"Berbicara denganku dulu, Tae Hyun." Tae Jung memanggil adik laki-lakinya dengan perasaan tenang, wajah penuh harapan walaupun hanya di dalam saja. Jangan salah paham, walaupun sekarang Tae Jung sedang melihat adiknya yang terlihat sangat kesal dan benci padanya. Yang membuat mereka berdua salah paham adalah tatapan Tae Jung pada Tae Hyun dan sikap Tae Hyun pada Tae Jung.
Memang tidak ada yang bisa disalahkan di sini, hanya saja bagi Tae Jung, adiknya terlalu kekanak-kanakan, tidak ada yang bisa disalahkan juga, Tae Jung memang anak sulung dari keluarganya, karena permasalahan mereka yang berbeda pendapat anak sulung dan bungsu, mereka berdua mulai memperdebatkan masalah yang tidak penting, membesar dan meledak.
"Berhenti mengikutiku!" Tae Hyun terlihat sedikit kesal karena sejak tadi kakaknya terus mengikutinya kemanapun dia pergi.
"Aku ingin berbicara denganmu, jadi tolong beri aku waktu sebentar dan kesempatan satu kali."
"Aku kakak laki-lakimu kan?" tanya Tae Jung membuat langkah kaki adik laki-lakinya terhenti dan membalikkan wajahnya untik melihat ke arah Tae Jung pagi ini.
Pagi yang sulit Tae Hyun, pagi yang rumit Tae Hyun, dan pagi yang membuat Tae Hyun merasa tertekan hanya dengan wajah Tae Jung saja.
"Bukan, jangan menanyakan seperti itu. Jika aku memiliki kakak laki-laki, aku sudah bahagia lahir dan batin, hidup bersama dan akur dengannya." Tae Jung terdiam, dia melihat adik laki-lakinya yang terlihat sangat membencinya dengan tatapan tidak wajar.
"Tae Hyun," panggil kakak laki-lakinya pada adiknya yang saat ini hanya menatap ke arahnya dnegan tatapan datar dan diam. "Berhenti memanggil namaku, bajingan!" marah Tae Hyun tanpa masalah apapun, Tae Jung terlihat frustasi, dia memilih menghela nafasnay berat mengingatnya.
"Kau itu kenapa? Apa yang harus ku tanyakan dan apa yang harus ku bicarakan baik-baik denganmu?" Tae Hyun merotasikan matanya malas, dia menujukan jari tengahnya seakan-akan dia benar-benar merasa jengah dengan apa yang sebenarnya terjadi.
"Pergilah, aku sudah sangat membencimu." Tae Hyun berjalan meninggalkan kakak laki-lakinya dan mulai berjalan menjauh meninggalkan Tae Jung sendiri menuju kamarnya saja.
Sepertinya menunggu Ji Kang di kamar jauh lebih----
SREET
BRAK!!
Seseorang menarik pergelangan tangan Tae Hyun dengan cepat lalu membantingkan tubuh pria itu ke tembok untuk memperpanjang dan memperjelas apa yang sebenarnya terjadi satu sama lain yang harus diselesaikan saat itu juga.
"Bangsat!" umpatnya dengan mendorong tubuh kakak laki-lakinya yang menekan tubuhnya masuk lebih tertekan ke dinding dengan wajah dan tatapan tajam dan datang ke arahnya.
"Katakan semua arti tatapan matamu, Tae Hyun," minta penjelasan Tae Jung pada adikn satu-satunya. "Berhenti mencari tahu, sialan!" Pria itu mengambil langkah cepat dengan mendorong keras tubuh kakak laki-lakinya dan mulai menodorng jauh kakaknya.
"Berhenti kasar padaku!" marahnya lebih, mata tajam Tae Hyun menyorotkan wajah dan tanggung jawab yang lebih intens dan seru satu sama lain mulai sekarang.
Tae Jung terkekeh, bangsat siapa yang perduli jika seperti ini. Brengsek untuk hidup atau brengssk untuk mati, Tae Jung tidak perduli bajingan.
