lelaki itu menoleh ke asal suara. Akibat mengenakan kacamata hitam, ia tak terlalu mengenali sosok yang memanggil itu. Tommy pun membuka kaca mata. "Andin!" Ia tersenyum lebar.
Andin yang sama girangnya pun segera mendekat dan memeluk Tommy. "Oh, Tommy, aku sangat merindukanmu. Bagaimana kabarmu?" Andin melepaskan pelukannya dan memborong semua tbuh Tommy seakan menilai. "Kamu kenapa kurusan?"
"Masa sih? Perasaan badanku biasa saja." Tommy menatap dirinya sendiri lalu menatap Andin. "Lama tak berjumpa ternyata kau tambah cantik juga, ya."
Andin tersipu malu. "Ya sudah, ayo. Aku tak sabar lagi ingin mulai bekerja."
Tommy tertawa. Ia meraih koper Andin lalu berjalan menuju mobil. "Kita ke lokasi proyek dulu atau kau mau ganti baju dulu? Atau kau ingin makan dulu?"
"No!" Andin menggeleng. "Kita ke lokasi proyek saja. Nanti setelah itu aku ke rumahmu saja."
Tommy menatapnya. "Tapi hari ini aku tidak bisa mengantarmu ke rumahku. Di sana masih ada Sherly. Jadi malam ini kau menginap di hotel saja dulu. Aku akan memberikan alamat rumahku dan besok kau bisa ke sana. Tidak masalah, kan?"
"Terserah kamu saja, Tom. Asalkan aku tinggal gratis."
Senyumnya Tommy semakin melebar. Masalah yang dihadapinya kini seakan terlupakan ketika melihat senyum Andin, karena ada rasa bahagia yang seakan tak bisa diungkapkannya. Ini pertemuan mereka yang pertama setelah terakhir bertemu saat Donny ulang tahun ke sepuluh tahun. Dan sekarang putra pertamanya itu sudah enam belas tahun.
"Bagaimana kabar suami dan anak-anakmu?" tanya Tommy ketika menyalakan mesin mobil. Andin yang tatapannya lurus ke depan hanya diam dan tak merespon. Tommy pun paham, mungkin wanita itu tidak mau membahas masalah rumah tangganya. "Kau sudah sarapan? Apa sebaiknya kita sarapan dulu?" kata Tommy basa-basi.
"Kita baru bisa ssarapan setelah aku sudah melihat lokasinya, Tommy. Bukankah hari ini kau akan kembali ke Sulawrsi? Jadi sebaiknya kita selesaikan saja dulu urusan kita biar kau bisa pulang dengan pikiran yang tenang."
Tommy terbahak. "Kau seperti ibu-ibu arisan saja."
"Aku memang sudah ibu-ibu, Tom."
Tommy menahan tawa. "Tapi penampilanmu tidak seperti itu. Kau bahkan terlihat masih abg," ledeknya.
"Benarkah?" Andin balas meledek.
Tapi Tommy berkata jujur. Ia mengangguk sambil melirik Andin dengan tersenyum lebar. Andin yang juga sedang menatapnya bisa menangkap senyum Tommy. Dan itu mengingatkan Andin pada masa muda mereka dulu; di mana dia dan Tommy selalu bersenda gurau layaknya Tom dan Jerry. Bahkan dia masih ingat saat Tommy sering menjahilinya dan begitu juga sebaliknya. Namun ada rasa bahagia dalam hatinya, karena akhirnya persahabatan mereka kembali setelah sekian tahun terpisahkan oleh hubungan asmara Tommy. Andin sangat bersyukur karena Pak Malik mempercayakannya untuk menjadi kontraktor wanita dan hal itu membuatnya bisa bertemu lagi dan dekat dengan Tommy, sahabatnya.
Tak berapa lama mereka pun tiba di lokasi proyek. Dengan cepat mereka turun dan Tommy langsung mengajak Andin untuk bertemu si mandor. Tommy juga memperkenalkan Andin kepada beberapa orang penting yang bisa membantunya nanti saat di lapangan. Setelah mempresentasikan ini-itu, mereka pun kembali ke mobil untuk mencari hotel untuk Andin.
Tommy melirik jam tangan yang menunjukan pukul sebelas siang. "Kita masih punya waktu banyak untuk bicara," katanya saat menuju mobil. Langkahnya kemudian berhenti tepat di samping mobil. "Kau mau sarapan dulu atau kita cari hotel?"
