Jangan marah ketika kita dihina, sejatinya manusia itu memang hina, yang pantas dipuji dan dihina. Jadilah manusia hebat, yang diihina tak tumbang dan yang dipuji tak terbang. Jangan takut dihina, jangan takut dipuji, tidak perlu dianggap orang baik, yang penting jadilah orang baik.
Tak perlu sedih jika ada orang yang merendahkan dan menghina, kemuliaan bukanlah milik manusia, tapi Allah yang punya. Sabar saja, aku bisa memaklumi sikap Windi karena dia masih SMA, yang mungkin pemikirannya masih labil.
"Ucapan Windi tadi tak usah di masukkan hati, dia memang begitu orangnya. Tapi aslinya dia baik," kata oma ketika dia mengantarku ke pintu utama.
Tante Rani juga berkata demikian, meski sebenarnya aku masih kepikiran. Tapi, ya sudahlah.
Arthan mengantarku pulang setelah makan malam selesai. Tadinya aku menolak, sebab merasa tak enak kalau harus merepotkan Arthan terus. Tapi oma dan tante Rani sendiri yang memaksa Arthan untuk mengantarku. Alhasil, sekarang kami pun duduk berdua lagi di dalam mobil.
"Maaf, tadi aku tidak melihat papamu. Kemana dia?" tanyaku yang sebenarnya sejak tadi penasaran dengan papanya Arthan.
"Papa di luar kota, mengurus bisnis cengkehnya di daerah Jambi," jawab Arthan tanpa menoleh.
Cuek, dingin, tak pernah senyum dan sedikit galak, itulah Arthan di mataku. Sedikitpun dia tak pernah senyum padaku, apa memang karena aku kurang menyenangkan?
"Di depan belok kiri," kataku memberi instruksi pada Arthan yang menyetir mobil.
Rumahku terletak di pinggir kota, tidak terlalu jauh, tapi cukup nyaman untuk dijadikan tempat tinggal bagi orang yang tak suka suara berisik kendaraan. Untungnya bapak masih bisa membeli tanah dan membangun rumah sendiri, jadi kami tidak perlu mengontrak.
Meski hanya rumah petak kecil, tapi itu sudah lebih dari cukup. Kebetulan halaman rumahku cukup luas, jadi Arthan bisa memarkir mobilnya didepan rumah.
"Terima kasih, seharusnya kamu tidak perlu mengantarku sampai rumah," ucapku begitu sampai.
"Jangan kepedean, saya melakukan ini hanya karena permintaan dari oma."
Ah, mendengar itu mebuat ginjalku serasa tersentil. Bukannya kepedean, tapi hanya ... ah, sudahlah. Susah bicara pada orang yang kampung halamannya ada di kutub.
"Oh, iya. Kamu belum cerita, alasan kamu menikahiku karena apa?" tanyaku penasaran.
Tidak ada salahnya bertanya bukan? Lagian aku hanya ingin tahu alasannya saja, sebab dia sudah tahu alasanku mau menikah dengannya. Jadi kurasa aku juga berhak tahu tentang dia.
"Karena oma. Dia ingin saya menikah, karena saya tidak mau kesehatannya terus menurun, akhirnya saya berusaha mencari wanita yang mau saya nikahi," jelas Arthan singkat.
Waw, ternyata Arthan itu sosok yang sangat sayang pada oma-nya ya. Namun, aku sedikit heran. Sebab, untuk ukuran laki-laki semapan Arthan, dia pasti mudah mendapatkan kekasih yang dia cintai untuk dinikahi.
Tapi kenapa harus mencari gadis sepertiku?
"Ya sudah, kalau begitu aku permisi. Assalamu'alaikum."
Tersenyum, masih duduk sambil menatap Arthan dari samping. Mendapati dirinya di tatap olehku, Arthan pun menoleh. "Kenapa belum keluar?" tanyanya heran.
"Aku menunggu jawaban salam darimu," jawabku polos. "Assalamu'alaikum," kataku lagi mengulang salam.
Entah kesal atau apa, yang jelas Arthan sempat menarik napas panjang sebelum akhirnya dia menjawab salam dan aku keluar dari mobil.
Secarik kertas dalam map kuning ada di genggamanku ketika masuk kerumah. Ini surat perjanjian kami, aku memegang copy-annya sementara yang asli di pegang oleh Arthan. Ya, Allah. Semoga langkah yang kuambil ini tidak salah.
Menikah tanpa cinta, hanya mengandalkan status demi mendapatkan uang untuk biaya pengobatan bapak, semoga saja semuanya bisa berjalan dengan lancar.
