Gurun Sahara, Afrika Utara.
Seorang pria berjalan tersendat-sendat di atas padang gurun ketika cuaca terik. Gurun sahara ketika siang hari cerah akan terasa seperti mesin panggang. Telur pun akan cepat matang jika dituang di atas pasirnya. Pria berumur sekitar dua puluh tahunan ini seharusnya tak akan mampu bertahan hidup lama. Apalagi dengan beberapa barang berat yang dibawanya. Lehernya berkalung radio, punggungnya menggendong ransel, serta kedua tangannya menggenggam menarik tali yang dikaitkan pada koper. Diselampirkannya tali itu pada bahu kanannya untuk menambah daya kekuatan. Koper berwarna hitam yang pada bagian rodanya telah patah, akibatnya bagian bawah koper langsung bergesekan dengan pasir yang justru menambah beban berat ketika ditarik.
Tak lama setelahnya, pria tersebut merasakan lelah yang luar biasa. Tubuhnya ambruk terlentang langsung menghadap langit. Pupil matanya setengah menutup menahan silaunya terik matahari yang amat membakar. Dia menenggak sebuah tumbler yang sebenarnya dia sudah tahu bahwa isinya tinggal dua tetes air. Siluet hitam dilangit yang terlihat seperti bayangan seekor Capung terbang melewati wajahnya. Si pria menggerakan tangannya untuk menggiring bayangan capung agar tidak sampai hinggap di wajahnya karena itu akan sangat mengganggunya. Namun, sia-sia saja usahanya untuk menggiring. Sebab, itu tak mempengaruhi apapun. Bayangan itu tetap ada. Tak lama suara mesin samar terdengar, sumbernya belum menentu. Bayangan capung itu pun jika diperhatikan seksama seperti memiliki baling-baling pada bagian punggungnya.
Radio yang menggantung pada lehernya tiba-tiba mengeluarkan bunyi-bunyi riuh tak beraturan. Sebuah kalimat muncul seperti diucapkan seorang pria, namun tidak jelas dan putus-putus. Dia pun memutar-mutar lingkaran penala pada radio untuk mencari-cari gelombang yang lebih jelas. Wajahnya sumringah ketika mendengar sebuah kalimat lebih jernih kini berbunyi dari radionya.
"...saya melihat sesuatu yang bergerak di bawah sana!"
Kalimat itu terdengar jelas di telinganya. Dia yakin itu adalah kenyataan, bukan fatamorgana. Meskipun kepala yang sepanjang hari terbakar sinar mentari telah membuat tingkat kesadarannya sedikit melemah. Namun, segala peluang untuk bertahan hidup masih harus dia usahakan bagaimanapun beratnya. Dia berdiri setelah mulai menyadari bahwa bayangan terbang yang dilihatnya bukanlah seekor capung, melainkan sebuah kendaraan udara bernama Helikopter. Tangan kanannya melambai ke udara.
"...ada seorang pria, lihat!"
"Kita tidak bisa mendarat di gurun pasir. Turunkan tali!"
"Pasang pengaman!"
"Hati-hati, Prajurit!"
Begitulah kalimat-kalimat yang berbunyi pada radionya. Suara itu diyakininya berasal dari dalam Helikopter yang saat ini sedang terbang mematung delapan meter di atas kepalanya. Seorang prajurit serbu berpakaian lengkap turun melalui tali.
"Take my hand, Sir!" ucap tentara itu mengulurkan tangan. Pria itu mendapati sebuah lambang yang tidak asing menempel pada lengan seragam tentara.
"Saya warga indonesia!" ucap si pria mengeraskan suaranya karena beradu dengan bisingnya mesin Helikopter. Diraihnya tangan si tentara. Sebelum dia dibawa naik, terlebih dahulu barang-barang bawaannya turut diikatkan tali. Segeralah dirinya dan barang bawaannya dibawa masuk ke dalam.
Helikopter pun meninggikan terbangnya dan melanjutkan jalan. Seorang tentara memberi si pria sebotol air putih. ditenggaknya minuman itu segera hingga tak menyisakan setetes pun.
"Siapa nama kamu?" tanya seorang tentara.
"Surya," jawab si pria.
"Kami akan sangat butuh cerita tentang bagaimana kamu bisa keluar dari sana."
"Saya akan ceritakan nanti, kalau rasa lapar saya sudah hilang."
"Baiklah, Surya, kamu akan aman di markas kami untuk sementara waktu sebelum nanti kami selamatkan beberapa temanmu yang lain di sana," jelas si tentara, kemudian dia memberikan sebungkus roti kemasan. "Makan ini, untuk ganjal perut sementara!"