Jadi, disinilah Cassie berada. Taman dekat Bandara. Dengan Reinhard yang duduk di sebelahnya.
Tadi, setelah menelepon Reinhard seperti orang yang kehilangan Ibu dipasar. Cassie segera mengaktifkan GPS-nya supaya Reinhard tahu dirinya dimana. 35 menit kemudian, Reinhard datang dengan sumpah serapahnya setelah melihat Cassie yang duduk dikursi taman baik-baik saja. Hanya tatapannya yang terlihat kosong dan hampa.
Cassie memang tidak menangis lagi. Tetapi jiwanya sedang tidak dalam raga karena terlalu terkejut hingga tidak tahu tujuan hidup selanjutnya. Dia baru menoleh ketika mendengar Reinhard yang menarik napas kelewatan keras disamping telinganya.
Cassie mengangkat alis menatap laki-laki itu.
"Kenapa?" tanyanya dengan suara serak khas orang habis menangis.
Reinhard menatap wanita itu kesal. "Kenapa, kenapa. Gue langsung terbang ke Jakarta sewaktu lo telepon sambil nangis-nangis. Gue kira ada apaan, eh taunya." Dia menggelengkan kepala. Lalu menarik napas keras dan memandang ke depan dengan kesal. "Cuma patah hati doang. Gue ingetin, ya. Setelah ini, lo jangan bunuh diri dengan terjun dari gedung perusahaan bokap lo. Gue tau lo depresi, tapi jangan lakuin hal yang ngerugiin diri sendiri."
Reinhard terus mengoceh tentang seseorang yang bunuh diri karena patah hati. Cassie memilih mengabaikannya. Dia kembali menatap kosong ke arah depan. Memikirkan apa yang harus dia lakukan setelah ini. Bagaimana caranya bersikap didepan Arion nanti. Apakah Cassie harus menamparnya habis-habisan, atau bersikap bodo amat sambil berkata acuh tak acuh.
Pikiran Cassie berkecamuk.
"Kak," panggilnya pelan, membuat Reinhard yang sedang mengoceh terdiam, lalu menoleh ke arahnya dengan bingung.
"Kakak udah tau semuanya, kan?" lanjutnya bertanya. Cassie tahu, tanpa harus menjelaskan apa yang dimaksud dengan pertanyaannya itu, Reinhard sudah tahu arah pembicaraan mereka akan kemana.
Reinhard menghela, dan Cassie tahu apa jawabannya.
"Kenapa gak ada yang ngasih tau semuanya sama Cassie?" Cassie menoleh pada lelaki itu. Menatapnya dengan pandangan kecewa.
"Kenapa kalian nyembunyiin hal sepenting ini sama Cassie? Dan biarin Cassie kayak orang bodoh yang nggak tau apa-apa? Kenapa, Kak?"
Reinhard tidak menjawab. Membiarkan Cassie meluapkan semua yang ada dipikirannya saat ini.
"Bahkan tiga hari lagi mereka nikah? What? Lelucon macam apa itu? Cassie yang pacaran sama Arion hampir 7 tahun aja belum pernah ngomong lamaran. Sedangkan dia? Damn!"
Cassie mengusap wajah frustasi. Matanya kembali berkaca-kaca mengingat undangan yang dikeluarkan wanita tadi dari dalam tasnya. Seolah mereka sudah menyiapkan ini dari lama. Seolah hari pernikahannya dengan Arion sudah mereka bicarakan dari satu tahun yang lalu dan mereka sudah menyiapkan semuanya setelah mereka pulang kembali ke tanah air.
Cassie mendengus kasar. "Namanya Brenda Greyn, ya? Brenda Greyn. Greyn, seorang Greyn. Kakak perempuan Hilla yang selalu Hilla ceritain kalau dia masuk perguruan tinggi di London karena dapet beasiswa sewaktu lulus SMA."
Cassie mengangguk-anggukkan kepala. "Bagus, gue ngerasa dikhianati sama semua orang sekarang."
"Cas ...." Reinhard menoleh seraya memberikan Cassie tatapan teguran.
Cassie membalasnya dengan helaan napas kasar. "Maksud gue, why? Kenapa harus kakaknya Hilla, Kak? Kenapa bukan orang lain? Hilla itu temen gue, sial. Gue nggak tahu harus bersikap kayak gimana sama dia nanti," kata Cassie sambil menundukkan kepala.
Reinhard menghela napas maklum melihatnya. Tangan laki-laki itu terangkat. Mengusap punggung tangan Cassie menenangkan, lalu berkata, "Bersikap sewajarnya aja sama Hilla. Jangan ngehindar, apalagi lari. Itu nggak akan nyelesain masalah. Coba ngomong baik-baik, sama Arion, Brenda, Relly dan semua orang. Siapa tau itu bisa bikin lo ngerasa lebih baik."
Cassie melihat tangan Reinhard yang mengusap punggung tangannya ringan. Dia menghela napas berat, lalu memejamkan mata. "Andai semudah itu, Kak. Andai rasanya nggak sesakit itu ngelihat Arion sama perempuan lain. Andai nggak sekecewa itu lihat semua orang yang nyembunyiin ini dari gue. Andai gue nggak sebodoh itu buat peka sama sikap-sikap orang disekitar gue," katanya pelan.
Reinhard tersenyum kecil. "Ya, andai semudah itu, Cas," lirihnya yang tidak terdengar oleh Cassie.
