Suasana di halaman depan Gusu sudah sangat penuh dengan beberapa perwakilan dari enam sekte yang membawa cukup banyak murid.
"Huaisang, senang bertemu dengan dirimu lagi di sini," sapa seorang pria dengan Hanfu sutra berwarna biru muda, pria itu melakukan koutou.
Huaisang pun membalas koutou yang dilakukan oleh pria tersebut dengan penuh hormat. "Adalah sebuah kehormatan bagiku, Kakak kedua."
"Bagaimana kabar Kak Mingjue? Aku sudah cukup lama tak bertemu setelah hari itu," gumam pria itu.
Huaisang memukul pelan lengan A Qiao dengan cepat, mengisyaratkan agar A Qiao segera memberi koutou untuk pria itu.
"Tidak apa, jangan terlalu kasar kepadanya, Huaisang. Dia tak pernah bertemu denganku," ucap pria itu lagi.
"Memang benar kakak ke dua tak pernah bertemu dengannya namun, ada baiknya bahwa A Qiao bisa memberi koutou kepada paman tersumpahnya, Lan Xichen."
"Lan ...." A Qiao tampak tergagap begitu mengetahui bahwa pria dengan Hanfu sutra berwarna biru itu adalah Lan Xichen, paman kedua yang sangat ia kagumi karena kepiawaiannya dalam berseni musik.
Tanpa pikir panjang, A Qiao ingin melakukan koutou untuk Lan Xichen. Namun, pria itu menolak mentah-mentah dan segera meminta mereka untuk pergi beristirahat ke kamar masing-masing karena mereka sudah sampai ketika matahari hampir terbenam di ufuk barat.
"Yang menemanimu adalah Lan Baozi, dia bisa mengantarmu ke kamar A Qiao." Lan Xichen memanggil salah satu pria dengan Hanfu berwarna sama dengan yang digunakannya.
"Baik, Ayah. Tolong ikuti saya Paman kedua, juga Nona A Qiao." Pria itu segera melakukan koutou untuk Huaisang dan A Qiao bergantian.
Tanpa pikir panjang mereka semua diminta untuk mengikuti bimbingan Lan Baozi untuk pergi ke kamar barat. Sebuah kamar yang memang disediakan untuk murid umum sekte Nie Qinghe.
"Sekarang usiamu berapa Lan Baozi?" tanya Huaisang.
"Enam belas tahun, Paman kedua."
"Bagus, di mana paman Lan Wangji mu?" tanya Huaisang lagi.
"Beliau sedang ke kolam suci penyembuhan, Paman kedua."
Tanpa sadar setelah berjalan melewati beberapa kolam penuh ikan koi emas, mereka sampai di sebuah ruangan. Lan Baozi menyebutkan bahwa ruangan itu baru saja dibersihkan dan diletakkan minyak bunga lavender thio yang dipanaskan dengan api lilin.
"Aku sangat suka dengan kondisi kebersihan Gusu, di mana-mana ada kolam dengan ikan yang berenang bebas," ucap A Qiao.
"Terima kasih banyak, Nona A Qiao. Sungguh kehormatan jikalau kalian menyukai kondisi Gusu."
"Tidak usah, bersikap kaku seperti itu. Dia adalah adikmu," gerutu Huaisang segera mengecek ruangannya sendiri.
"Sedari tadi, Paman Huaisang hanya membuatku kesal. Apa karena Paman Huaisang tak bisa bertemu dengan—"
"Karena dirimu sangat cerewet, A Qiao," potong Huaisang.
Yang lantas menghilang ke dalam ruangannya. Lan Baozi tampak menahan tawa geli namun, tak jadi karena A Qiao melihatnya dengan sinis sekarang.
"Maaf Nona A Qiao, apa ada yang bisa saya bantu la—"
"Apa kamu tidak mendengar bahwa jangan terlalu kaku," sinis A Qiao. "Hao la, bawakan barang-barangku masuk."
"Baiklah."
Lan Baozi dengan pasrah membawakan beberapa kantong barang-barang milik A Qiao ke dalam ruangan lantas meletakkannya di atas sebuah meja kecil di tengah ruangan.
"Jikalau kamu ingin membersihkan diri, Nona. Di dalam ada sebuah kolam kecil untuk berendam. Air kolam tersebut sedikit hangat karena kami panaskan dengan batu inti pemanas, bisa mengurangi sedikit rasa pegal karena perjalanan jauh," ucap Lan Baozi masih dengan gaya yang sopan.
