Dalam sebuah laboratorium di rumah sakit Sentral, Maya dengan teliti sedang melihat data-data setiap otot dan saraf yang ada pada tubuh Bardolf. Ia takjub melihat jenis saraf yang berasal dari berbagai ras. Walau masih banyak yang skeptis terhadap pendapatnya yang menyatakan kalau Bardolf bukanlah makhluk ciptaan Tuhan, Maya tidak terlalu peduli.
Maya teguh pada pendiriannya, apalagi setelah melihat susunan tubuh Bardolf yang layaknya seperti makhluk campuran dari berbagai jenis. Kalau dia benar ciptaan Tuhan, bukankah seharusnya Dia bisa membuat tubuh yang murni baru?
Ketika Maya sedang sibuk membaca, tiba-tiba terdengar suara ramai di luar laboratorium. Asisten yang berada di ruangan agak penasaran, ia meminta izin ke Maya untuk melihat situasi di luar.
Maya mengizinkan tanpa berpaling pada asistennya, matanya fokus tertuju pada data di tablet. Sesekali ia melirik ke tubuh Bardolf yang diawetkan di sebuah tabung, mengecek kebenaran data yang ada di tablet.
Hanya selang belasan menit, suara di luar lab semakin ramai. Kening di raut muka Maya mulai berkernyit, dia mulai terganggu dengan keramaian luar. Lagipula bukankah ini rumah sakit? Maya heran pada pihak rumah sakit yang tidak mengatasi keramaian itu.
Tidak lama, pintu lab bergeser terbuka. Maya melirik orang yang masuk. Ketika melihat pria tua yang berjalan di depan berdampingan dengan dokter Gerald, kedua mata Maya terbuka lebar. Namun hanya sekejap, matanya kembali seperti semula, agak sayu, namun hawa dingin terasa dari tatapan matanya.
Endra yang baru saja masuk pun tertegun melihat sosok dokter perempuan tidak jauh di depannya. Di sekelilingnya terdapat banyak orang, dari dokter, perawat, pasien, pengawal, bahkan ibu juru masak di kantin pun ada di kerumunan. Maya tidak sanggup berucap apa pun melihat situasi di depan dirinya. Endra maju mendekati Maya, sebelum ia mau bicara, perempuan itu telah mendahuluinya.
"Apa yang kau lakukan di sini? Ini rumah sakit, bagaimana bisanya kau membuat keramaian seperti ini? Dan tempat ini... merupakan lab khusus, kau butuh izin kalau ingin masuk. Mana izinnya?"
Seketika orang-orang di sekitar ruangan itu tersontak kaget. Mereka terdiam mencerna perkataan Maya. Tidak pernah ada dalam pikiran mereka kalau ada seseorang yang berani berbicara seenaknya di hadapan wakil presiden. Pengawal dan Tazkia yang berada di sekitar Endra pun tertegun, detik kemudian mereka sadar akan perkataan Maya yang membuat mereka naik pitam.
"Kau! Apa kau tidak tahu beliau di depanmu ini?!" Teriak salah satu pengawal sambil menodongkan pistol ke arah Maya.
"Hah? Beliau? Aku lebih tahu tentang orang tua ini daripada kau?! Dan apa yang kau lakukan dengan menodongkan pistol di fasilitas ini? Apa kau sadar dengan apa yang kau lakukan?"
"Anjir! Nih cewek nanta—"
"Turunkan senjatamu!!"
"!!!" Pengawal itu kaget mendengar perintah seketika dari Tazkia. Dokter di depan telah secara terang-terangan merendahkan wakil presiden. Kenapa orang di depannya tidak diberi pelajaran.
"Bu sekretaris, tapi cewek ini—"
"Turunkan!" Perintah Tazkia dengan nada dingin. Pengawal itu hanya diam tanpa menurunkan senjatanya. Melihat senjata masih menodong Maya, Tazkia semakin marah dalam dirinya.
"Apa kau mau negara ini tidak memiliki dokter?"
"?"
"Kamu, bawa orang bodoh ini keluar!" Seketika salah satu pengawal lain menyeret pria itu keluar dengan paksa, Hingga keluar dia tidak mengerti akan kesalahan yang dia perbuat.
Maya merasa lucu melihat tingkah orang-orang di depannya. Namun, dari semua hal lucu itu, tatapan Endra padanya membuat risih. Maya menatap balik dengan dingin.
"Dokter Rivertale, maaf atas perbuatan bodoh dari orang tadi, akan kami hukum dia nantinya." Ujar Tazkia dengan nada sopan.
"Heh, di sekeliling orang tidak becus hanya ada orang gak becus juga."
Tazkia mendengar ini mulai merasa nafsu di hatinya, "Maaf, dokter, tapi saya merasa ada rasa kebencian pada setiap perkataan dokter. Bukankah ini pertama kalinya kita bertemu? Apa yang membuat anda membenci kami? Apakah karena keputusan-keputusan yang diambil pemerintah Nusa?"
