Chereads / Dekat Tak Tergenggam / Chapter 33 - Penyebab Masalah

Chapter 33 - Penyebab Masalah

"Peluk dong! Dingin nih, kan jaketnya dipakai kamu."

"Nggak ah!"

"Sukanya dipaksa - paksa ya?"

Setelah mengatakan itu Raka mendadak menarik rem motornya, membuat tubuh Kiya lagi-lagi merapat ke belakang punggungnya serta jemarinya erat mencengkram kemeja cowok itu. Spontan Kiya berteriak menyumpah - serapahi dirinya. Raka tertawa dengan geli walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa telinganya kini berdengung karena suara Kiya yang berisik. Tapi dia lebih menyukai Kiya yang banyak berceloteh dari pada hanya diam tanpa suara lalu menangis seperti tadi. Karena hanya ini yang bisa Raka lakukan, membuat gadisnya tertawa.

"Lo itu bisa kena pasal 335 KUHP atas perbuatan tidak menyenangkan, tau?"

"Sekarang jadi anak hukum ya?"

"Ih, serius!"

"Nggak mau ah. Maunya diseriusin."

"Bodo amat! Ngeselin," teriak Kiya.

Raka malah tertawa sembari memperhatikan Kiya yang berucap begitu banyak umpatan kasar. Sesekali Raka menimpali tetapi justru mendapat semakin banyak amukan, walaupun sebenarnya dibalik punggung lelaki itu, Kiya terkekeh pelan. Raka senang jika Kiya menjadikan dirinya alasan untuk tertawa.

Entah kenapa Kiya bisa tertawa lepas bersama seseorang yang dia anggap menyebalkan.

Saat Raka tadi menyampirkan jaketnya untuk memberi kehangatan ditubuh Kiya, biasanya Kiya akan merespons dengan, "Modus ya lo, cari mati!" Tetapi kali ini reaksinya berbeda. Tubuhnya seakan membeku seperti arca, bahkan ketika Raka menepuk puncak kepalanya dan bilang, "Pulangnya nanti aja ya, masih rindu." Sebuah keajaiban dunia kedelapan karena Kiya menurut. Kiya menyembunyikan rona merah yang menyebul di wajahnya. Tanpa sepenglihatan Raka, senyumnya kembali muncul, lebih merekah dari sebelumnya. Seorang Akhiya Nabila tersenyum bahagia karena Raka, lelaki yang paling dia hindari untuk jatuh cinta.

*****

Raka masih tersenyum diatas motornya setelah mengantar Kiya pulang kerumahnya. Bagaimana bisa Raka merasakan kebahagiaan seperti ini lagi. Didekati banyak wanita tapi tidak ada yang bisa membuatnya mengartikan kata bahagia. Hanya dengan melihatnya saja, cowok itu sudah sangat gembira.

Tidak sadar, Raka sudah memasuki perkarangan rumahnya, memarkirkan motornya disana. Matanya mengernyit ketika pintu rumah utama terbuka lebar. Dia segera berlari memasuki rumahnya.

Matanya terbelalak sempurna melihat Ayahnya yang sudah tergeletak dilantai rumah. Pembantu dirumahnya pasti sudah pulang karena hari menjelang malam. Pikirannya panik tidak karuan, dia menghampiri Ayahnya dengan tergesa.

Kepala Rafael di bawa ke atas pangkuan Raka dan memanggilnya, "Ayah,"

Rafael tidak bergeming. Wajahnya sudah pucat. Tanpa berfikir panjang, Raka langsung membawa Ayahnya ke rumah sakit menggunakan mobil yang terparkir di basement.

Sembari mengemudi, Raka masih berusaha untuk menghubungi Kakaknya, Tara. Namun, lelaki itu tidak menjawab semua panggilan Raka yang sudah berulang kali mencoba menelpon. Raka membanting ponselnya ke jok belakang, merasa kesal karena Tara tidak kunjung mengangkat telpon padahal nada tersambung.

Dengan perasaan yang begitu kalut, Raka mengemudikan mobilnya hingga sampai di rumah sakit. Dia memanggil beberapa perawat lalu membantu membawa Ayahnya dengan brangkar memasuki ruang IGD. Tangan ayahnya digenggam dengan erat, berharap sadar. Karena, hanya Rafael harapan Raka satu-satunya. Dia tidak ingin kehilangan orang tersayangnya untuk kedua kali.

Di pintu ruang IGD, tubuh Raka di tahan oleh dua orang perawat, menyuruhnya untuk menunggu di luar ruangan karena dokter sedang melakukan tindakan darurat untuk Ayahnya. Raka mengusap wajahnya gusar, tidak dipungkiri air matanya kini menetes. Dia mengangguki perintah dari perawat walaupun hatinya meronta.

"Kemana sih lo!!" Raka bermonolog. Kesal dengan kakaknya beserta dirinya sendiri.

Sedangkan di dalam mobil, ponsel Raka berdering, menampilkan nama Tara dilayar. Raka begitu panik hingga melupakan ponselnya tertinggal didalam mobil.

Notifikasi pesan dari aplikasi chatting muncul. Menampilkan nama "Bidadariku" dilayar ponselnya.

