****
Lelaki itu membuka helmetnya, menampilkan sesosok wajah yang sudah lama tidak dilihatnya. Kiya terdiam, memperhatikan dengan seksama wajah itu. Bulu halus yang tumbuh di sekitar wajahnya membuat lelaki itu tampak lebih dewasa dari kali terakhir Kiya melihatnya.
"Kak Reyhan?"
Reyhan tertawa geli ketika melihat perubahan dari wajah Kiya. Namun, Kiya justru memukul pundaknya dengan keras.
"Bikin kaget aja!" Ujar Kiya galak.
"Kaget atau takut?"
"Kagetlah ngapain takut."
Reyhan semakin menggodanya. "Lo itu kan penakut banget."
"Itu kan dulu." Kiya memprotes sambil mencebikkan bibirnya.
"Ngapain malem-malem jalan sendirian? Nanti diculik loh sama Wewe Gombel."
Kiya tertawa, "Emangnya gue anak kecil?"
"Oh lo udah besar ya sekarang? Tapi kok tingginya nggak berkembang?"
"Emangnya taman? berkembang." Kiya berdecak sambil berkacak pinggang.
"Lagian kalau masih kecil kan diculik Wewe Gombel. Kalau udah besar diculik Om-om. Hayo pilih mana?"
Kiya membelalakan matanya tidak percaya. "Nggak keduanya!"
Reyhan mengacak-acak puncak rambut Kiya, Kiya malah menepisnya dengan galak.
"Ih berantakan."
"Galak banget sih sekarang."
"Nggak apa-apa yang penting masih cantik."
Reyhan tersenyum tipis mendengarnya. "Ayo gua anterin balik. Sekalian mau nyamper Bima." Dia kembali menghampiri motornya.
"Ciye kangen."
"Jijik banget."
Rayhan sudah berada di atas jok motornya, menggunakan helmetnya kembali. Kiya menyusul duduk di jok belakang. Reyhan mulai melajukan motornya menuju ke rumah Kiya yang jaraknya begitu dekat.
Reyhan adalah sahabat masa kecil Bima. Sifatnya sebelas-dua belas dengan Bima. Mereka selalu jail kepada Kiya sedari dulu. Pertemanan mereka benar-benar konyol karena sifat keduanya yang sama. Sama-sama gila. Tapi saat Reyhan lulus SMA, mereka berpisah karena Reyhan pindah rumah ke Bandung, Ayahnya di pindahkan tugas kesana. Dengan begitu Bima dan Reyhan masih bersahabat dengan baik. Bima juga sering berkunjung ke Bandung, karena sekarang sudah ada Jalan Tol, jadi Bima hanya menghabiskan waktu tiga jam diperjalanan. Kiya menyebutnya sahabatan jarak jauh, seperti hubungan saja.
Tidak butuh waktu lama mereka sampai di perkarangan rumah. Kiya melihat Bima yang sedang duduk di kursi teras rumahnya, ditemani oleh cemilan buatan Mamahnya.
Mata Bima terfokus pada ponsel digenggamannya.
"Eh buset gue kalah." Bima memelas menatap layar ponselnya.
Kiya dan Reyhan berjalan menghampiri Bima yang masih tidak menggubris kedatangannya.
Ekhem, Kiya berdehem.
Bima terlonjak kaget melihat dua orang berdiri dihadapannya sembari menatapnya. Sedetik kemudian Bima langsung menghambur ke dalam pelukan Reyhan. "Ternyata lo masih hidup, bro."
Reyhan dengan senang hati membalas rengkuhan Bima. "Kalo gue mati nanti lo nggak punya temen yang famous lagi kaya gue, kasian," ucapnya seraya bersedih.
Kiya bergidik geli melihat tingkah laku keduanya. "Gelay." Dia kembali melangkah masuk ke dalam rumah meninggalkan Reyhan dan Bima yang terhanyut pada suasana.
Langkah kakinya mengarah ke dapur, mengambil piring dan sendok, Dia tidak sabar untuk menyantap nasi goreng yang baru saja dibeli.
"Mau makan dimana, de?" suara Amelia terdengar ketika Kiya melewati meja makan.
"Ruang tengah, mah. Sekalian nonton drakor."
"Badan kamu masih pada sakit?"
"Enggak, mah."
Amelia mengangguk, melanjutkan kegiatannya seperti biasa membantu mengurus dokumen pekerjaan Adrian.
sekarang Bima dan Reyhan sedang berbincang di ruang tengah. Tanpa memikirkan mereka, Kiya mulai menyalakan televisi, menampilkan drama favorit yang sudah menayangkan episode terbaru.
Kiya terfokus kepada layar televisi. Dia sama sekali tidak menggubris Bima yang tidak berhenti mengolok-olokan dirinya karena menonton drama Korea yang menampilkan wajah pria-pria tampan. Menurutnya Bima hanya sirik karena wajahnya tida setampan mereka.
Sambil menyuapkan nasi goreng ke mulut, Kiya menatap haru. Hatinya terenyuh ketika melihat dua orang yang saling mencinta harus terpisah karena sekutu dari masing-masing Negara. Hampir saja air matanya keluar dari kelopak mata, Bima sudah lebih dulu berceletuk.
"Woy ratu galau. Nonton drama gitu aja nangis."
