Bel istirahat berbunyi, semua murid menutup bukunya, dan memasukkan ke dalam laci meja. Setelah guru itu keluar, semuanya berhamburan keluar. Kebanyakan semua murid pergi ke kantin untuk mengisi perutnya yang kosong.
Tidak untuk Alena, gadis itu masih terduduk di bangkunya. Kepalanya masih sedikit pusing, meskipun perutnya terasa nyeri, rasa pening di kepalanya mengalahkan rasa laparnya.
Sesekali dia memijit pelipisnya, meskipun itu tidak berguna sekalipun.
"Len!" panggil seseorang dari ambang pintu.
Alena mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah pintu, terlihat Dion yang tengah menatapnya. Meskipun tatapannya terlihat dingin, ia sedikit tersenyum padanya.
Alena menunjuk dirinya sendiri, dan hanya di jawab dengan satu anggukan. Alena beranjak dari duduknya, ia melangkah mendekati Dion.
"Ikut gue," ketusnya dengan berjalan lebih dulu, Alena masih terdiam dengan mengerutkan keningnya. Matanya menatap punggung Dion.
Langkah Dion terhenti, cowok itu menghela napas kasar.
"Lo denger nggak sih?!" tanya Dion dengan tatapan malasnya.
Alena langsung berjalan menyusul Dion dan berjalan mengikuti cowok itu dari belakang. Alena bingung dengan Dion yang tiba-tiba mengajaknya entah ke mana.
Langkah Dion terhenti ketika di ambang pintu rooftop, dia tersenyum tipis melihat rooftop yang sangat sepi, dan bersih.
"Kenapa berhenti?" tanya Alena yang berjinjit. Karena tubuh Dion menutupi pengelihatan Alena.
Dion berjalan maju beberapa langkah, Alena pun melongo melihat rooftop yang seluas ini. Dua tahun ia bersekolah disini, ia baru tahu kalau ada rooftop sebesar ini. Bahkan, dia sangat senang bisa melihat pemandangan kota dari atas sana.
Dion pun berjalan mendekati Alena, dan berdiri di samping Alena. Keduanya saling terdiam dengan memandangi kota dari atas, mereka enggan untuk memulai obrolan.
Juga dengan Dion, cowok itu masih menyusun topik di pikirannya.
Tiupan angin mampu membuat poni Alena sedikit berantakan. Namun, Alena sendiri tidak memperdulikan itu, ia menikmati hembusan angin. Suasana tenang juga dapat Alena rasakan membuat gadis itu tersenyum tipis.
"Kok kamu bisa tau tempat kayak gini?" tanya Alena.
"Tau, tempat favorit gue."
Alena hanya mengangguk paham, ia duduk di kursi yang ada di sebelahnya.
"Btw, thanks ya udah mau main sama Rei," ucapnya pelan namun masih bisa terdengar oleh Alena.
Alena menoleh, ia mengangkat alisnya melihat Dion. "Maksudnya?"
"Gue enggak nyangka kalo lo itu ternyata cewek culun di sekolah ini, lo kemarin bener-bener beda, Len," ujar Dion yang tatapan masih lurus ke depan.
"Aku kira Rei nggak bakal ngenalin, meskipun aku culun gini."
"Lo salah, Rei bisa mengenal orang dengan sangat baik. Meskipun lo culun gitu, Rei bakal kenal sama lo. Salut gue sama tuh bocah," ucap Dion dengan tersenyum hangat.
"Kamu itu sayang banget ya sama, Rei. Dia juga pasti bangga punya kakak kayak kamu gitu," salut Alena dengan tersenyum samar, ia terlihat seperti menyembunyikan rasa irinya.
"Rei, adik gue satu-satunya yang bakal pergi ninggalin gue selamanya dalam waktu dekat ini."
Ucapan Dion membuat mata Alena terbuka lebar, ia terkejut mendengar itu.
"Ma-maksud kamu?"
"Dia kena gagal ginjal," jujur Dion dengan lirih.
"Kamu enggak bercanda, kan?"
"Len! Gue mana bisa bercanda di seperti ini? Jujur gue juga nggak nyangka kalau adik gue kena penyakit mematikan. Rasanya gue ingin tukaran sama dia, biar gue aja yang—"
"Yon! Kamu nggak boleh ngomong gitu! Itu udah takdir, kamu enggak bisa menyalahkan takdir orang."
"Gue tau! Gue sebisa mungkin ngejagain dia. Gue, nyokap juga selalu ada buat dia. Apapun yang Rei inginkan bakal langsung gue turutin, cuma gue—"
"Kamu takut kehilangan dia, kan?"
Dion mengangguk pelan.
"Gue belum siap di tinggal sama malaikat kecil, gue."
Alena senang mendengar Dion ingin bercerita kepadanya. Sosoknya yang dingin, berubah menjadi kehangatan.
Alena memejamkan matanya, kenapa rasa pusingnya kembali muncul di saat seperti ini, perutnya yang terasa semakin nyeri membuat Alena memejamkan matanya.
Dion yang merasakan keheningan, langsung menoleh melihat Alena.
"Len? Lo kenapa? Baik-baik aja, kan?" tanya Dion yang berubah menjadi khawatir.
"A-aku enggak apa-apa, perut gue nyeri," keluh Alena dengan memegang perutnya.
"Gue beli makanan dulu, lo tunggu sini. Oke?"
Alena hanya mengangguk lemas, dengan cepat Dion berlari meninggalkan rooftop menuju ke kantin.
Alena tersenyum sedu, "Ternyata seperti ini rasanya dicemaskan oleh orang?"
Tak lama, Dion datang membawa dua kotak nasi. Ia duduk di hadapan Alena dengan menyodorkan satu kotak.
"Makasih, maaf ya ngerepotin."
Dion hanya mengangguk.
"Gue ngerasa lo beda, Len. Nggak kayak isu yang beredar di sekolah ini," ujarnya dengan membuka nasi kotak miliknya.
"Abaikan aja, aku enggak peduli sama mereka, juga gosip tentang aku," sahut Alena sebelum memasukan satu suapan nasi.
"Len," panggil Dion pelan.
Alena yang tengah mengunyah langsung melihat ke Dion dengan menaikkan satu alisnya. "Apa?"
"Apa lo orang yang—"
"Yang apa? Udah, makan dulu."
Dion membungkamkan mulutnya dengan tersenyum mengangguk. Mereka saling terdiam dengan menikmati nasi itu dengan lahap, juga dengan Alena. Ia makan nasi itu dengan sangat lahap, bahkan Dion sampai menggelengkan kepalanya. Meski cara mengobrol mereka berbeda, mereka dapat merasakan adanya kedekatan diantara keduanya.
"Lo laper? Ape doyan?" tanya Dion.
"Laper, dari kemarin aku belum makan sama sekali," jujur Alena dengan menyengir.
"Seriusan? Eh, btw, lo bisa enggak si ngobrol pake lo-gue gitu? Rasanya agak aneh aja kalau gue pake lo-gue. Sedangkan lo pake aku-kamu."