[Lo udah sampai rumah? Selamat dijalan kan? Nggak mati dijalan?]

Seharusnya pesan itu membuat Raka berjingkrak kegirangan. Tapi, tidak untuk saat ini. Badannya lemas seakan pikiran negatif mendominasi otaknya. Raka sangat membutuhkan dukungan saat ini, tapi terlalu naif memahami dirinya sendiri.

****

Ditempat yang berbeda, Kiya menunggu balasan dari lelaki yang tadi membuatnya melupakan sedikit masalah.

Sudah setengah jam Raka tidak kunjung membalas chatnya. Biasanya lelaki itu sangat agresif untuk membalas.

"Lagian ngapain sih gue chat segala." Kiya menggerutu kesal sendiri.

Dia membaringkan tubuhnya ke kasur dengan ponsel yang masih setia berada didalam genggaman. Sekarang Kiya kembali menaruh harap, mencoba mengubur segala masa lalu dan menggantikannya dengan masa depan. Dia berharap keputusannya kali ini tidak salah lagi.

Kiya terlelap karena lelah menunggu kabar dari Raka. Dia tidak tahu bahwa Raka sedang dalam situasi sulit. Suara notifikasi terdengar namun Kiya melepaskan genggamannya dari ponsel. Mengubah posisi tidurnya, kembali nyenyak dalam mimpi.

[Kiya, mau peyuuuukkkkkk]

Balasan yang ditunggu gadis itu sekarang sudah tertera dilayar ponsel dengan case berwarna kuningnya. Namun, Kiya malah tertidur nyaman dengan mimpi indah di dalamnya.

*****

Suara dentuman musik menghiasi klub malam dan banyak orang menari mengikuti iringan lagu. Di bar terlihat Tara yang sedang menenggak minuman yang dituang oleh wanita disebelahnya. beberapa kali tanpa jeda, Tara meminum alkohol. Pikiran dan hatinya sedang tidak baik-baik saja.

"udah ya"

"One more, please." ujarnya setengah sadar.

Sudah kesekian tenggakan seakan tidak mampu membuatnya melupakan masalah yang sudah terjadi. Sekelibat memori terngiang saat sore tadi dia kembali ke rumah ayahnya. Entah mengapa bisa dia sejahat itu. Semuanya membuat dia tidak tahan untuk menutupinya lagi. Tara dengan lantang berucap tentang masa lalunya, dia ingin Ayahnya menyadari semua kesalahan hingga mmebuat Bundanya pergi meninggalkan dunia.

Saat rumah Ayahnya sepi. Tara berteriak dengan keras, "Aku nggak mau jadi bajingan seperti Ayah," katanya. Tara semakin benci jika harus melihat ekspresi wajah Ayahnya yang tanpa ada perasaan bersalah. "Aku nggak akan tega menyakiti kekasih hati aku, apalagi sampai menyebabkan dia meninggal, jangan pikir aku nggak tau semuanya. tentang sore itu, wanita itu dan kematian bunda, aku mengingatnya dengan jelas."

Tanpa bisa banyak berucap lagi, Tara melenggang pergi meninggalkan rumah dan Ayahnya yang syok. ini hanyalah permulaan awal. Tara akan membongkar segala kebohongan selama ini yang selalu dia tutupi.

Tara sadar akan perasaan Ayahnya yang terluka. namun, bukankah segala kebenaran harus diungkapkan walaupun akan menyakitkan?

Tara berusaha bangun dari duduknya. Namun, karena terlalu banyak meminum alkohol, dia hampir tersungkur ke lantai. Beruntungnya dia karena ada wanita yang berada duduk di sebelahnya membantu Tara berdiri dan membopong lelaki itu keluar dari klub.

"Mobilnya yang mana?" Wanita itu bertanya sembari kelimpungan karena harus menopang berat badan Tara yang sedang setengah sadar.

Tara mengangkat tangannya dan menunjuk mobil berwarna hitam. "Itu," ujarnya. "Eh bukan, bukan! Yang itu." Dia kembali menunjuk mobil yang berwarna putih di sebelahnya.

"Yang mana yang benar?"

Tara menyipitkan matanya untuk fokus, "Mobilnya suruh diem bisa nggak? Jangan pindah-pindah gitu."

Wanita itu melotot tidak percaya, sudah keberatan ditambah acara ngelawak dulu si Tara ini. Dia membopong tubuh lelaki itu dan mendudukannya pada kursi di sekitar klub. Napasnya tersenggal tidak beraturan membuat pundaknya naik turun, dia bingung apa yang harus dilakukannya lagi.

Seorang wanita berkaki jenjang dengan dress berwarna merah tiba-tiba datang menghampiri. "Biar saya yang anter pulang," katanya.

"Mbak kenal?"

"Iya,"

Wanita klub tersebut akhirnya mengangguk dan melenggang pergi walaupun dia sendiri sedikit bingung karena ada Wanita cantik yang rela mengantar pria sedang mabuk pulang hingga sampai ke rumah.

Setelah wanita klub itu menghilang dari pandangannya, dia berkacak pinggang menatap Tara yang sedang tertidur pulas di kursi taman. "Kamu belum ada berubahnya, Ta,"