Laki-laki itu merapikan rambut Cassie yang berantakan. Mengelusnya pelan layaknya seorang kakak laki-laki yang menenangkan Adiknya, membuat Cassie membuka mata dengan helaan napas karena perasaan nyeri yang tiba-tiba menyerang tanpa sebab.
"Berarti sama gue kecewa juga, dong? Kan gue ikut nyembunyiin ini dari lo?" tanya Reinhard.
Cassie mendongak ke arahnya. Menatap lelaki yang berstatus temannya itu dengan pandangan lesu. Cassie menyandarkan kepalanya dibahu Reinhard. "Nggak tau."
"Coba tanya alasan kenapa mereka nyembunyiin semuanya dari lo. Ngomong dengan kepala dingin. Nanti gue temenin."
Cassie terdiam. Tidak membalas perkataan Reinhard. Memilih memejamkan mata untuk menenangkan pikiran dengan kepala yang masih bersandar di pundak laki-laki disebelahnya. Dia bergumam pelan, "Makasih."
*****
Nyatanya tidak semudah itu. Berulang kali Reinhard maupun Relly membujuk Cassie, namun Cassie tetap mengurung dirinya di dalam kamar. Tidak keluar sama sekali–karena makanannya selalu diantar oleh Hera ke kamar walaupun diletakkan di depan pintu–setidaknya Hera bersyukur Cassie tidak mogok makan karena saat dia mengambil piring di depan pintu kamar putrinya, piring itu telah kosong.
Seperti saat ini. Hera mengambil piring yang tergeletak kosong di depan pintu kamar Cassie, memanggil pekerja rumahnya dengan sedikit berteriak. Kemudian saat pelayan datang, Hera segera menyerahkan piring kosong di tangannya seraya berucap,
"Bawa ke dapur. Langsung dicuci, ya."
"Baik, Bu."
Setelah pelayan itu menghilang dibalik pintu dapur, Hera kembali menatap pintu coklat gelap di hadapannya. Mengetuk tiga kali, berharap seseorang yang berada di dalam sana menunjukkan diri walau hanya semenit.
"Cassie?" panggil Hera kembali mengetuk pintu setelah hening beberapa detik.
Tidak ada yang menjawabnya.
Hera menghela napas.
"Cassie? Kamu ada didalam, kan? Keluar, Nak. Jangan mengurung diri terus. Masalah nggak akan selesai dengan kamu nangis, oke?" dia kembali mengetuk pintu.
"Udah tiga hari, lho. Kamu nggak suntuk di kamar terus?" Hera kembali menghela napas berat. Tangannya terjatuh lunglai disisi tubuh. Tiga hari berlalu dan Cassie tidak pernah keluar dari kamar selama itu. Hera khawatir Cassie menyakiti dirinya sendiri.
Akan tetapi, Hera lebih khawatir kalau tiba-tiba Cassie mau datang ke acara itu. Dirinya tidak mau Cassie sakit hati melihat Arion dengan perempuan lain.
Hera baru akan membalikkan badannya dan pergi dari depan kamar Cassie kalau saja pintu kamar itu tidak berderit dan terbuka. Sosok Cassie berdiri di tengah daun pintu. Dengan dress berwarna putih gading selutut yang memamerkan pundak mulusnya, bagian dada yang berbelahan sedikit rendah, kemudian kaki jenjangnya yang dibalut high heels tinggi.
Rambut panjangnya disanggul rapi ke belakang. Menyisakan helaian-helaian kecil yang jatuh disisi wajah. Menambah kesan menawan pada wajahnya yang dihias dengan riasan tidak berlebihan namun terlihat sangat sempurna. Wanita itu terlihat elegan sekaligus memesona.
Hera mengerjap bingung. "Mau kemana?" tanyanya setelah sekian detik terdiam. Tercekat dengan Cassie yang berdandan sedemikian rupa hingga gadis kecilnya yang kemarin tampak seperti khayalan. Di depannya, hanya berdiri seorang wanita muda sempurna. Tidak ada gadis kecil yang melekat dalam dirinya, perempuan itu benar-benar terlihat dewasa dan angkuh. Walaupun sorot matanya menjelaskan bahwa ada keraguan disana.
"Resepsi," kata Cassie singkat. Mengecek arlojinya yang menunjukkan pukul 19.00. Cassie menatap Mamanya meminta izin. "Cassie pergi dulu, ya. Udah dijemput sama Kak Rein."
Lalu dia berlalu. Meninggalkan Hera yang kembali mengerjap bingung di tempatnya. Resepsi? Resepsi?
Hera mengernyitkan alis. Merasa ada yang tidak beres dengan putri tunggalnya itu. Pasalnya, tadi saat diajak ke acara akad tidak mau. Sekarang sudah rapi hendak ke resepsi. Hell! Apa dia bercanda?
Hera mendengus seraya menggelengkan kepala tidak habis pikir. Dia berlalu dari kamar Cassie setelah menutup pintu kamar putrinya itu karena Cassie tidak menutupnya saat dia pergi tadi. Hera hanya berharap, Cassie tidak pulang dalam keadaan menyedihkan karena menangis. Sungguh tidak elite kalau putrinya itu mengamuk di tempat resepsi berlangsung. Bisa-bisa Cassie menghancurkan citra keluarga Will. Benar-benar tidak elite sama sekali!