"Siapa sekarang? Park Ji Kang? Kau datang untuknya? Kau datang demi dirinya? Dan untuk kebahagiaan atau untuk apa? KATAKAN PADAKU, BODOH!' Tae Hyun memutar bola matanya malas, dia menatap Tae Jung tanpa ekspresi, dia berjalan mendekat ke arah kakaknya dan menunjuk dada kiri kakak laki-lakinya untuk sedikit memberitahu.
"Tanyakan pada dirimu, kesalahan apa yang kau buat untukku, kebodohan apa yang kau berikan pada adik laki-lakimu, dan apa saja yang sudah kau lakukan padaku yang membuatku membencimu, pria tidak tahu diri!" Tae Hyun berdecit, dia memilih melirik kakak laki-lakinya dan berjalan menjauh menuju kamar yang hampir dia masuki tanpa ada drama dari kakaknya yang menekan tubuhnya.
"Kau masih terus egois, Tae Hyun. Kau bodoh, kau masih sama merepotkannya, kau masih sama merusaknya, dan kau masih--"
"Katakan pada dirimu sendiri karena kau sedang membicarakan dirimu sendiri," potong Tae Hyun sebagai adik laki-laki yang berusaha baik pada kakak laki-lakinya
Tae Hyun masuk, dia mengunci pintu kamarnya walaupun sejak awal dia memilih menatap marah pada Tae Jung lalu membanting pintu kamarnya, ada satu sisi yang berusaha Tae Hyun berikan pada Tae Jung.
"Kau bodoh, Kak. Kau yang merusak segalanya dengan perlakuan tidak berperasaaan sama sekali, bahkan saat kau sadar tapi kau melempar batu."
°°°
"Aku benci kakakku," ucap Ji So begitu saja membuat Woo Sik menegang disatu tempat yang sama. Posisinya masih memeluk istrinya, sangat erat, bahkan sepadan yang awalnya kencang menjadi mengendur.
"Aku sangat mencintaimu, Ji So," jawabnya memnuat Ji So merasa sangat dipermainkan, dia tahu jika apa yang berusaha Woo Sik katakan padanya hanya sebuah pengalihan semata, Ji So tahu dengan amat sangat jelas.
Tapi pria bodoh yang baru saja melepaskan pelukannya pada istrinya itu terlihat meminta jawaban dari semua perlakuan terhadapnya
"Kau mengatakan ini untuk apa?" tanya balik Ji So meminta jawaban dari suaminya membuat Woo Sik terdiam. "Percuma Woo Sik, kakakku membenciku, dia terus meneriakkan satu fakta dimana aku bersalah, semua salahku, dan semha kekacauan ini karenaku."
"Aku harus apa saat satu orang yang ku punya hidup di satu dunia dengan nafas yang sama justru menyalahkanku? Kami baik-baik saja, jika kau dengan Kak Su Ri tidak bertemu, aku yakin Kak Yoon Gi juga sedang marah besar pada istrinya." Ji So kembali menjelaskan permasalahan yang dalam dalam keluarganya hanya satu masalah yang sama dimana sebenarnya Woo Sik dan Su Ri (yang disalahkan di masa lalunya) terus akan berlangsung jika mereka bertemu tanpa pihak ketiga (keempat).
Woo Sik bingung, dia menarik istrinya untuk duduk dipangjuannya, Ji so menurutinya.
Dia tidak begitu yakin kenapa diantara dirinya dan istrinya akan mendapat masalah yang awalnya baik-baik saja menjadi buruk lagi.
Yang ingin memperbaiki masalah anak-anak memang para suami, tapi jika dampak yang muncul adalah masalah yang awalnya sudan tertimbun, Woo Sik merasa menyesal sekarang.
Dia tidak tahu.
"Sayang, dengarkan aku." Woo Sik meminta istrinya untuk mendengarkannya terlebih dahulu, sebelum semuanya menjadi kacau Woo Sik bahkan mencium beberapa kali punggung tangan istirnya dan bibir istrinya dari posisi bawah.
