Chereads / Sleepy Bookmaster / Chapter 34 - Orang Tua (1)

Chapter 34 - Orang Tua (1)

Istana Negara Nusa, Sentral.

Di sebuah ruangan dengan tatanan megah dan rapi, duduk seorang pria tua berumur lima puluhan awal dengan badan tegap, rambut hitam beruban rapi disisir ke belakang, serta jenggot yang tercukur rapi menghiasi wajahnya yang lonjong. Matanya tampak sayu namun tajam melihat orang-orang yang berdiri di depannya.

Pria tua itu bernama, Endra Greymount. Dia adalah Wakil Presiden Nusa yang menjabat saat ini. Endra duduk di kursinya sembari memejamkan mata, jari telunjuknya terus menerus mengetuk-ngetuk meja. Suasana di ruangan hening, hanya suara ketukan jari terdengar.

Tuk tuk tuk tuk tuk tuk

Belum sebulan setelah kepulangannya dari negeri Tara, untuk bernegosiasi tentang persatuan kembali kedua negara, yang hasilnya gagal. Endra kini dihadapkan dengan berbagai macam masalah yang terus bermunculan. Ia membuka matanya, melihat ke tempat Jenderal Gahar berdiri.

"Sudah tahu siapa pelaku atau organisasi di belakangnya?"

Tanya Endra dengan nada suaranya yang serius dan tegas. Gahar hormat sebelum menjawab.

"Belum diketahui, pak!"

"Yang kalian ketahui tentang pelakunya apa?"

"Pak… dari kesaksian arwah-arwah korban, pelaku memakai senjata pistol laser, dan dia memakai sebuah artefak. Ini yang penting, menurut sejarawan mistis kami, artifak yang dipakai pelaku adalah [Talaria]."

"[Talaria]… sepatu Hermes. Itu bahkan bukan pusaka lagi, setidaknya tingkat legendaris bahkan mistikal. Sepertinya pelaku bukan orang sembarangan. Hmmm—bagaimana dengan pencarian korban?"

Endra lalu bertanya ke pria tua di samping Gahar. Dia merupakan ketua SAR di Nusa.

"Tak ada petunjuk sama sekali, tanpa petunjuk kita hanya akan mencari dengan mata buta. Sejujurnya, para anggota juga sudah menunjukkan keputusasaan, mereka berpikir—tidak, kita semua mungkin sudah berpikir kalau ini sudah terlambat. Nyawa Vanessa Blumunt, diragukan masih ada di dunia ini."

Brak!

Endra memukul mejanya ketika mendengar penjelasan dari ketua SAR.

"Kalian adalah SAR, jangan sampai menyerah duluan! Ingat! Kita tidak takut pada Hexagone, tapi! Semua masyarakat dunia sedang menunjukkan jarinya pada kita. Setidaknya kita harus menemukan petunjuk atau apapun yang bisa membuat jari itu menunjuk ke arah lainnya."

Ketua SAR hanya berdiri terdiam, tidak membalas, sesungguhnya dia tidak tahu harus mencari ke mana. Tanpa petunjuk, pencarian secara membabi buta hanya akan menguras energi tanpa hasil. Dia memaki-maki Wakil Presiden dalam hatinya, merasa orang yang hanya duduk tidak mengerti bagaimana cara orang di luar sana bekerja.

Untuk petunjuk itu sendiri, sosok pria yang diketahui bernama Dimitri itu adalah petunjuk satu-satunya. Mengetahui pria itu berasal dari Soviet, ketua SAR melirik ke Menteri Luar Negeri yang berdiri bersama mereka. Begitu pula Gahar, ia melirik ke Menteri Luar Negeri di samping kanannya.

"Ehem…" Merasakan pandangan ada pada dirinya, Menteri Luar Negeri berdeham, "Soviet sudah mengonfirmasi identitas Dimitri, mereka menyatakan kalau pelaku sudah buron selama lima tahun. Dan kejadian ini merupakan pertama kalinya bagi mereka mendengar nama Dimitri lagi setelah ia hilang lima tahun lalu."

"Bagaimana dengan Merlion?" Tanya Endra.

"Mereka angkat tangan dan tidak mau ikut campur dengan kasus ini."

"Hah…?! Mereka seenaknya ingin angkat tangan! Padahal faktanya balon udara itu berada lebih lama di wilayah mereka." Jenderal Gahar geram menanggapi.

"Iya, tapi mereka berdalih kalau pada faktanya juga, balon udara itu diserang di Nusa dan jatuh di Nusa, walau tidak berjarak jauh dari perbatasan kedua negara."

