17 Bulan Kemudian.
.
Cassie melangkahkan kakinya ke dalam lobi Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Wanita muda dengan kemeja berwarna putih serta blazer berwarna coklat itu melangkah dengan dagu terangkat. Tidak menghiraukan hiruk-pikuk orang-orang disekitarnya, Cassie terus melangkah lurus. Seolah sangat tahu tujuan langkahnya kemana.
Dia berhenti di ruang tunggu Bandara. Mendapati Relly, Viko, Mama Arion, dan Papa Arion yang berada di ujung kursi ruang tunggu menoleh ke arahnya, Cassie melambaikan tangan sembari tersenyum.
Dia melangkah mendekati mereka. Relly langsung mengernyit melihatnya yang tampak sangat bersemangat.
"Tumben," kata Relly. Matanya menatap penampilan Cassie naik turun. Seolah memastikan bahwa didepannya adalah sahabatnya yang beberapa bulan belakangan ini selalu uring-uringan tak jelas.
"Kenapa sih?" tanya Cassie risih karena ditatap sedemikian rupa.
"Tumben semangat banget. Biasanya 'kan selalu marah-marah gak jelas. Kesel gak jelas. Ngomel-ngomel gak jelas. Semuanya gak jelas!" kata Relly lugas. Membuat tawa mengalun dari bibir orang tua Arion maupun Viko.
Cassie menatap wanita itu sebal. Sembari berdecak tak suka, dia berkata, "Gak seru lo. Bongkar aib!"
"Ye siapa suruh punya kelakuan ajaib!"
Viko mendekat. Merangkul bahu Relly. "Biarin, elah. Namanya juga mau ketemu pujaan hati, harus semangat dong. Iya, nggak, Cas?" katanya sambil menaik turunkan alis menggoda Cassie.
Cassie salah tingkah. Daripada itu, dia mengalihkan pandangan ke arah lain seraya berdeham. Membuatnya terlihat jelas bahwa dia sedang salah tingkah.
Tetapi Cassie tak menyadarinya. Ketika Viko berucap begitu, suasana berubah hening dan canggung. Hanya suara orang-orang disekitar mereka yang terdengar. Tidak ada yang membuka suara lagi hingga pengumuman bahwa pesawat tujuan Inggris-Indonesia sebentar lagi landing. Semuanya semakin tegang, dan itu membuat Cassie mengernyit tidak mengerti.
"Bentar. Aku mau ke toilet dulu," ujar Cassie ketika merasakan kantung kemihnya tiba-tiba ingin mengeluarkan cairan. Semua orang mengangguk. Setelah Cassie pergi, secara spontan, kedua orang tua Arion, Relly, dan Viko menghembuskan napas lega bersamaan.
"Gimana kalau Cassie liat?" tanya Relly khawatir. Dia sangat takut, tetapi melihat tidak ada tanda-tanda yang akan menjawab pertanyaannya, Relly memilih menunduk menatap lantai lalu menghela napas berat.
*******
Cassie selesai dengan urusannya beberapa menit kemudian. Dia keluar dari bilik toilet, bercermin memperbaiki penampilan sebentar dikaca wastafel. Setelah merasa cukup puas, Cassie tersenyum dan melangkah keluar toilet.
Dia berjalan menuju tempat keempat orang tadi. Melihat mereka sekarang bertambah jumlah, Cassie tersenyum cerah. Dia mempercepat langkah. Sampai pada saat dia sudah berada dibelakang punggung seorang laki-laki yang sangat ia kenali–walaupun sekarang bertambah kekar daripada terakhir kali mereka bertemu–Cassie memberhentikan kakinya.
"Cassie gak ikut 'kan, Ma?"
Cassie mengernyit mendengar namanya disebut oleh lelaki itu. Bukan karena nama, melainkan karena nada bertanya dan mengisyaratkan harapan yang membuat Cassie heran. Kenapa seolah-olah dia tidak mau bertemu dengan Cassie?
Cassie mengangkat bahu. Entahlah.
Melihat tidak ada yang menjawab pertanyaan laki-laki itu, dan wajah keempat orang yang sebelumnya bertemu dengan Cassie tengah tegang pucat. Cassie mengajukan diri untuk menyahut,
"Hai, aku disini."
Semua orang menoleh ke arahnya. Laki-laki yang sebelumnya membelakangi Cassie sudah membalikkan badan. Membuatnya berhadapan dengan Cassie langsung sekarang.
"C-cassie?"
Cassie tersenyum mendengar nada tak percaya dari laki-laki itu. Rasanya dirinya sangat merindukan suara itu memanggil namanya hingga kupu-kupu seperti berterbangan didalam perutnya.
Cassie perlahan memajukan langkahnya. Melingkarkan lengannya di perut Arion ketika sudah berjarak 5 cm lagi dari tubuh laki-laki itu. Menenggelamkan telinganya didada Arion, dan mendengarkan ritme detak jantung laki-laki itu yang berdegup kencang.