"…" Maya tidak menjawab, ia pandangi dingin sosok Tazkia.
"Dokter, kami kemari hanya ingin melihat situasi perkembangan dari penelitian tubuh Bardolf. Kami rasa ini bukan permintaan yang sulit, kan?"
"Hahaha, apa bedanya kalian dengan orang tadi? Sama-sama tidak tahu tentang aturan. Sungguh, kalian benar-benar gak becus."
Semua orang di sana terdiam. Walau telah merasa direndahkan, tapi mereka tidak bisa menimpali. Perkataan Maya benar adanya, rumah sakit adalah tempat netral yang tidak berafiliasi dengan organisasi apa pun, termasuk negara. Oleh karenanya semua butuh izin khusus untuk dapat mengakses informasi dari rumah sakit, tidak terkecuali seorang presiden sekalipun.
Izin yang dibutuhkan tidaklah sulit, bahkan media dan jurnalis bisa dengan mudah membuat izin dari resepsionis di lobi rumah sakit. Jadi, kenapa rombongan ini tidak membuat izin? Maya hanya bisa tertawa melihat tingkah arogan para penguasa.
"Maya," Untuk pertama kalinya, Endra berucap. Sejak awal pandangannya terus terpaku pada diri Maya.
"Dokter—dokter Rivertale, jangan panggil namaku seenaknya, kita bukan kerabat dekat."
Endra kembali terdiam, kedua tangannya ia kepal dengan kuat.
"Hihihi, sepertinya ada cerita lama antara kalian berdua," Tiba-tiba tawa kecil Gerald memecah suasana, "Dokter Maya, maaf kalau saya membuat situasi jadi tidak enak, tapi Pak Wakil Presiden datang kemari karena ajakan saya, jadi bisa tolong anda selamatkan harga diri orang tua ini sekali ini saja."
Maya melihat Gerald dengan dingin. Gerald merupakan ketua penelitiannya, walau Maya merasa kalau dokter Gerald tidak memiliki andil besar dalam penelitian, namun wibawa dan nasihat yang dia berikan membuat tim tidak tetap padu. Maya mengeluarkan nafas panjang.
"Dokter Gerald, hanya sekali ini saja. Sebagai dokter ternama anda seharusnya tahu kalau semua orang yang datang kemari adalah sama. Tidak ada si kaya dan si miskin, tidak ada si pejabat dan si pengemis," Maya lalu menunjuk ke rombongan wakil presiden, "dan tidak ada juga orang yang seenaknya seperti mereka."
Maya lalu berjalan ke mejanya, ia kemasi barang-barangnya, Saat ini ia tidak mau lagi berlama di ruangan lab, ia bawa tasnya bersiap kembali ke kantornya di ruangan lain. Sebelum ia keluar ia melirik ke sosok Tazkia.
"Kau!"
Tazkia cukup kaget melihat Maya menunjuk ke arahnya, "Iya dokter?"
"Kau Tazkia Greymount, kan? Kau di sini sebagai apa? Sekretaris atau putri tiri orang tua itu?"
Tazkia tertegun mendengar pertanyaan Maya, ia lalu menjawab "Sebagai sekretaris,"
"Kalau begitu, lakukan tugasmu dengan benar!" Maya lalu mengambil sebuah stempel elektronik dari tasnya, ia ubah pengaturan di badan stempel ke angka satu, yang membuat stempel itu hanya bisa digunakan sekali. Ia lalu menoleh ke salah satu asistennya di kerumunan.
"Ida! Apa yang kamu lakukan di situ?! Ambil ini, bawa sekretaris itu membuat izin di lobi!" Perintah Maya sambil melempar stempel ke asistennya, ia lalu menoleh ke staf kantin yang masih berdiri terpatung di kerumunan, "Dan kalian, apa kalian pikir orang-orang tidak kelaparan mencari kalian?"
Seketika Maya selesai bicara, kerumunan itu dengan panik bubar ke sana kemari. Maya melihat itu heran dengan tingkah laku orang-orang itu.
"Hihihi, dokter memang cocok dipanggil sebagai ratu."
"Dokter Gerald, saya tidak mau tahu dengan urusan mereka, beritahu kalau sudah selesai. Masih banyak hal yang harus dilakukan."
Maya pun berlalu pergi, meninggalkan rombongan Endra terdiam terpaku. Ini pertama kalinya mereka mendapatkan konfrontasi seperti ini. Para pengawal saling bertatapan, dan hanya bisa tersenyum kaku.
Tazkia melihat sosok Maya yang semakin menjauh, ia lalu melirik ke ayah tirinya yang sedari tadi memandangi Maya. Tazki merasa ada sesuatu di antara mereka berdua, dan sesungguhnya ia dapat mengira akan sesuatu itu. Namun, ini bukanlah waktu yang tepat untuk membicarakannya.