A Qiao tak begitu heran karena Gusu Lan memang mempunyai seribu alasan untuk hal itu, sebuah kebajikan yang harus ditanamkan di dalam maupun di luar Gusu. Etiket adalah sebuah keharusan bila tidak ingin dicambuk oleh Lan Xichen pengganti Lan Qiren.
"Haruskah aku benar-benar menamparmu dengan anak Baoxia?" tanya A Qiao kemudian sedikit sarkas.
"Setidaknya aku masih bisa bersikap sopan walaupun dengan keluarga tersumpah," kata Lan Baozi. "Omong-omong ... kenapa kamu juga dikirim ke sini oleh Paman pertama? Bukankah kamu perempuan?"
"Seperti yang kamu ketahui bahwa Paman Huaisang adalah penakut. Aku tidak yakin ia akan menjadi penerus Nie Qinghe nantinya." A Qiao bersandar di tumpukan selimut dan bantal yang ada di belakangnya.
"Eum ... jadi kamu juga berharap bisa seperti penerus Jiang Yunmeng? Jiang Lin Tan?" tanya Lan Baozi.
"Siapa dia?" tanya A Qiao menautkan kedua alisnya.
"Anak dari Paman A Cheng, sepupu dari Jin Rulan" balas Lan Baozi.
"Bukankah Jin Rulan sudah tua?" tanya A Qiao.
"Dia dari Jin Laling."
"Benar juga, Jadi ... apakah sekarang dia yang menjadi penerus Jin Laling setelah Jin Guangyao tewas?" tanya A Qiao.
"Kemungkinan iya, kamu juga mengetahui dengan jelas siapa yang mendidik Jin Rulan. Kedua pamannya sangatlah hebat, yang satu adalah pemilik cambuk sandu dan yang satu adalah tetua ajaran Yiling." Lan Baozi berbicara panjang lebar kepada A Qiao layaknya seorang pemuka ajaran.
A Qiao menghela napas karena mengetahui bahwa sepupu tidak langsungnya itu juga sama bodohnya dengan dirinya sendiri. "Jadi, kapan kita akan melaksanakan pelatihan itu?"
"Esok pagi, tepat jam tujuh ... semuanya harus sudah berada di aula dengan apel pagi," jelas Lan Baozi.
"Terdengar sangat menyenangkan," gumam A Qiao. "Coba, lihat pedangku. Aku memaksa ayahku untuk mendapatkan pedang ini."
"Sudah tidak heran jika kamu sering memaksa, lantas ... apa kamu sudah mengetesnya?" tanya Lan Baozi melipat kedua tangannya di depan dada.
"Ya, tentu saja. Di perjalanan tadi, kami dicegat oleh sekelompok perampok yang menyamar sebagai pengemis," kata A Qiao.
Lan Baozi seketika berubah air mukanya. "Di cegat?"
"Ya, kami dicegat di desa Nanpi. Agak sedikit aneh jika pengemis meminta uang dengan cara seperti itu dan mereka pandai bersilat. Yang lebih aneh, tongkat bambu yang mereka gunakan tak seperti bambu biasa." A Qiao menangkup dagunya dengan telapak tangan.
"Sungguh mencurigakan, karena semua orang mengetahui bahwa desa Nanpi, walaupun terlihat sangat miskin namun, mereka hidup secara berkecukupan." Lan Baozi menimpali.
"Aku tidak tahu, sebenarnya aku ingin mencari tahu siapa mereka sebenarnya... tapi, seorang pria dengan Hanfu putih menghalangiku, dia membuat sebuah kabut pembuta, dari mana sihir itu? Apa dari Gusu?" tanya A Qiao.
"Apa kamu tak melihat bahwa Gusu memiliki ciri khas yakni sebuah pita sihir ini?" Lan Baozi mengedutkan dahinya menunjukkan sebuah pita sihir berwarna biru muda yang terikat di dahi.
"Benar juga, pedang yang dia bawa sangat bagus. Sepertinya terbuat dengan emas asli."
"Aku akan mencoba memberi tahu Ayah mengenai penyergapan ini, sekaligus mencari tahu mengenai pemerintahan desa Nanpi yang terkesan sedikit aneh itu." Lan Baozi mengambil pedang Buqinnya dan hendak pergi meninggalkan ruangan A Qiao.
