"Bu!" panggilku dan segera berlari memeluk wanita berusia lanjut itu. "Apa bapak sudah siuman?"
Melihat ibu terdiam, membuatku cukup mengerti apa jawaban yang seharusnya kudapat. Setelah operasi tadi sore, dokter berkata jika kondisi bapak belum sepenuhnya stabil. Melepaskan pelukan dan mencium punggung tangan ibu dengan memberi senyuman penenang. "Ibu tenang saja, sebentar lagi bapak pasti siuman."
Ibu mengangguk, mengiyakan ucapanku yang sebenarnya aku sendiri meragukannya. Dalam sekejap, pandangan ibu berubah ketika melihat siapa yang berdiri di belakangku.
"Ini siapa, Nad?"
Ah, aku sampai lupa memperkenalkan Arthan pada ibu. Tapi, bagaimana cara mengenalkan mereka? Menggigit bibir bawah menjadi caraku menghilangkan rasa gugup, jujur ini pertama kalinya aku membawa laki-laki ke hadapan ibu selain Ridho.
"Eum ... dia ..."
"Saya Arthan, calon suaminya Nadia," jawab Arthan menyela ucapanku.
Aku menoleh dengan cepat dan menatap Arthan dengan penuh tanda tanya. Apa-apaan dia? Calon suami? Hey, kenal saja belum genap sehari, sudah mengaku jadi suami. Meski itu adalah kenyataannya, tapi apa harus membuat pengakuan seperti itu?
"Oh, jadi ini laki-laki yang akan menikahi putriku."
"Iya, Bu. Bagaimana? Dia ... pantas menjadi suamiku, 'kan?" sahutku berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan.
Ibu tampak tersenyum. Senyumnya tampak aneh, tapi sekali lagi dia tersenyum. Kulihat Arthan juga sempat tersenyum pada ibu, meski senyumnya hanya setipis kertas. Tapi tak apalah, dari pada beberapa jam lalu, dia bahkan tidak menampakkan garis di wajahnya sama sekali.
"Saya ke sini juga ingin sekalian meminta restu dari Ibu untuk menikahi Nadia," celetuk Arthan membuatku semakin melotot.
Shit! Dia kenapa, sih? Apa harus secepat ini? Setidaknya tunggu sampai bapak siuman dulu, bukannya minta restu dari ibu.
Lihat saja, ibuku sampai kaget begitu. Raut wajahnya kelihatan sekali kalau dia sedang kebingungan, belum lagi lirikan matanya yang protes menatapku.
"Re—restu?" Ibu kebingungan menatapku dan Arthan secara bergantian.
Tanpa ijin lagi, langsung menyikut pinggang kanan Arthan yang berdiri tepat di sebelah kiriku. Itu isyarat, untuk memberitahu laki-laki jangkung ini agar menjelaskan lebih detail tentang maksud dari ucapannya itu.
Arthan tiak berekspresi sama sekali. Aku jadi tak yakin, dia sebenarnya ingin meminta restu atau menagih hutang? Wajahnya kelihatan tidak bersahabat sama sekali.
"Iya, sebenarnya saya sudah lama menyukai Nadia. Saya kenal dia, karena kebetulan kami satu kampus," ungkap Arthan.
Duh, kenapa harus berbohong? Tapi lirikan matanya seolah meyakinkanku jika semuanya akan baik-baik saja. Iya, kuakui jika aku tak ingin ibu tahu tentang yang sebenarnya kalau kami hanya menikah diatas sebuah perjanjian.
Ya, aku hanya takut jika ibu tahu, dia akan marah dan menolak pernikahan kami. Dan rupanya Arthan pengertian juga.
"Eum ... sebaiknya kita tunggu sampai bapaknya Nadia siuman, lalu kamu bisa minta restu padanya. Karena ini menyangkut kehidupan anak, jadi Ibu rasa bapaknya Nadia juga perlu memberikan suara," jawab ibu dengan bijaknya.
Arthan mengangguk setuju. Kami pun mengobrol-ngobrol ringan di koridor rumah sakit sambil mengenal Arthan lebih jauh. Dari sinilah aku tahu kalau Arthan ternyata seorang arsitek muda berusia 25 tahun, dia juga memiliki sebuah usaha penyewaan apartemen di salah satu sudut ibukota.
Ibuku terlihat begitu tertarik pada sosok Arthan, caranya bicara membuat ibu terlihat nyaman dan senang mengobrol dengan laki-laki itu. Beberapa menit setelah berbincang santai, Arthan harus pergi karena ada panggilan alam.
"Nad, ternyata Arthan itu berasal dari keluarga kaya, ya?" kata ibu berbisik padaku setelah Arthan pergi.
