Los Angeles, 19.30 PST.
Naya melirik ke arah ibunya sekali lagi. Dan sang ibu, hanya menatapnya dengan sendu.
Ia sungguh tidak mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi. Ia ingin menganggap ini semua omong kosong dan melupakannya, tapi, melihat reaksi ibunya, Naya langsung merasakan bahwa memang ada sesuatu yang mereka sembunyikan.
"Ibu, aku butuh penjelasan!" desak Naya.
Lagi-lagi Ibu Mayang hanya menggeleng pelan dan menangis dalam diam.
"Siapa yang pak tua itu maksut? Tuan? Nona Maya? Siapa mereka?" tanya Naya keras.
Bu Mayang masih tidak menyahut dan malah sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Baiklah, jika Ibu tidak mau menceritakannya padaku, aku akan menelepon pak tua tadi dan bertanya langsung padanya." ancam Naya.
Bu Mayang masih tidak bergeming.
Tapi saat Naya hendak beranjak pergi, Bu Mayang menarik anaknya itu kembali duduk di sofa.
"Maaf karena ibu membohongimu selama ini!" lirih Bu Mayang.
'Bohong? Ibu tidak pernah berbohong. Bahkan untuk hal kecil sekalipun, ia tak pernah berbohong. Jadi, kebohongan macam apa yang ia simpan?' Naya membatin bingung.
"Sebenarnya, saat ibu mengatakan ayahmu telah meninggal sejak kau lahir, ibu berbohong kepadamu. Ayahmu masih hidup saat itu. Ibu memutuskan membawamu pergi meninggalkan Indonesia, karena ibu tidak ingin lagi hidup dengan ayahmu! Dia menghianati ibu!"
Naya tertegun mendengar cerita ibunya itu. Lalu kenapa ibunya berbohong? Andaikan ibunya berbicara terus terang, ia akan mencoba memahaminya. Kenapa harus ada kebohongan di antara mereka?
"Dan Maya, dia adalah saudara kembarmu!" lirih Bu Mayang.
Saudara kembar?
Naya tersenyum getir, ia lalu menggeleng pelan dan mengalihkan pandangannya ke arah jendela.
"Ibu pasti bercanda!" ketus gadis itu.
"Tidak, sayang. Ini adalah kebenaran yang selama ini ibu sembunyikan darimu!"
Naya tidak bisa berpikir dengan jernih sekarang. Yang ia tahu, hanyalah ibu yang selama ini sangat di percayainya, telah membohongi dirinya dan memisahkannya dari ayah dan kembarannya. Naya sangat terpukul mengetahui kebenaran tersebut.
"Aku butuh waktu!" Naya langsung beranjak meninggalkan ibunya yang terus terisak dan memanggil namanya.
Naya langsung masuk ke dalam mobilnya, dan melaju sejauh mungkin meninggalkan rumah.
Dan sialnya, ia terjebak macet, ayolah!
Setelah melewati kemacetan yang panjang, akhirnya ia sampai juga di kafe milik Indah, teman kuliahnya yang juga orang Indonesia.
Di sana, memang ada komunitas untuk orang Indonesia, dari mulai mini market, restoran, kafe, dan apa pun yang berbau Indonesia, dapat dengan mudah di jumpai di sana.
"Hei, ada apa denganmu? Kau terlihat kacau!" seru Indah sambil berhambur menghampiri Naya.
"Aku punya saudara kembar! Kau percaya itu?" seru Naya kesal.
"Saudara kembar? Ayolah! Apa sih yang kau bicarakan?!"
"Aku serius!" Naya menatap tajam temannya itu.
"Oh, astaga!" gumam Indah.
Setelah mengoceh panjang lebar, Naya akhirnya merasa sedikit lebih tenang. Sementara Indah hanya diam dan menjadi pendengar yang baik untuk Naya.
"Jangan marah pada ibumu! Tidak ada wanita yang kuat jika dihianati! Jika itu aku, aku juga pasti akan pergi!" seru Indah setelah mereka terdiam cukup lama.
"Tapi, kenapa ia hanya membawaku? Bagaimana dengan Maya? Seharusnya dia juga membawanya kan?"
Indah mengernyit bingung, namun tak lama setelahnya, ia menggeleng pelan.
"Tanyakan itu pada ibumu! Jangan seperti anak kecil, Nay! Bersikaplah dewasa! Dengarkan penjelasan dari ibumu dulu, bodoh! Jangan langsung pergi seperti ini!"