Namun, A Qiao mencegah dengan memanggilnya. "Lan Baozi, cari tahu juga pria yang aku maksudkan."
***
Samar-samar sebuah suara terdengar begitu di luar ruangan, A Qiao terperanjat bangun dengan wajah luar biasa bengkak, ia melirik sebuah jam pasir yang telah menunjukkan pukul lima pagi.
Dengan segera ia membersihkan dirinya dengan secepat mungkin dan mengangkat pedangnya di tangan. Ia membuka pintu sesekali menguap lelah, beberapa murid asli Gusu sudah bersiap memulai kesehariannya, sementara beberapa murid umum baru akan mulai membersihkan diri.
Karena tak mengetahu di mana ruang aula Gusu, ia memilih untuk berjalan ke timur pergi ke kolam ikan yang indah sembari menunggu ada yang menjemputnya pergi ke aula.
A Qiao sedikit berdendang kecil sembari berjalan pelan, suasana pagi di Gusu sedikit berbeda karena di sini tak ada yang namanya keributan.
"Pagi, Nona Nie," sapa seorang pria dengan Hanfu putih polos.
"Pagi, juga." A Qiao membalas dengan bingung.
"Aku adalah Lan Shizui. Jikalau anda ingin sebuah bantuan bisa mengatakannya padaku."
A Qiao mengangguk. "Apakah ... Lan Baozi sudah bangun? Bisakah kamu mengantarku untuk menemuinya?"
"Dengan senang hati, Nona Nie." Tanpa pikir panjang, Lan Shizui sebagai seorang murid kepercayaan dari Gusu segera membimbing A Qiao masuk ke sebuah ruangan dan meminta beberapa murid lain mempersiapkan aula.
Lan Shizui masih membimbing A Qiao menuruni tangga kecil menuju sebuah perpustakaan. "Lan Baozi ada di sini, Nona Nie."
"Tempat ini lebar juga, bagaimana bisa dia suka membaca di sini?" tanya A Qiao.
"Sedari kecil kami sudah diajarkan untuk terus membaca, Nona Nie." Lan Shizui menunjukkan senyuman tipisnya lantas pamit untuk pergi ketika Lan Baozi muncul dari bilik rahasia.
"Kamu sedang apa sepagi ini?" tanya A Qiao.
"Aku sedang membaca buku dan sedikit bersajak," balas Lan Baozi.
"Apakah kamu sudah berbicara dengan Paman Xichen mengenai apa yang aku bicarakan semalam?" tanya A Qiao menginterogasi.
"Tidak begitu sempat karena Ayah sedang bercakap dengan beberapa pewaris tahta sekte yang lain."
"Jadi, kamu belum membicarakannya. Aku ingin mengetes pedangku lagi, sangat penasaran siapa di balik penyergapan itu," balas A Qiao.
"Apa yang sedang kalian bicarakan di sini?" sebuah suara membuat mereka terkejut, Lan Baozi dan A Qiao terenyak.
Terlebih lagi A Qiao yang mengetahui bahwa itu adalah paman keduanya, Lan Wangji yang dijuluki satu dari dua pilar kembar gusu.
"Hormat untukmu, Paman kedua." A Qiao melakukan koutou.
"Apa yang kamu lakukan, A Qiao? Bangunlah... jam sudah sangat siang, cepatlah pergi ke aula untuk bersiap."
"Baik, Paman kedua. Eum ... apakah paman mengetahui sekelompok orang dengan tongkat bambu kuning berdiameter lima sentimeter dan berpenampilan layaknya pengemis?"
Lan Wangji terdiam, tangannya dilipat ke belakang dengan perlahan. "Sekarang waktunya kalian belajar, bukan untuk mencari apa dan siapa."
"Baik, Paman. Kami akan pergi ke aula sekarang menemui Ayah." Lan Baozi melakukan koutou kepada Lan Wangji lantas melirik A Qiao agar melakukan hal yang sama.
Mereka berdua pergi dari perpustakaan itu dengan langkah sedikit buru-buru, A Qiao sedikit bingung karena ia selalu dilarang untuk bertanya mengenai hal-hal yang tidak ia tahu sebelumnya. Padahal ia sangatlah penasaran, Lan Baozi melipat kedua tangannya ke belakang layaknya Lan Wangji.
"Ada baiknya kamu meminta Paman kedua Huaisang untuk bertanya langsung pada Ayah," kata Lan Baozi.