Endra kembali mengetuk-ngetuk jarinya di meja. Membuat ruangan seketika hening. Tidak ada yang berani bersuara.

"Borneo?" Tanya Endra.

"Tidak ada yang aneh, tidak ada tanda pergerakan untuk menyerang Nusa." Jawab Gahar.

Tuk tuk tuk tuk tuk tuk

"Kalau begitu tinggal Laut Selatan…" Semuanya terdiam, suasana ruangan tampak lebih serius dari sebelumnya, "Kemungkinan terjadinya perang?"

Tidak ada yang menjawab. Pagi ini Endra tiba-tiba menerima laporan dari Jenderal Gahar kalau Kota Geplak telah jatuh. Tentu hal ini membuatnya tersentak kaget. Bagaimana hal sepenting itu baru ia dapat beritanya setelah berhari-hari. Ia tidak menyangka kalau saat ini Kota Akademi seperti sedang terkurung, informasi dari kota itu seperti terblokir oleh suatu hal. Sehingga tidak ada informasi apa pun dari sana.

Gahar dan petinggi militer lain tidak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi. Besar kemungkinan akibat pengaruh artifak, tapi sejarawan mitos mereka tidak dapat mengidentifikasi artifak dengan kemampuan seperti itu.

"Pak… besar kemungkinan perang di Akademi akan terjadi. Karena hingga saat ini, komunikasi kita dengan Kota Akademi masih terputus. Kemungkinan Laut Selatan masih ingin mengisolasi lalu menundukkan Akademi sebelum dunia tahu."

Endra kembali berpikir, tentang Geplak ia sudah putus asa, sudah berhari-hari sejak kota itu jatuh. Namun untuk Kota Akademi, bukan saja kota itu merupakan salah satu kota penting, namun kota itu juga merupakan pusat pengetahuan di Nusa berkembang. Para jenius di Nusa dari segala bidang mayoritas adalah mereka yang menimba ilmu di sana. Kota Akademi adalah kota yang tidak bisa dibiarkan hancur.

"Jenderal, berapa banyak prajurit yang harus dikerahkan agar kita bisa menang?"

"Pak, dengan rasa hormat, tapi jumlah tentara untuk situasi ini tidak terlalu penting. Laut Selatan—kita semua tahu tentang sosok legendaris yang sudah ada sejak Nusantara dahulu kala. Sejujurnya, saya sendiri tidak yakin bisa menghadapinya."

Jenderal Gahar menjawab, matanya tajam penuh dendam. Tentu dia marah dan ingin membalas orang-orang Geplak. Tapi, dia tidak bisa mengorbankan banyak prajurit begitu saja. Walau dia sering termakan emosi, mengingat lawannya kali ini, dia tidak bisa seenaknya menerjang.

"Hmm…kalau begitu, selain dirimu saya juga akan mengirim skuat PIN dan PAT (Pasukan Anti Teroris). Mereka akan di bawah perintahmu. Sekarang persiapkan dan pergi ke Akademi secepat mungkin."

"Siap laksanakan, Pak!"

Jenderal Gahar lalu berjalan keluar, Endra melihat ke dua orang lain yang masih berdiri.

"Teruskan pencarian Vanessa, dan coba gali informasi kemungkinan Tara dan Laut Selatan bersekutu."

Setelah menerima perintah ke dua orang yang tertinggal di ruangan pun berangsur pergi. Endra kini sendiri di ruangan, ia lalu melirik ke tumpukan dokumen di sudut mejanya. Ia ambil lalu menelaah kembali isi dari dokumen-dokumen itu.

Semua dokumen itu berisi tentang Panji The Killer, dan semua kegiatan yang ia lakukan pada dua kasus. Pembunuhan Adi Hamerfid dan Bardolf the Virgin Killer.

'Kelas platinum…'

Sewaktu dia menerima dokumen lalu membacanya, ia langsung melabrak Gahar untuk mencari informasi tentang Panji. Gahar dan pihaknya pun sudah melakukan itu sejak Panji muncul dan berurusan dengan Union. Oleh karenanya Gahar tahu kalau Endra kemungkinan ingin mengendalikan Panji.

Satu orang baru dengan kekuatan platinum akan membuat Nusa lebih ditakuti. Dan tentu Endra ingin mengendalikan orang itu, tapi keinginannya ini ditolak mentah-mentah oleh Gahar. Sang Jenderal menyebutkan kalau Panji bukanlah seseorang yang dapat dikendalikan, orang itu berani menantang Union secara terang-terangan.

Apa yang akan terjadi kalau dia tahu akan dikendalikan? Kemungkinan satu, ia akan menghancurkan pengendalinya. Kemungkinan dua, dia akan pergi ke negara lain.