Tazkia menatap dokter Gerald, pria tua itu mengerti, ia kemudian membawa rombongan masuk ke lab untuk memperlihatkan tubuh Bardolf. Tazkia yang tidak ikut rombongan, berjalan ke asistennya Maya, lalu keduanya berjalan keluar menuju meja resepsionis.
***
Malam hari di Kembang.
Bertempat di sebuah taman kota, Bayu yang baru saja terbangun dari tidurnya, duduk memandangi langit yang telah berganti warna. Setelah menyelesaikan buku dari keluarga Vandanavy, Bayu merasa membutuhkan angin segar. Oleh karenanya ia mencoba lari sore seperti yang selalu diingatkan oleh Ayu.
Hanya saja ia tidak menyangka, ia merasa kalau narkolepsinya bakal kambuh, tidak ambil pusing ia lalu mencari taman dan tidur berbaring di salah satu kursi. Ketika jiwanya ada di perpustakaan pun, ia langsung menuju tempat tidur untuk tidur lagi. Banyak hal yang ada dalam pikiran Bayu, sehingga ia perlu untuk mengistirahatkan pikirannya.
Malam telah tiba ketika ia bangun, kini ia duduk memandangi bulan dan bintang yang berhamburan indah di langit. Bayu pernah membaca kalau pada langit malam di dunia sebelum kiamat, bintang-bintang akan sulit dilihat di perkotaan. Ini disebabkan karena banyaknya polusi cahaya. Bayu tidak bisa membayangkan hal itu. Tapi para avonturir berkata kalau langit malam di luar tembok berkali-kali lebih indah.
"Hm?"
"…"
Bayu terdiam, ia merenung sambil masih memandangi langit malam.
"Apa yang terjadi dengan mereka?"
"Itulah Kak Maya, tanggapan dari orang tua itu?"
"…"
Bayu berpikir sejenak tentang ayah kandungnya, atau bisa lebih dikatakan sebagai bekas ayah kandungnya. Sama seperti Maya, Bayu juga tidak menganggap Endra sebagai orang tuanya. Ia hanya tidak memperlihatkan kebenciannya secara terang-terangan seperti Maya. Bayu sudah menganggap kalau ayahnya telah mati, dan Endra hanya sebagai pejabat negara biasa.
Walau pada akhirnya masih ada sisi dalam hati Bayu yang tidak mau berurusan dengan orang tua itu. Oleh karena itu, hingga saat ini, walau ada buku tentang Endra di perpustakaan. Bayu sama sekali tidak mau menyentuhnya. Setidaknya hingga saat ini.
"Ceritakan kejadiannya."
Ayu lalu menghabiskan beberapa menit untuk bercerita tentang kejadian di rumah sakit. Setelah selesai mendengar cerita dari Ayu, Bayu hanya bisa menghela nafas.
"Seseorang yang tidak mampu mengurus keluarga ingin mengurus negara, lucu sekali."
Bayu mengeluarkan ponselnya, ia lalu mencari biodata Tazkia Greymount di internet. Sebagai pengurus negara, biodata Tazkia dapat dengan mudah ia temukan. Buku tentang putri tiri Endra itu pun muncul di perpustakaan. Setelah mendengar cerita Ayu, sosok Tazkia sedikit membuatnya tertarik. Dia merasa kalau Tazkia akan tertarik dengan sosok kakaknya. Walau hanya perkiraan, ini membuat Bayu agak cemas.
"Pantau aktivitas Tazkia, beri tahu kalau dia punya rencana yang berhubungan dengan Mama atau Kak Maya."
"[Fath] Endra Leoport."
Buku tentang bekas ayah kandungnya muncul di udara. Bayu sudah mencerna semua informasi tentang keluarga Vandanavy, sekarang hal yang membuatnya tertarik adalah kejadian jatuhnya balon udara Hexagone dan hancurnya Kota Geplak. Bayu sadar akan sesuatu atas ke dua kasus ini, yang sekarang ia butuhkan adalah informasi.
Sosok wakil presiden pastilah memiliki banyak informasi, walau enggan, mau tidak mau Bayu harus membacanya. Hanya saja Bayu cuma akan membaca informasi yang terbaru, dia tidak akan membaca masa lalu Endra ketika meninggalkan keluarganya.
Bayu tidak mau mengerti akan alasan orang tua itu pergi, mau dengan alasan yang bagus ataupun tidak. Masa lalu hanyalah masa lalu, hanya dengan mengerti ia tidak bisa mengubahnya. Masa lalu ada hanya sebagai pelajaran. Masa lalu Endra? Dia tidak peduli. Bayu tidak mau mengambil pelajaran dari masa lalu orang tua itu.