"C-cassie?"
"Kangen." Bisa Cassie rasakan tubuh Arion yang menegang dalam dekapannya. Dia tidak peduli. Maka dari itu, Cassie memejamkan mata. Menikmati sendirian perasaan rindunya yang perlahan menguap hingga menciptakan kaca-kaca bening di matanya.
"Kenapa gak pernah ngabarin, sih?" tanyanya pelan.
Mengingat setelah ulang tahunnya yang ke-23, Arion benar-benar tidak menghubunginya sama sekali–tepat seperti yang dikatakan Relly–dan itu membuat Cassie benar-benar khawatir sekaligus sedih.
"Bahkan gak ngasih tahu kalau kamu studinya 2 tahun penuh."
Benar. Arion mengatakan dia studi hanya 18 bulan–tidak sampai dua tahun–tetapi laki-laki itu pulang setelah dua tahun full di London. Cassie ingin menangis saja mengingat dirinya sekarang dibohongi oleh laki-laki yang paling ia percayai setelah Papanya.
Karena Arion tidak kunjung membalas pelukannya, jadi Cassie melanjutkan,
"Aku khawatir, tahu."
"Ehem, hai. Maaf, kamu siapa, ya? Kenapa peluk Arion?"
Cassie mendengar suara seorang perempuan. Refleks dia mengalihkan pandangan ke arah wanita yang sedari tadi berdiri disamping Arion. Mengernyitkan dahi menatap wanita yang ia perkirakan umurnya lebih tua dari dirinya satu tahun itu.
"Kamu siapa?" tanya Cassie balik tanpa melepaskan tangannya yang melingkar dipinggang Arion.
"Ehem." Wanita muda itu memperbaiki posisinya yang semula berdiri membelakangi Cassie–karena dia sedang memegang kereta bayi dibelakangnya–menghadap ke arah Cassie setelah kereta bayi tadi diambil alih oleh Rani–Mama Arion.
"Kenalin, aku Brenda Greyn. Calon istrinya Arion," katanya sambil mengulurkan tangan untuk mengajak Cassie bersalaman.
Dan detik itu juga Cassie merasakan dunianya runtuh. Hancur berkeping-keping menjadi abu. Seolah penantiannya selama ini hanyalah rindu tak kunjung temu. Seolah harapannya selama ini memang tidak akan pernah jadi kenyataan.
Tanpa sadar, pelukannya pada tubuh Arion mengendur. Perlahan tapi pasti, Cassie melepaskan tangannya yang melingkar dipinggang Arion. Berjalan mundur dengan wajah pucat pasi serta napas tercekat tidak berarti.
Dia menatap Arion dengan pandangan nanar. Melihat Arion yang terdiam serta keempat orang dibelakang laki-laki itu yang berwajah tegang, Cassie tahu bahwa disini hanya dirinya saja yang tidak tahu apa-apa. Seperti orang bego. Cassie mengerjap-erjap mengusir buraman air dimatanya.
Dia menatap wanita yang masih mengulurkan tangan disamping Arion. Menatapnya dengan datar, lalu bertanya dengan pertanyaan paling bodoh yang ada di pikirannya. "M-maksudnya?"
"Aku Brenda Greyn, calon istrinya Arion. Tiga hari lagi kami melangsungkan pernikahan. Jangan lupa datang, ya."
Dengan polosnya wanita itu mengeluarkan undangan dari dalam tas tangannya. Menyodorkan benda tipis berbungkus kertas bening itu kepada Cassie yang menatapnya dengan pandangan luar biasa nanar.
"A-apa?" Cassie kehilangan kata-kata. Bahkan saat seorang perempuan berlari ke arah mereka sambil berteriak pun Cassie tidak menoleh.
Dia terlalu larut dalam kekecewaannya hingga perempuan yang baru saja berlari itu berhenti disebelahnya dan berkata dengan nada terkejut, "Cassie?!"
Cassie menoleh. Mendapati Hilla yang menatapnya dengan kedua bola mata yang membelalak lebar, Cassie terdiam.
"Kakak udah lama sampe?" tanya Hilla kepada Brenda saat suasana hening canggung yang tidak mengenakan terjadi.
"J-jadi, dia kakak lo?" Pertanyaan tiba-tiba dari Cassie itu membuat semua atensi beralih kepadanya kembali. Semua orang jelas melihat tatapan nanar, luka, bercampur kecewa dalam mata wanita muda itu. Dan Cassie tidak berusaha menyembunyikannya karena dia benar-benar butuh jawaban.
"I-iya," jawab Hilla pelan.
Cassie perlahan kembali melangkah mundur. Tatapannya membuat Relly memejamkan mata karena tidak tega melihat sahabatnya yang terluka itu. Tapi dia tidak bisa melakukan apapun, karena sejak awal memang Cassie yang tidak bisa menerima kenyataan–membuat semua orang mati-matian menghindari topik mengenai Arion di depannya.