Andin yang tatapannya masih menyapu seluruh seantero lokasi pun langsung berkata tanpa menatap Tommy. "Kita sarapan dulu, tapi aku mau sarapan di hotel saja." Matanya kemudian mengarah pada Tommy yang juga sedang menatapnya. Sontak hal itu membuatnya terkejut, karena tatapan Tommy membuat jantungnya bergetar. Kenapa? Apa rasa sukanya terhadap Tommy sejak kecil itu masih ada? Tapi Andin sebisa mungkin bersikap biasa karena ia tidak melepaskan kacamata hitamnya, sehingga Tommy pun tidak melihat ekpresi terkejutnya saat lelaki itu menatapnya tadi. "Tapi kalau kamu punya tempat sarapan yang enak, tidak masalah. Kita mampir saja dulu ke sana lalu cari hotel," katanya lalu berjalan masuk ke bangku kemudi. Ia sengaja bersikap seperti itu untuk menghilangkan kekikukannya akibat tatapan Tommy tadi.
Tommy yang juga tadinya bersandar di badan mobil kini mendorong tubuhnya dan masuk di bangku kemudi. "Kita akan mampir ke kedai. Kita bungkus makanannya dan kita sarapan di hotel. Bagaimana?"
"Tidak, tidak! Kita makan di kedai itu saja."
"Alis Tommy mencuat. Ia menatap Andin yang sudah duduk di sampingnya sambil menatapnya. "Bukannya kau bilang ingin sarapan di hotel saja?"
Andin menggeleng. "Tapi setelah aku ingat ada hal yang harus kita bicarakan, sebaiknya kita makan di kedai itu saja." Andin berharap alasannya itu bisa diterima Tommy.
Tommy yang memang sejak dulu selalu menuruti kemauan Andin hanya mendekikan bahu sambil menyalakan mesin mobil. "Baiklah," katanya kemudian menginjak pedal gas.
Tak berapa lama mereka pun tiba di sebuah kedai elit yang bertempat di tengah kota. Andin yang hanya mengenakan kemeja berlengan pendek hitam itu dipadu dengan celana jins dan kaca mata. Saat turun dari mobil rambut cokelatnya yang panjang tergerai lembut saat angin mengempasnya dan hal itu membuat beberapa mata lelaki meliriknya saat masuk ke dalam kedai.
Namum Tommy yang juga mengenakan pakaian yang sama pun ikut turun membelakangi Andin. Mata orang-orang yang duduk di kedai itu pun menatap mereka dengan kagum saat melihat penampilan mereka yang serasi. Mereka sama-sama bertubuh tinggi dan berkulit putih. Pakaian mereka juga sederhana, tapi berkelas yang ditambah berwajah cantik dan tampan, yang mampu meyakinkan orang-orang bahwa mereka adalah pasangan suami istri.
Tommy memilih duduk tepat di depan meja bar. Kedai outdoor itu lumayan ramai. Para pejabat, juga orang-orang penting terlihat sedang duduk di sana bersama relasi atau mungkin kolega mereka. Suasana yang nyaman membuat tempat itu sangat ramai.
"Permisi, Pak, Bu, mau pesan apa?" tanya si pelayan kedai saat mendekati meja di mana Tommy dan Andin duduk. Mereka berdua duduk berhadapan. Setelah Tommy dan Andin menyebutkan pesanan mereka, sang pelayan pria itu pun pamit dengan sopan.
Tommy meraih bungkusam rokoknya. Diambilnya sebatang lalu memasangnya. Dihisapnya pucuk rokok berwarna putih itu hingga menimbulkan warna kuning kemerahan di ujung lalu mengepulkan asapnya ke langit. Ditatapkan Andin dengan serangai lebar dengan kaca mata yang belum dilepas. "Apa yang akan kau bicarakan? Katanya ada hal yang ingin kau sampaikan padaku?"
Andin tersenyum. Disandarkannya punggung dengan tangan yang bertumpang di tangan kursi. Jempol dan telunjuknya memegang dagu. Kacamatanya tak dilepas. "Entah kenapa aku sudah tidak lagi memiliki rasa pada Rendra."
Tommy menghisap rokok itu dengan lama, sehingga asap itu masuk di antara hidung dan mulutnya. Dilepaskannya napas secara pelan. "Kenapa bisa? Apa suamimu buat masalah?" Tommy mematikan rokok yang batangnya masih panjang saat melihat pelayan mendekati mereka sambil membawa pesanan.
