"Jadi ceritain sekarang, kenapa tadi kamu bisa nangis histeris di depan kelas?"
Bagas yang sedang meminum es teh langsung berhenti, ia tak bisa menghindar lagi dari pertanyaan Deva yang sejak tadi menginterogasinya.
Sedangkan Deva dengan santainya menunggu cerita Bagas sambil memakan pangsit sebagai cemilan. Setidaknya Bagas sudah dengan ikhlas mentraktirnya makan, jadi ia harus mendengarkan ceritanya sebaik mungkin.
"Aku takut kalau aku akan gagal di ujian. Banyak banget dari yang aku pelajari itu malah nggak keluar soalnya dan rasa gugup dari sebelum ujian itu numpuk banget sampai ujian selesai. Dan begitu selesai rasanya aku pingin nangis"
"Selain itu, aku juga bukan orang yang cerdas. Aku anak yang biasa aja, nilai juga nggak pernah dapat sempurna. Meski sering masuk, tapi pelajaran rasanya sulit untuk dipahami. Jadi, karena aku juga bercita-cita ingin masuk universitas negeri, aku harus berusaha lebih keras"
"Tapi karena aku nggak ada pengalaman atau orang yang bantu aku sama sekali, jadinya aku asal belajar. Aku takut banget kalau jawaban asal-asalanku tadi salah"
Deva sangat paham apa yang dirasakan Bagas mengenai belajar lebih keras daripada biasanya. Dan ia merasa sangat beruntung memiliki teman seperti Tony yang meski berada jauh darinya, ia masih membantunya dalam banyak hal.
"Aku tau rasanya takut karena kalah saat kita sudah berjuang mati-matian. Ujian pertamaku juga bikin perasaanku nggak karuan, lega dan takut campur jadi satu. Tapi memang itu sensasinya, kan. Nanti kalau hasil ujian sudah keluar dan ternyata kita lolos, mungkin rasa bahagia dan bangganya akan sangat luar biasa".
Bagas mengangguk setuju. "Ah. Aku lega banget sekarang, buat perut dan juga kekhawatiranku. Semoga hasilnya akan baik"
***
Bagas kembali ke tempat menginapnya yang jaraknya lumayan jauh dari kampus, karena itu tadi ia memesan ojek online agar bisa sampai ke tempatnya lagi.
Deva berjalan kembali ke rumah Pak Benu, tempat ia menginap sejak kemarin. Dilihat dari luar tempatnya lumayan ramai dan Deva tak melihat ada siapapun di dalam rumah selain Pak Benu dan istrinya.
Melihat bahwa Pak Benu tak dibantu oleh karyawan membuat Deva buru-buru masuk ke dalam rumah dan mengajukan diri untuk membantu Pak Benu.
"Pak, mungkin ada yang bisa saya bantu?"
Pak Benu yang sedang memegang lembaran kertas di depan mesin fotocopy yang sedang menyala tak bisa menyembunyikan raut wajah bahagianya. Ia tak menyangka bantuan datang disaan ia benar-benar membutuhkannya saat ini.
"Iya nak Deva. Bantu ibu jualin barang di depan ya, nanti kalau ada yang mau fotocopy tulis di kertas dan dikumpulkan di atas meja samping bapak ya"
Deva yang langsung paham langsung maju ke depan, berdiri di samping istri Pak Benu. "Nak, disini masing-masing sudah ditulis harganya. Nanti kalau belum jelas tanya saja ke ibu ya"
Deva mengangguk paham atas penjelasan yang begitu mudah dimengerti. Tulisan yang tertera di masing-masing barang pastinya untuk mempermudah pekerjaan Pak Benu dan istrinya yang sudah tua. Bahkan Deva sendiri saja sampai sekarang masing sering lupa akan barangnya sendiri.
"Mas, mau fotocopy yang ini"
Beberapa pelanggan tampaknya ingin miliknya lebih diutamakan agar cepat selesai. Tapi mau bagaimanapun, yang pertama datanglah yang akan didulukan pelayanannya.
Tapi karena tak terlalu tertata, suara mereka yang bersahutan kini seperti menjadi satu dan itu memusingkan. Dan karena itu Deva memikirkan sebuah ide.
"Untuk yang mau fotocopy atau print silahkan ke sebelah kiri"
Hanya dengan kalimat singkat itu orang-orang yang semula berkumpul semua memenuhi area depan kini berpencar sesuai kebutuhan mereka masing-masing.