"Kalian semua udah tau tapi nggak ngasih tau aku? Sama sekali?"
Pertanyaan Cassie mengalihkan Relly dari lamunannya. Relly melangkah perlahan mendekati sahabatnya itu.
"Kita udah mau kasih tau dari awal, Cas. Tapi lo kayak nggak terima, yaudah kita sembunyiin aja," katanya sambil berusaha membujuk Cassie yang terus melangkah mundur.
Cassie menggeleng tidak habis pikir. Air matanya sudah mengalir entah sejak kapan dirinya tidak tahu. Dia menundukkan kepala, mencoba untuk tidak membuat semua orang tahu bahwa dia sedang menahan isakan.
"K-kalian udah tau dari awal, kan? Kenapa gak ada y-yang coba buat ngasih tau? K-kenapa ... k-kenapa?" Cassie tidak melanjutkan perkataannya karena bibirnya sudah tidak tahan untuk mengeluarkan isakan.
Bahunya bergetar. Kepalanya yang masih menunduk tampak terguncang. Dia terisak di tempatnya. Membuat Arion mengepalkan tangan karena tidak bisa melihat Cassie menangis, apalagi penyebabnya adalah dirinya sendiri.
Arion membuka matanya setelah beberapa detik. Melangkah maju perlahan ke arah Cassie, lalu menarik wanita yang masih berstatus sebagai kekasihnya itu ke dalam dekapannya. Arion meletakkan dagu diatas kepala Cassie sambil mengusap rambut wanita itu lembut. Menatap lurus dengan pandangan penuh rasa bersalah.
"Maaf," lirihnya pelan.
"Maafin aku, Cas."
Tangis Cassie semakin keras. Dia memejamkan mata didalam pelukan Arion. Mendapati Arion yang meminta maaf, Cassie menyimpulkan bahwa semua yang dikatakan oleh wanita yang bernama Brenda Greyn itu benar adanya. Arion mengkhianatinya.
"K-kenapa, Ar?" tanya Cassie disela-sela tangisnya.
Arion menggeleng. "Maaf."
Cassie tidak menjawab. Memilih untuk terus menangis seraya memikirkan semua kejadian-kejadian 17 bulan belakangan ini.
Semuanya terasa benar sekarang. Orang tuanya yang selalu ngotot mengenalkannya kepada para laki-laki anak kolega bisnis mereka. Orang tua Arion yang selalu menanyakan apakah dirinya masih mau menunggu kepulangan Arion dengan pandangan bersalah yang kentara. Relly yang selalu memaksanya mencari laki-laki lain dan melupakan Arion. Serta Viko yang selalu terdiam ketika tidak sengaja membahas Arion dengannya.
Semuanya terasa benar. Mereka mengetahui semuanya. Tetapi tidak memberitahu Cassie karena alasan yang tidak Cassie ketahui. Mereka membiarkan Cassie hidup dalam harapannya sendiri. Membiarkan Cassie seperti orang bodoh.
Semua kebingungan Cassie selama ini terjawab. Menyisakan rasa kecewa yang tidak tahu kapan akan Cassie ajak berdamai.
Cassie melepaskan pelukan Arion ditubuhnya secara paksa, membuat Arion tersentak karena tidak siap. Wanita itu memutar tumit, berbalik badan, lantas berlari keluar Bandara dengan tangan yang berusaha menghapus air mata.
Cassie meraba tas tangannya. Mengambil handphone, kemudian mendial nomor seseorang secara asal.
Cassie tidak tahu ini kebetulan yang menguntungkan atau menyialkan. Maka saat panggilan tersambung, dan Cassie terisak. Suara Reinhard yang terdengar khawatir membuat langkah Cassie berhenti dan tangisannya mengeras.
"Kak Rein, bisa ke sini sekarang?"
~~~TBC~~~
NA: Pada awal cerita, Cassie berumur 22 tahun. Lalu 5 bulan kemudian dia berpindah menjadi 23 tahun. Aku nulis narasi dengan kata 'gadis' karena menurutku lebih enak begitu kalau umurnya masih agak muda dan labil.
Setelah 17 bulan kemudian-part ini-umurnya sudah 24 tahun 5 bulan. Udah dewasa dan berpikiran matang. Ini menurutku ya. Pendapat orang itu beda-beda. Aku nulis gadis itu karena terbiasa, dia juga masih gadis. Karna, well, kalau aku langsung nulis wanita, berasa gimana gitu. Berasa dia udah punya keluarga, padahal wanita itu luas artinya. Ya, kembali, pandangan orang itu beda-beda. So, apakah masih bingung?
Aku nulis disini karena gak muat di-NA, hehe.
Jangan lupa tinggalkan jejak yaa. Tambahkan ke Pustaka, dan kasih love. Terimakasih telah membaca!❣
-Bee.