Naya merengut mendengar omelan Indah. Tapi, apa yang Indah katakan memang benar. Seharusnya aku membicarakanya baik-baik dulu dengan ibu.
"Aku pergi!" Naya langsung beranjak keluar dari kafe dan menuju parkiran.
Tapi, saat ia akan memundurkan mobilnya, tanpa sengaja ia menabrak mobil seseorang.
Damn it!
Pemilik mobil itu langsung keluar dari kafe dan menghampiri mobilnya. Naya bisa mendengarnya mengumpat dengan kesal.
Dengan ragu, Naya turun dari mobinya, ia lalu menghampiri pemilik mobil yang baru saja ia tabraktersebut.
"Sorry." ucap Naya sambil melihat kerusakan yang ia perbuat.
Pria itu menatap Naya kesal dan berkacak pinggang.
"Jangan bawa mobil kalau tidak bisa menyetir!" ketus pria itu.
"Aku akan mengganti kerugiannya!" kata Naya cepat.
Pria itu masih menatap Naya tajam.
Oh, astaga!
Pria Indonesia yang sangat tampan tapi juga sangat galak. Sayang sekali.
Naya langsung mengambil ponsel yang pria itu pegang, lalu mencatatkan nomor ponselnya di ponsel pria itu.
"Hubungi aku setelah kau memperbaiki mobilmu! Aku akan menggantinya! Aku buru-buru! Sorry!"
Seru Naya lalu bergegas kembali ke mobilnya. Ia meninggalkan pria yang masih menatap kepergiannya dengan kesal itu.
***
"Jadi, kenapa Ibu tidak membawa Maya bersama kita?" tanya Naya setelah ia kembali ke rumah.
"Sayang, kau tahu? Menjadi orang tua tunggal itu tidak mudah. Apalagi saat itu, ibu hanya membawa sedikit uang. Ibu tidak akan sanggup merawat kalian berdua. Jadi, ibu meninggalkan Maya bersama ayahmu! Ibu tahu, ayahmu sangat menyayangi kalian, jadi dia pasti akan merawat Maya dengan baik."
Dengan berat, Naya menelan ludahnya dan mencoba menerima penjelasan ibunya. Jujur saja, ia masih merasa ini tidak adil baginya maupun saudara kembarnya. Tapi toh ini sudah terjadi, dan ibunya mengurusnya dengan sangat baik selama ini, jadi tidak ada alasan lagi untuk marah kepada sang ibu.
"Jadi, ayah masih hidup?"
"Tidak. Pak Rahmat bilang, Ayahmu sudah meninggal sekarang!"
Naya tidak tahu apakah ia harus bersedih mendengar berita itu atau tidak. Toh baginya, ayahnya memang sudah meninggal sejak ia masih kecil. Jadi apa bedanya?
"Tapi, dari apa yang kudengar tadi, Maya sedang sakit! Apa Ibu tidak ingin kembali ke Indonesia dan merawatnya?"
Bu Mayang menyandarkan tubuhnya pada punggung sofa dan menatap Naya dengan tatapan sayu.
"Kau tahu benar bagaimana pekerjaan ibu, bukan? Ibu memiliki tanggung jawab yang tidak bisa ibu tinggalkan saat ini."
Tentu Naya tahu.
"Kalau begitu, biar aku yang pergi ke sana dan merawatnya!"
Bu Mayang langsung menegakkan badannya dan menatap putrinya itu kaget.
"Apa yang kau bicarakan? Bagaimana dengan kuliahmu?"
"Maya sakit, dan dia sendirian! Ibu tidak kasihan pada gadis malang itu?! Jangan mencoba menghalangiku! Lagipula, tidak masalah bagiku untuk mengambil cuti sementara waktu!"
"Naya, pikirkan dulu semuanya baik-baik! Kamu tahu betapa ibu berjuang dengan sangat keras untuk membiayai kuliah kamu, kan?"
Naya menggeleng pelan. Kenapa ibunya begitu menentang keputusannya itu?
"Ibu, aku bukannya akan berhenti kuliah! Aku hanya akan mengambil cuti untuk sementara waktu dan pergi sebentar melihat kondisi saudariku! Dia sendirian, demi Tuhan! Dia sendirian, siapa yang akan merawatnya?"
Bu Mayang langsung terduduk lemah di sofa karena ia merasa tidak lagi bisa mendebat Naya. Apa yang Naya inginkan bukanlah hal yang salah. Tidak masalah jika dirinya mengambil cuti untuk sementara waktu.
Mungkin, ini memang waktu yang tepat untuk membiarkan gadis itu bertemu dengan kembarannya.