Andin yang tak ingin orang lain mendengar masalahnya pun diam sebentar. Saat Pelayan pria itu sibuk meletakkan pesanan mereka, ia justru sibuk menatap Tommy dari balik kacamatanya. Ia sengaja tak melepasnya agar bisa dengan leluasa menatap pria yang dulu pernah menciumnya. Di satu sisi ia bersyukur cuaca saat ini sedikit panas sehingga dia punya alasan untuk tidak membuka kaca mata.
Tatapannya itu mengingatkan Andin pada masa lalu mereka. Ia sampai menahan tawa saat membayangkan bagaimana dirinya dan Tommy saling berciuman di pondok tempo hari. Tapi rona bahagia itu lenyap ketika ia membayangkan Tommy di hari yang samapun langsung berangkat dan meninggalkannya. Dan lebih parahnya lagi saat Tommy kembali dan mendeklarasikan bahwa pria yang notabene adalah cinta pertamanya itu datang bersama pacarnya: Sherly. Andin kesal membayangkan semua itu, sehingga tanpa sadar tangannya terkepal erat.
Dan kekesalan Andin itu menguap ketika Tommy berkata, "Kalau marah pada suamimu nanti saja. Sarapan dulu."
Andin terkejut karena Tommy tahu. Tapi untung saja ia saat ini mengenakan kacamata, sehingga Tommy tidak melihat matanya yang kini masih terus menatap pria itu.
Mereka berdua pun menyelesaikan sarapan dengan cepatz karena mengingat waktu Tommy yang mepet. Dan setelah menghabiskan sarapan, Andin dan Tommy memesan lagi camilan. Kali ini topik mereka sangat serius. Sesekali Andin tampak terbahak, tapi sesekali wanita itu juga hendak menangis. Tommy sengaja memilih bangku pojok agar jauh jarak pandang ari pengunjung lain. Sehingga apa yang mereka bahas, tidak gampang didengar orang.
Karena Tommy mau terbuka soal rumah tangnnya, Andinpun menceritakkan masalah rumah tangganya kepada Tommy. Ia menceritakkan semuanya pada lelaki itu bila kenapa ia dan Rendra bisa sampai menikah. Andin bahkan tanpa merasa malu menceritakan pada Tommy soal hubungan suami-istrinya yang sudah tak seganas saat pertama kali mereka menikah. Tapi meski begitu, ia bersyukur karena Rendra bisa memberikannya dua anak.
Andin secara terang-terangan menceritakkan semua masalahnya pada Tommy. Bahkan ia berani mengatakan pada lelaki itu tentang perceraiannya yang hampir saja terjadi. Mereka memang sudah bberteman sejak kecil, sehingga saling terbuka satu sama lain kecuali .... Kecuali ketertarikan yang mereka rasakan.
Setelah mendengar semua keluh kesah Andin dan menghabiskan semua pesanan mereka, Tommy pun menemani wanita itu mencari hotel. Namun selama perjalanan saling diam. Curahan hati Andin padanya membuat mreka sama-sama canggung. Tapi hal itu langsung disadari Tommy, sehingga ia mampu mencairkan suasana dan membuat Andin terbahak lagi sambil menuju hotel bintang lima.
"Langsung hubungi aku kalau ada apa-apa, ya?" kata Tommy begitu Andin selesai check-in.
"Siap. Aku mau mandi dulu kemudian istirahat, biar besok bisa semangat."
Tommy tersenyum lebar, karena melihat antusias Andin yang sejak dulu tidak pernah kondor. "Aku pulang dulu, ya. Hati-hati."
"Sama-sama. Kau juga hati-hati. Kabari aku kalau sudah take-off," kata Andin.
"Siap." Tommy pun pergi meninggalkan Andin di hotel itu. Tapi entah kenapa saat perjalanannya menuju rumah perasaannya jadi gak tenang.
Ting!
Satu notifikasi masuk ke ponsel Tommy. Karena ia mengendarai mobil dengan kecepatan di bawah norma, Tommy meraih ponsel dan membuka pesan yang ternyata dari Andin.
"Aku mencintaimu, Tom. Maaf jika aku lancang. Tapi aku tak tahan lagi. Aku mencintaimu dan cinta ini sudah tumbuh sejak kau duduk di bangku SMA. Sekali lagi aku minta maaf. Sudah sejak lama aku ingin menghilangkan perasaan ini, tapi tidak bisa."
Zet!
Tommy terkejut membaca pesan yang baru saja dikirim Andin. Tapi bukannya membalas pesan itu, Tommy malah langsung memutar balik mobilnya dan kembali menuju hotel di mana Andin menginap.
Continued___