"Yang tugasnya sedang dikerjakan silahkan duduk di samping ya kak, untuk yang belum silahkan tulis kebutuhannya apa di kertas ini"
Deva menemukan kertas kosong tepat di atas meja di sampingnya bersama dengan beberapa buku catatan, namun karena tak tau fungsi dari buku tersebut ia lebih memilih untuk menggunakan kertas saja.
Satu per satu dari orang yang berbaris itu menulis di kertas sesuai permintaan Deva. Tugas yang tadi sedang di fotocopy oleh Pak Benu pun sudah selesai dan diberikan pada orang yang bersangkutan.
Karena orang-orang yang membeli barang sudah sepi, istri Pak Benu mulai membantu bagian fotocopy sedangkan Pak Benu kini menangani tugas print.
Sedangkan Deva ikut membantu menjual berbagai perlengkapan alat tulis dan merapikan tugas-tugas yang tadinya sudah di fotocopy atau di print. Dengan begitu semua tugas jadi jauh lebih mudah dikerjakan.
Semaikin siang pelanggan semakin sedikit, setidaknya kini mereka bisa bernafas lega. Pak Benu dan istrinya kini bisa beristirahat dulu sedangkan Deva berjaga di depan. Tapi jika nanti ada yang ingin fotocopy maka ia akan memanggil Pak Benu.
Wajar saja karena Deva tak tau bagaimana cara kerjanya, selama ini ia hanya tau jadi saja. Jika masalah print atau berjualan tentu saja Deva bisa.
"Gimana, nak Deva? Sudah capek? Maaf ya kamu malah jadi repot disini. Tapi terimakasih banyak lho, karena bantuan nak Deva semuanya jadi lebih cepat selesai"
Deva tersenyum malu karena pujian Pak Benu, setidaknya ia melakukannya untuk membalas semua kebaikan yang telah dilakukan Pak Benu.
"Karena sudah lumayan sepi, bapak mau ngajarin kamu caranya fotocopy"
Dengan senang hati Deva menerima lagi bantuan dari Pak Benu, kali ini sebuah ilmu yang jarang didapatkan. Pak Benu mengajari Deva dengan pelan dan bertahap, berkali-kali dan sabar. Beliau bahkan membiarkan Deva mencoba untuk menggunakannya.
"Nanti kalau nak Deva jadi berkuliah disini, bapak bakal senang sekali kalau nak Deva mau tinggal disini dan membantu bapak kerja disini. Anggap saja sebagai kerja sambilan, kan?"
Lagi dan lagi, Deva mendapatkan begitu banyak kebaikan dari Pak Benu. Belum lagi hasil dari ujian di umumkan, ia sudah mendapatkan tawaran untuk tinggal dan kerja.
"Terimakasih ya pak atas tawarannya. Saya akan sangat senang sekali jika nanti bisa lanjut membantu disini. Karena itu saya minta bantu doanya ya pak"
Karena kita tak pernah tau dari siapa doa kita terkabulkan, maka taka da salahnya untuk meminta doa pada siapapun.
***
Deva berencana untuk pulang sekitar pukul tujuh malam, setidaknya setelah sholat isya. Ia ingin melakukan perjalanan malam di dalam bis, setidaknya ia bisa tidur saat dalam perjalanan tanpa takut akan kebablasan.
Sejak sore setelah sholat ashar Deva tak melihat istri Pak Benu dimanapun, kecuali kamar beliau yang tertutup sejak saat itu meski lampu menyala.
Tapi begitu Deva membuka pintu kamarnya untuk berpamitan, Pak Benu dan istrinya sudah berada di depan kamarnya dengan beberapa barang yang sudah ditata di dua kardus di depan mereka.
"Lho Pak, bu kok sudah nunggu di depan?", Deva tersenyum sungkan.
Pak Benu mengangkat satu kardus dan memberikannya pada Deva. "Di dalam kardus ini ada banyak makanan, nanti bisa kamu beri ke keluargamu. Kami sangat berterimakasih atas adanya kamu disini, rasanya seperti memiliki keluarga tambahan. Kamu sudah seperti anak kami sendiri"
Deva hampir menangis karena terharu, rasanya ia seperti memiliki keluarga kedua. Tak tega rasanya jika harus meninggalkan orang tua yang sudah seperti keluarganya sendiri"
"Terimakasih atas semuanya Pak, Bu"
***
Bersambung