Tripoli, Ibukota Libya.
Helikopter mendarat di atas sebuah gedung di tengah kota. Gedung itu seakan yang paling terlihat jika pemandangan kota dipotret dari kejauhan. Si pria dibawa masuk ke dalam ruangan gedung yang berisikan meja-meja kerja seperti halnya perkantoran. Yang membedakan adalah banyak sekali atribut-atribut kemiliteran di sana. Pada dindingnya berjajar foto-foto orang berseragam tentara. Bendera Indonesia dan Libya ditancapkan di tiap sudut ruangan. Terdapat sebuah lambang Perserikatan Bangsa-Bangsa yang tergambar di daun pintu yang hendak dia masuki.
"Kalian seharusnya membawa saya ke dapur!" ucap si Pria.
"Kalau lapar, makan di sini saja. Sudah kami sediakan!" Seorang wanita berseragam Tentara Nasional Indonesia membawa nampan berisi sepiring nasi goreng serta segelas penuh air jeruk. Dua tentara yang mengantar pria itu segera keluar ruangan meninggalkan mereka berdua. Pria itu dengan lahapnya langsung menyantap makanan. Tentu saja rasa lapar yang teramat sangat membuatnya mengindahkan rasa malu meski terlihat rakus di depan tentara wanita. Jelas wanita itu sangat memakluminya. Mereka saling berhadapan dibatasi sebuah meja.
"Bagaimana kabar di sana, Kolonel Lukman?" Tanya si wanita.
Pria yang ternyata bernama Lukman itu berhenti menyiduk nasi dari piringnya. Diletakannya sendok itu. Lukman menyandarkan sedikit badannya ke belakang sambil mengunyah makanan yang masih tersisa di mulutnya.
"Siapa yang memberi tahu kalian?" tanya Lukman setelah menelan makanan terakhirnya. Wanita itu meletakan selembar berkas di meja.
"Bukan kalian, lebih tepatnya saya. Sekarang mereka masih mengenalimu sebagai Surya. Hanya saya yang tahu siapa anda, Kolonel." Wanita itu mengambil sesuatu lagi dari saku seragamnya. Itu adalah sebuah kartu identitas kemiliteran. "Saya Kapten Tantri. Saya menggantikan tugas Kapten Maulana di sini."
"Di mana Kapten Maulana? Saya mau bicara," Lukman memohon.
Wanita itu terdiam sejenak. Dia kemudian mendekatkan segelas air jeruk yang belum sempat Lukman minum.
"Terima kasih." Lukman meminum air jeruk itu sampai tersisa setengah.
"Kapten Maulana sudah gugur dua tahun yang lalu."
Tentu saja Lukman sangat terpukul mendengar kabar itu. Dia menundukan wajahnya, mencoba menyembunyikan tangisnya dengan kedua telapak tangan menutup wajah.
"Saya tahu dia sangat berharga bagi anda, Kolonel."
"Dia adik kandungku."
"Karena itulah dia mengorbankan diri memaksa masuk ke wilayah para pemberontak itu tanpa regu. Entah dari mana dia mengetahui misi penyamaran anda. Dia tahu anda ada di sana menjadi sandera."
"Bagaimana bisa adikku ada di sana?" tanya Lukman seraya meraih lembar berkas yang sedari tadi belum disentuhnya. Catatan misi terlampir pada berkas itu. Yaitu misi penyamaran untuk menyusup ke dalam kelompok pemberontak di wilayah terpencil Libya.
"Dia sangat percaya pada kemampuan anda dalam menyelesaikan misi ini. Tetapi ketika kabar tentang kematian anda beredar. Dia nekat mendatangi wilayah itu seorang diri. Catatan medis menuliskan ada enam butir peluru bersarang di jantung dan usus besarnya."
Lukman membuka lembar kedua pada berkas itu, didapatinya stempel merah bertuliskan 'GUGUR' mengecap tepat di foto wajahnya.
"Perlu kamu ketahui, Kapten. Misi ini diberi waktu enam tahun. Sekarang baru memasuki tahun kelima yang artinya saya masih aktif," jelas Lukman. Kapten Tantri menghela nafas.
"Ledakan besar di gudang penyimpanan bahan bakar di kota Murzuq dua tahun lalu, tidak memungkinkan manusia untuk selamat, seluruh sandera tewas di sana. Pilihannya hanya dua, misi anda dicap gagal atau catatan gugur secara terhormat. Mereka menimbang dengan menyelamatkan nama anda, Pak."
"Tidak ada satupun sandera yang tewas di sana! Sebaliknya, para pemberontak itu yang tewas!" Lukman berteriak lantang merasa kesal. Pintu ruangan diketuk tiga kali dari luar.
"Kapten. Apa semua aman?" tanya seseorang dari luar pintu.
"Semua aman. Saya bisa mengatasinya!" Jawab Kapten Tantri. Dia kembali menatap wajah Lukman yang sedang kesal itu.
"Saya yang membakar gudang itu setelah mengurung para pemberontak. Setelah itu saya pergi ke markas mereka yang lebih besar di Harat. Mereka menyandera para korban di sana. Belum ada yang mengetahui penyamaran saya. Saya masih tercatat sebagai anggota mereka hingga saat ini."
"Lalu kenapa anda keluar dari sana, Kolonel?"
"Tentu saja untuk bertemu dengan Kapten Maulana meminta bantuan regu. Bertahun-tahun saya menyiapkan hari ini. Ini adalah waktu terbaik untuk menyergap mereka."
"Tidak perlu dikhawatirkan, tentu saja kami akan segera bertindak selagi anda beristirahat. Terima kasih bantuannya, Kolonel Lukman. Semoga kita bisa bertemu lagi di tanah air." Kapten Tantri berdiri mengulurkan tangan mengajak Lukman bersalaman. Namun Lukman tak menanggapinya. Lukman hanya menatapnya dalam diam.
"Aku bertahun-tahun tinggal di tengah gurun dikelilingi situasi mencekam antara hidup dan mati hanya untuk mendapatkan sikap seperti ini? Dimana rasa hormatnya?"
"Dengan segala hormat, status anda tidak bisa dipulihkan, Pak. Dan saya masih memanggil anda kolonel meski berstatus non-aktif, itu adalah cara saya menghormati anda."