"I—iya, Bu. Begitulah," sahutku rada canggung, takut salah jawab.
"Wah, jarang-jarang ada orang kaya yang mau nikah dengan orang miskin, berarti Arthan laki-laki langka. Jangan sampai lepas, Nad. Kamu harus menikah dengan Arthan secepat mungkin!"
Mendadak ibu mengeluarkan jiwa narsisnya. Mungkin kalian belum tahu, kalau ibuku ini termasuk jenis ibu-ibu yang mata duitan. Bukannya mengatai ibu sendiri, tapi memang kenyataannya begitu. dia juga sedikit cerewet, meski masih bisa di kontrol tingkat kecerewetannya.
"Ibu, kenapa bicara seperti itu? Kalau Arthan dengar, nanti dia bisa tersinggung," pungkasku lagi.
"Ck, kamu itu tidak usah pura-pura, Ibu tahu kamu menikah dengan Arthan karena dia kaya 'kan? Tapi tak apa, setidaknya dia bisa menggantikan mantanmu yang dulu tega meninggalkanmu di pelaminan," sahut ibu dengan bangganya.
Percakapan itu berakhir ketika Arthan kembali dari toilet. Dia mengatakan jika keluarganya sudah menunggu kepulangannya di rumah, dia pun berpamitan pulang. Tapi Arthan juga mengajakku ikut serta ke rumahnya untuk di perkenalkan kepada keluarganya.
"Apa? Secepat ini? Tidak bisa besok saja?" tanyaku sedikit keberatan.
"Sudahlah, Nad. Kamu ikut saja, lagi pula ini permintaan calon suamimu 'kan?" Ibu ikut mengompori.
"Iya, saya sudah terlanjur cerita pada oma, kalau malam ini saya akan membawamu ke rumah. Jadi, sebaiknya kita tidak mengulur waktu lagi," sahut Arthan menambah semangat ibuku.
Akhirnya, mau tak mau aku pun terpaksa ikut bersama Arthan. Padahal aku ingin menunggu bapak di rumah sakit sampai beliau siuman, tapi nyatanya ibu malah memaksa ku pergi dan mengatakan jika dia bisa menjaga bapak seorang diri.
Perjalanan dari rumah sakit menuju rumah keluarga Arthan tidak terlalu lama, mungkin karena dia yang bawa mobilnya juga ngebut. Rumah mewah itu jelas berbeda dengan gubuk yang ku tempati bersama keluargaku, dari ukurannya saja sudah kalah telak.
Dihalaman terdapat hamparan rumput hijau dan juga paving block yang tersusun rapi, membentuk jalan untuk mobil lewat. Rumah mewah bergaya eropa dengan chat putih-moca itu kelihatan cantik, ditambah dua lampu dikedua tiang utamanya, semakin membuatnya terlihat elegan.
"Arthan, dari mana saja kamu? Oma sudah lama menunggu, lalu dimana calon menantuku?" tanya wanita berusia sekitar 50 tahunan ketika Arthan melangkah masuk.
Arthan sedikit bergeser dan memperlihatkan tubuh kecilku yang bersembunyi di punggungnya. Hal pertama yang kulihat adalah penampakan seorang wanita berusia lanjut dengan wajah keriput, namun tetap terawat dan juga sedikit uban di kepalanya.
Segurat senyum kuperlihatkan padanya. Yah, meskipun hanya pura-pura, tapi setidaknya aku harus menawarkan kesan baik di saat pertama kali berjumpa dengan calon oma mertua. Oma mertua? Apa aku salah sebut?
"Masya Allah, ternyata calonmu berhijab? Cantiknya," seloroh oma lalu menghampiriku dengan langkah rentannya.
"Terima kasih, Oma," balasku.
"Oma senang padanya?" tanya Arthan pula.
"Iya, dia persis seperti yang Oma inginkan. Begitu dong kalau cari istri, cari yang cantik karena hijab, bukan karena body seksi," celetuk oma sambil mengelus tangan halusku.
Sementara dari ruangan lain, terdengar teriakan seorang wanita yang tak nampak wajahnya. "Ma! Ayo makan, semuanya sudah siap!"
"Ayo kita makan, itu mamanya Arthan baru saja selesai masak untuk makan malam." Senyuman tak pernah lepas dari wajah wanita tua ini, dia sangat ramah dan hangat padaku.
Dengan kode mata dari Arthan, aku mengerti bahwa dia juga ingin aku ikut makan malam bersama di keluarga ini. Meski malu, tapi aku tetap ikut. Sebab tak enak menolak tawaran oma, dia kelihatan bersemangat sekali.