Walau begitu, Endra tidak menyerah. Dia baca kembali dokumen itu. Lalu tidak lama, pintu ruangannya terketuk. Setelah ia suruh masuk, seorang lelaki tua dengan jas putih khas dokter masuk ke ruangan.

"Dokter Hackimi, senang bertemu dengan anda. Silahkan duduk."

Dokter Gerald Hackimi, seorang dokter berpenampilan rapi dengan badan yang masih tegap. Walau tampak tua, namun energi dan wibawa yang terasa seperti tiada habis. Jika Dimitri melihat orang ini, maka ia akan sangat mengenalnya. Karena Dokter Gerald adalah identitas lain dari kerabatnya yakni dokter Zetta Si Alkemis.

"Hihihi, Pak Wakil Presiden, seharusnya saya yang senang bertemu, tidak pernah saya sangka akan dipanggil oleh bapak."

"Hahaha, nama anda sudah terkenal di seluruh dunia, tentu saya sangat ingin sekali bertemu ketika anda mampir ke Nusa."

"Hihihi, saya kemari awalnya sekadar hanya ingin bertukar ilmu dengan dokter Rivertale. Sungguh Nusa sangat diberkati memiliki bakat seperti dia."

Mendengar nama Rivertale, Endra sedikit tertegun, jantungya agak berdetak kencang. Ia lalu menenangkan diri dengan mengambil nafas panjang.

"Iya, kita di Nusa sangat bersyukur dengan keberadaannya."

"Hihihi, jadi boleh saya tahu kenapa dipanggil kemari Pak Wakil Presiden?"

"Oh, saya hanya ingin bertemu dan mungkin bertanya sedikit tentang kondisi tubuh Bardolf?"

Gerald agak terdiam. Dia adalah Zetta, orang yang membuat sosok Bardolf. Tentu dia tahu seluk beluk kondisi tubuh yang ditanyakan. Hanya saja, demi menjaga identitas, walau ia adalah pemimpin kelompok forensik yang menangani tubuh Bardolf, hampir seluruh pekerjaan ia serahkan pada Maya.

"Hmm… untuk saat ini kita masih belum bisa mengidentifikasi jenis mahluk apa Bardolf ini? Hanya saja setelah sekian lama meneliti tubuhnya, dokter Rivertale, beranggapan kalau dia adalah makhluk yang dibuat oleh tangan mahluk lain."

"Dibuat oleh makhluk lain? Apa itu maksudnya dia bukan hasil ciptaan Tuhan? Bagaimana bisa itu terjadi?"

"Hihihi, saya tidak tahu. Mahluk ini memiliki banyak otot dan saraf di seluruh tubuhnya. Bahkan dia tidak mempunyai organ dalam, semisal jantung dan lambung. Dokter Rivertale, sebagai ahli saraf mungkin lebih bisa menjelaskannya kepada bapak."

Endra terdiam. Berpikir sambil mengetuk-ngetuk jarinya. Melihat itu, Gerald kembali berkata,

"Bagaimana kalau bapak melihat sendiri kondisi tubuhnya?"

Endra tidak menolak tawaran itu dan seketika bersiap untuk pergi. Ia lalu memanggil sekretarisnya lewat telpon di meja. Seorang perempuan cantik dengan pakaian formal rapi masuk ke ruangan.

Perempuan itu berambut hitam panjang hingga pertengahan punggungnya. Rambut lurus rapi terurai dengan poni menutupi keningnya. Perempuan itu berumur tiga puluh tahun awal, dan merupakan putri tiri dari Endra. Perempuan itu bernama Tazkia Greymount.

"Ada apa Pak Wakil Presiden memanggil saya?"

"Tazkia, siapkan orang. Kita akan pergi ke rumah sakit untuk melihat tubuh Virgin Killer."

Tazkia agak tertegun menerima perintah itu, ia berpikir alasan yang membuat ayah tirinya ingin melihat mayat seseorang yang telah mati berhari-hari lalu. Namun perintah tetaplah perintah, ia hanya bisa menuruti. Tazkia lalu keluar dari ruangan dan mempersiapkan personil keamanan dan transportasi ayah tirinya.

Setelah semua siap, Tazkia kembali ke ruangan Endra lalu berjalan kembali ke mobil terbang bersama Endra dan dokter Gerald. Setelah masuk mobil mereka bertiga pun berlalu menuju rumah sakit.

Maya yang saat ini masih meneliti di ruangan tempat tubuh Bardolf berada, tidak tahu kalau orang yang paling ia benci, sedikit demi sedikit mendekat ke arahnya.