"Bismillah, semoga engkau selalu bersamaku dalam menghadapi segala jalan kehidupan."
Uh, tak tahan lagi. Bau badanku sudah menyeruak kemana-mana. Kira-kira Arthan mencium baunya tidak, ya? Ah, masa bodo. Lebih baik aku mandi lalu kembali ke rumah sakit, kurasa ibu lelah menjaga bapak sendirian.
Begitu selesai mandi, aku langsung pergi ke rumah sakit. Syukurlah, bapak sudah siuman, bisa kulihat mulutnya terbuka ketika ibu menyuapi bubur.
"Siapa laki-laki yang akan mengkhitbah putriku ini?" tanya bapak tiba-tiba ketika aku baru saja sampai setelah menaruh parsel buah di meja nakas.
Kaget? Tentu saja. Aku baru sampai, dan bapak tiba-tiba bertanya soal khitbah padaku. Ah, ini pasti ulah ibu. Lihat saja, dia sedang memandangku dengan kedua alisnya yang naik turun, seolah meminta jawaban yang lebih valid dariku.
"Bapak tau dari Ibu, ya?" Aku menarik kursi plastik yang ada di samping meja nakas agar bisa duduk di sebelah brankar bapak.
"Iya, tadi Ibu cerita. Katanya kamu akan menikah." Tuh, kan.
"Ayo, Nad ceritakan pada bapakmu ini, kalau laki-laki yang akan menikahimu adalah anak orang kaya. Karena sejak tadi dia tidak percaya pada ibu," sungut ibu dengan ekpresi anehnya.
Haduh, kenapa ibu harus cerita pada bapak secepat ini, sih? Padahal aku belum menyiapkan naskah apa yang harus kubacakan didepan ayah tentang rencana pernikahanku dan Arthan. Kalau begini, aku merasa sedang ujian dadakan.
Namun, semuanya sudah tak bisa di tutupi lagi. Akhirnya kuceritakan apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan Arthan, tentu saja dengan sandiwara. Untungnya Arthan sempat memberiku beberapa jawaban untuk menjawab pertanyaan semacam ini, jadi sedikit banyaka ku bisa mengurangi rasa gugup juga.
"Alhamdulillah, akhirnya anak Bapak dikhitbah juga. kira-kira kapan Bapak bisa bertemu dengan calonmu?"
Bapak kelihatan sangat senang mendengar kabar ini. Ya, itu sudah pasti. Meski tadi sempat keberatan karena setahun yang lalu aku sempat ditinggal saat hari pernikahan, tapi ibu dengan sabar meyakinkan bapak kalau itu tidak akan terulang lagi.
"Aku belum menanyakan hal ini pada Arthan, dia sangat sibuk dengan pekerjaannya. Jadi, mungkin nanti akan kutanyakan ya, Pak," jawabku dengan tenang.
Tidak tahu apakah aktingku terlihat meyakinkan atau tidak, tapi kelihatannya ayah percaya pada ucapanku. Ditambah lagi dengan omongan ibu yang dari tadi terus meninggikan nama Arthan.
"Iya, Ibu dan Bapak paham kok. Arthan kan orang sibuk, dia pasti susah untuk meluangkan waktu di tengah sibuknya bekerja. Wah, pekerjaan arsitek itu bukan main-main, lho! Pasti uangnya juga banyak!" kata ibu begitu bersemangat.
Duh, tolong ingatkan ibuku kalau Arthan itu baru calon menantu, baru calon. Lagi pula, jika Arthan sudah menjadi menantu mereka pun, tidak ada sangkut pautnya antara uang Arthan dan ibuku. Kenapa jadi dia yang lebih antusias akan pernikahanku?
"Hey, Nadia. Arthan pasti mau memberimu apa saja setelah kalian menikah, buktinya dia mau membiayai operasi bapak dan membayar kamar VIP untuk perawatan. Dia itu sangat royal, padahal kalian belum menikah." Ibu terus nyerocos dan meninggikan nama Arthan, bahkan lebih tinggi dari putrinya sendiri.
Meski aku sudah bilang kalau itu hanya kewajibannya saja, tapi ibu tetap kekeuh berkata kalau Arthan itu benar-benar mencintaiku. Heh, cinta? Kami saja menikah tanpa cinta. Mungkin ada, tapi hanya cinta di atas kertas perjanjian.
"Sudahlah, Bu. Jangan menyanjung Arthan terus. Aku jadi risih," sergahku.