Pagi itu mendung seolah-olah tidak bisa ditampik untuk muncul dipermukaan langit. Warnanya kelam, hitam keabu-abuan yang begitu menyedihkan. Aroma hujan bekas semalam rasanya sudah seperti kafein yang harus dinikmati pagi-pagi sekali. Embun-embun terlihat bermunculan di pucuk tumbuhan, berkilau bak mata hazelnya yang teduh.
Usai Kiya keluar dari mobil, dia menadah pada kungkungan langit yang benar-benar murung. Lalu tangannya terangkat untuk memeluk angin yang berhembus sarka dari selatan. Diantar ke kampus dengan laki-laki itu memang bukanlah suatu keberuntungan untuk di syukuri Kiya. Sepanjang jalan, Bima tak hentinya menggoda, tentang dirinya, tentang hubungannya bersama Raka, atau tentang apapun yang menyangkut dirinya.
Mobil hitam itu berjalan menjauh dari gedung kampusnya. Meninggalkan Kiya di sana sendiri. Gadis itu ,menghela napas pelan sebelum tatapanya beralih ke arah laki-laki yang berlari di koridor kampus, melangkah ke arahnya.