"Aku menyayangimu, aku mencintaimu. Kau istriku, Min Ji So. Mau separah apapun aku dimasalalu dengan kakakmu, semua itu hanya kenangan." Woo Sik kembali mengingatkan apa yang sebenarnya terjadi dan akan terjadi diantara dirinya.
Ji So memutar bola matanya malas, tangannya dia jauhkan dari genggaman suaminya, dia menunnuk dada kirinya untuk lebih menegaskan apa yang dia raskaan saat itu juga. "Sakit," ucapnya.
"Sangat sakit, Kak. Sampai rasa-rasanya aku berpikir menggugurkan janin di perutku yang sekarang sudah menjadi pria dewasa yang tampan bernama Park Ji Kang adalah sebuah keharusan."
"Aku menyesal," sambung Ji So mengatakan dengan sepenuh hati, jiwa raga dan persaannya juga. Memang, Ji So saat tahu dia hamil, mengatakannya langsung pada Woo Sik (yang saat itu pacar Su Ri) jika dia sedanfghamil dan ingin menggugurkan kandungannya saja karema terlalu frustasi.
Ada yang sepenuhnya egois, dia Su Ri. Selalu baik-baik saja, selalu melupakan apa saja yang dia keluarkan saat marah dan melampiaskan semuanya pada seseorang.
Siapa yang tidak lelah? Ji So sudah menjadi bulan-bulanan bahkan saat dia dilahirkan terlambat dari Su Ri dia sudah menjadi korban saat dia dilahirkan.
Bahkan saat kedua orang tuanya meninggalpun Ji So mati-matian menutupi keburukan kakak perempunnya, tapi semuanya seakan-akan memojokkan dirinya.
Hanya Woo Sik yang mengerti dirinya, tapi dia masalalu dari kakaknya yang selalu pilih kasih dan kehilangan kendali untuk memilih satu orang juga.
"Kau tahu segalanya, kan? Apa hanya Kak Yoon Gi yang tahu bagaimana perasaanku saja?"
"Kak! Kau suamiku, jangan seakan-akan semua tidak pernah terjadi," tekan istrinya meminta Woo Sik untuk buka suara dan menegur dengan keras bagaimana keburukan mantan pacarnya terhadap istrinya sendiri.
"Dengarkan aku sayang," minta Woo Sik ingin menjawab sedikit-sedikit dari apa yang istrinya inginkan, namun Ji So menggelengkan kepalanya menolak dengan tegas. "Lupakan saja, kau selalu berpihak pada wanita itu." Selesai mengatakannya Ji So berjalan menjauh menuju kamarnya, dia harus bersiap mengurus beberapa bisnis suaminya, jika bertemu dan bersama dengan suaminya (untuk saat ini) hanya akan membuat Ji So merasa tertekan.
Maka Ji So akan pergi.
"Dengarkan aku dulu, sayang." Woo Sik menarik tangan istrinya pelan menghentikan langkah istrinya yang sudah hampir tigapuluh tahun hidup bersama dengannya.
"Untuk apa? Untuk sakit hati? Aku tidak bisa, jika bayi itu (janin yang dikandungnya saat kecelakaan itu terjadi) tidak hidup, aku tidak akan merusak keluargaku dengan pria seperti itu, Park Woo Sik." Woo Sik tidak bisa mencegahkan, istrinya akan marah padanya. Sangat marah tanpa bisa memperjelasnya sampai kapan, bukan satu hari, satu minggu atau mungkin satu bulan.
Bisa dua tahun lagi, ini tidak bisa terulang lagi. Dari pihak Woo Sik terus berteriak 'Semua ini karena Kim Yoon Gi!'
"AAAAHHHHHKKKKKKKK!!!" teriakan menggema di ruang keluaga Park itu menjelaskan jika keluarganya sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja.
"Bajingan."