"Benar, kudengar Paman Huaisang memang dekat dengan Paman pertama. Namun, kamu mengetahui sendiri bahwa Paman Huaisang sama-sama menyebalkan." A Qiao menggerutu.
Lan Baozi diam sebentar lantas, cukup lama hingga mereka sampai di sebuah taman kecil yang ditumbuhi bunga-bunga indah berwarna putih. "Siapa pemimpin desa Nanpi?"
"Aku tidak mengetahuinya. Kemungkinan besar hanya pendekar mata keranjang yang suka bermain curang," balas A Qiao kemudian.
"Bisa jadi. Ah ... terlalu rumit memikirkan masalah ini di usia muda, bagaimana kalau kita segera pergi ke aula dan bertanya langsung kepada Ayah." Tanpa pikir panjang Lan Baozi berjalan cepat menyeberangi taman dan membuka sebuah pintu lebar sebuah ruangan besar di depannya.
A Qiao masih berjalan pelan di belakangnya dengan santai. Ia menaiki tangga dengan santai sekaligus menyapukan seluruh pandangannya ke penjuru aula itu.
"Nona Nie Qiao Lin, senang bertemu denganmu ... bagaimana kabar dari Chi Feng Zun?"
Nyaris saja A Qiao terjerembab ke belakang ketika seorang pria dengan Hanfu ungu menyapanya. Pria itu adalah Jiang A Cheng, ketua sekte Yunmeng setelah Jiang Feng.
"Ayah baik-baik saja, Paman Jiang," balas A Qiao pelan.
"Kamu dikirim ke sini sendiri?" tanya Jiang A Cheng.
"Tidak, Paman Jiang. Kebetulan aku dikirim bersama Paman Huaisang," jawab A Qiao.
"Oh begitu ... perkenalkan, ini adalah Jiang Lin Tan. Putri pertamaku, panggil saja dia A Tan." Jiang A Cheng menarik seorang gadis seumuran dengan A Qiao yang sedari tadi bersembunyi di balik tubuh Jiang A Cheng.
"Senang berkenalan denganmu Nona A Tan. Aku pernah mendengar bahwa kamu adalah pemanah rajawali dari negeri teratai," ucap A Qiao.
"Bukan apa-apa, aku belum apa-apa dibanding yang lainnya," balas A Tan.
"Ada baiknya kalau sekarang kalian masuk ke dalam, bersiaplah." Jiang A Cheng memotong pembicaraan mereka berdua lantas pergi ke suatu tempat.
Sementara itu A Qiao mengajak A Tan untuk berjalan masuk ke dalam aula yang sudah terisi beberapa orang murid umum lainnya. Lan Baozi melambaikan tangan kepada kedua gadis itu.
Tanpa pikir panjang A Qiao dan A Tan segera menghampiri Lan Baozi. A Qiao memandang Lan Baozi seolah bertanya ada apa kepadanya.
"Ayahku tak mengetahui bahwa desa Nanpi ada sekelompok perampok seperti itu namun, kata Ayahku memang seperti aneh beberapa hari ini," kata Lan Baozi.
"Apa yang aneh?" tanya A Qiao.
"Ada beberapa desa yang juga melaporkan hal serupa dengan dirimu," kata Lan Baozi.
"Maaf, kalau boleh mengetahui... apa yang sedang kalian bicarakan?" tanya A Tan.
"Mengenai sekelompok perampok dengan tongkat bambu kuning," balas A Qiao.
"Bambu kuning?" ulang A Tan.
"Ya. Kemarin aku dicegat oleh mereka di desa Nanpi. Ketika aku—hei! Bukankah kemarin kamu yang menggagalkan peperangan perdanaku!" A Qiao berteriak ketika seorang pria tak dikenal yang kemarin membantunya lewat di hadapannya.
Kali ini pria itu tak mengenakan Hanfu putih bersulam sutra berwarna mint melainkan baju khas Gusu, pria itu mengulum senyum hingga tercipta cekungan cukup dalam di kedua pipinya.
"Anda benar, Nona. Masih mengingatku dengan baik?"
"Persetan dengan mengingatmu, apa kamu mengetahui siapa mereka?" sentak A Qiao.
"Di peraturan nomor sekian seluruh murid asli maupun murid luar harus menjaga etiket dalam hal apa pun, jaga bicaramu kalau tak ingin didengar oleh Paman Lan Wangji atau Paman kedua Huaisang," gumam Lan Baozi sedikit berbisik.