"Apaan sih lo, nggak ada kerjaan ngurusin hidup orang."
Reyhan ikut menyahuti, "Gue kira ujungnya bakalan Happy Ending."
"Kaya ibu-ibu kompleks ya lo pada! Suka nyinyir sama ghibah." Kiya menyendokkan makanan terakhir ke mulutnya, setelah itu mematikan televisi dan beranjak dari duduknya. Meninggalkan Bima dan Reyhan yang sedang tertawa puas karena berhasil membuat gadis itu kesal.
Sambil berjalan, Kiya menghempakkan kakinya dengan keras. Perlakuannya justru semakin membuat dua sahabat itu semakin tergelak.
****
Raka menekan tombol yang berada di pintu, memasukkan beberapa kode hingga akhirnya pintu dapat terbuka. Dia memasuki kamar apartemen Tara. Dia tersentak karena Tara berada dihadapannya, ingin keluar. Mata Raka fokus kepada tas kecil berwarna kuning yang berada pada genggaman abangnya.
"Mau kemana lo?"
Tara mengangkat tas yang berada
digenggaman. "Balikin tas ini."
"Wait!" Raka merampas tas itu membuat Tara menaikan sebelah alisnya. "Ini tas pacar gue."
Tara tertawa, "Pacar?" tanyanya heran. Yang Tara tau, Raka adiknya adalah cowok yang memiliki banyak perempuan dan tidak membutuhkan sebuah status untuk mereka semua. Raka pernah mengatakan itu kepada Tara.
Raka menaikan sebelah alisnya, "Lagian emang lo tau rumahnya?"
"Di dalam tas itu ada identitas. Ribet banget deh lo," ujar Tara agak kesal. "Punya otak dipake, jangan digade."
Tara berbalik, mengurungkan niatnya. Dia menjatuhkan bokongnya disofa berwarna coklat yang empuk. "Gade ginjal aja, biar makin kaya." Tara kembali berceletuk.
Raka menghampiri Kakaknya, bergeleng sambil berdecak, "Lo punya masalah hidup apa sampai bahas-bahas ginjal?"
"Kok jadi gue?"
Raka menggedikkan bahu, "Siapa tau."
"Udah sana pergi, hussss." Tangan Tara terkibas diudara, mengusir adiknya.
Bukannya pergi, Raka malah duduk disebelahnya. "Gue mau makan dulu."
"Heh! Ini bukan rumah makan kali."
Raka tersenyum, "Jaman sekarang ada delivery. Pesen dong."
Tara membelalakan mata tidak percaya, "Nggak dikasih makan sama Ayah? AWW—"
Tara meringis memegang kakinya yang ditendang oleh Raka.
"Kelamaan di luar negeri sampai kehilangan hati lo? Balik aja sana! Nggak usah kesini lagi," ketus Raka.
Tangan Tara terlipat di depan dada, "Bukannya lo kangen sama gue?"
Raka bergidik geli, "Najis!" Refleks Raka tertawa mendengarnya, namun Raka kembali melanjutkan, "Kalau Ayah kangen banget sama lo."
Tara terkesiap mendengarnya. Dia tiba-tiba terdiam, berkelana memikirkan Ayahnya. Memikirkan segala rencana yang sudah disusunnya dengan sangat rapih, cepat atau lambat, Tara pasti akan mengunjungi Ayahnya, mungkin akan secepatnya.
"Gue mau tanya." Raka membuyarkan lamunan panjang Tara.
"Hm?"
"Kenapa pacar gue bisa ada di Apartement lo?" tanya Raka heran.
"Katanya pacar lo, tanyain sendiri dong. Masa nanya gue?"
"Ini kan Apartement lo. Lo harusnya jelasin dong, kalau kita salah paham dan akhirnya berantem gimana?"
"Hilih,"
"Serius gue, Bang," desak Raka.
"Nggak sengaja ketemu di depan panti di Bogor."
Raka menatap Tara dengan tatapan mengintimidasi.
"Dia lagi digangguin sama cowok, terus pingsan."
"Lo ke panti?"
"Baru niat."
"Terus?"
"Nabrak!"
Raka berdecak kesal, "Kenapa cewek gue kaya ketakutan gitu? Lo apain?
Tara tersentak. "Mana gue tau. Tersepona sama gue kali."
"Terpesona, bambang."
Setelah mendengar penjelasan Tara, Raka hanya mengangguk-angguk saja. Sedangkan Tara melirik Raka dengan sudut matanya, heran dengan adiknya. Sekarang Raka sudah tumbuh menjadi pria dewasa, mungkin dia juga akan mendengarkan semua keluh kesah dan kepenatan yang tertanam diotaknya selama ini, setelah Bundanya meninggal dunia.
"Yaudah gue mau cabut aja. Makan di luar."
"Gue mau pesan ini."
"Ngiming."
Raka beranjak meninggalkan Tara yang sedang tertawa. Digenggamannya ada tas Kiya, dia akan mengembalikannya namun tidak sekarang.
Di basemant Apartement, Raka merogoh kantong celana, mengambil kunci mobilnya. Dia menekan tombol lalu segera masuk ke dalam mobil, meletakkan tas Kiya di jok sebelahnya. Raka mengemudikan mobilnya meninggalkan gedung yang menjulang tinggi.
*****