Di salah satu restoran mewah terkenal di Jakarta, sepasang mata elang milik Arkan sedang memandang dengan penuh takjub ke arah seorang wanita. Wanita berparas cantik, bertubuh ideal yang dikagumi oleh kaum Adam itu tampak menoleh. Desiran di hati kian meronta, saat wanita itu balas menatapnya.
Beruntung sekali Arkan bisa berada di restoran mewah ini sekarang. Entah kenapa, hatinya merasa kagum dengan sosok wanita cantik itu. Ingin sekali, ia berkenalan dan duduk berdua dengannya.
"Ya Tuhan, aku kenapa? Apa yang terjadi dengan hatiku?" ujar Arkan sambil memegangi dadanya sendiri. Pria itu kembali fokus menatap seorang wanita yang duduk di seberang sana.
Haruskah Arkan menghampiri wanita tersebut? Atau hanya berdiam diri saja di sini?
"Tidak, tidak, ini jangan sampai terjadi. Harusnya aku tak boleh tergoda dengan wanita lain."
Sekuat hati, Arkan tak ingin tergoda. Mengingat statusnya sudah tak menjadi lajang. Akhirnya, Arkan pun berniat untuk pulang saja dari sini.
Wanita itu melihat kepergian Arkan dari restoran ini. Ia ingin mencari tahu mengenai pria itu. Langkah kaki membawanya menuju kepada seorang pria yang telah membuatnya jatuh hati pada pandangan pertama.
Akhirnya, Angela bisa melihat kalau pria itu berada di parkiran mobil dan bersiap-siap untuk pergi. Ia pun berjalan cepat menghampiri pria tersebut dan mengajak berkenalan.
"Tunggu!" teriak Angela sambil menjulurkan tangan.
Arkan menoleh dan mendapati wanita itu telah mendekat ke arahnya. "Kamu?" Arkan bingung, ada apa wanita cantik ini mendatanginya.
"Namaku Angela. Namamu siapa?" Angela langsung menjulurkan tangan ke arah pria tersebut. Seolah tak merasa malu sama sekali karena baru saja bertemu.
"Namaku Arkan." Arkan merasa sangat gugup karena berhadapan langsung dengan Angela. Debaran di jantungnya kian bertalu-talu. Rasanya tak karuan, saat berada di dekat Angela seperti ini.
"Aku lihat, tadi kamu fokus sekali menatapku. Kenapa, ya?"
"Ahh, i–itu ...."
Angela tampak menunggu jawaban yang ke luar dari mulut Arkan. Tentu saja, pria itu tak mau berterus terang bahwa dirinya merasa tertarik pada Angela.
"Tidak papa. Lupakan saja, ya," elak Arkan.
Tak berselang lama, akhirnya Arkan pun memilih masuk ke mobil. Angela merasa tak rela, kalau kehilangan pria itu. Ia pun langsung mengambil ponselnya yang berada di dalam tas.
"Oh, ya, aku boleh minta nomor teleponmu?" Angela menjulurkan ponsel itu ke arah Arkan. Pria itu tampak terdiam beberapa detik.
"Hm, boleh." Arkan mengetik dengan lincah di layar ponsel. "Ini ...." Ia pun menyerahkan ponsel itu pada pemiliknya.
Akhirnya, Arkan memberi nomor ponselnya pada Angela. Hati wanita itu merasa senang seketika. "Nanti aku telepon, ya. Terima kasih."
"Sama-sama."
Alhasil, mobil Arkan kian menjauh dari halaman restoran ini. Angela senang bukan main, karena berhasil mendapatkan nomor telepon pria itu.
"Baju kemeja biru jangan sampai lepas. Aku yakin bisa mendapatkanmu dengan mudah."
***
Saat makan malam di meja makan, tiba-tiba ponsel Arkan berdering. Pria itu menatap ke arah layar ponselnya. Tak ada nama si pemanggil. Nomor baru yang tak dikenal. Arkan pun mendiamkannya saja tanpa berniat untuk menjawab.
Satu kali panggilan telah berhenti, lalu ponselnya berdering kembali. Membuat Arkan bingung, siapa yang meneleponnya malam hari seperti ini. Rasa malas masih saja menghampirinya
"Ga diangkat, Mas?" tanya Rany, istrinya Arkan.
"Males ah. Soalnya nomor baru. Entah siapa ga tau juga. Mungkin orang iseng." Arkan mengendikkan kedua bahunya sambil menyantap makanan.
"Angkat aja, Mas, siapa tahu penting. Tuh bunyi terus kan?"
Lama Arkan terdiam, kemudian ia mengangguk ke arah Rany. Pria itu izin berlalu dari hadapan sang istri dan juga anak perempuannya. Arkan melangkah ke depan pintu rumah sambil mengangkat panggilan tersebut.
"Hallo. Ini siapa?"
"Hallo, ini aku Angela," ucap suara dari seberang sana.
Seketika Arkan pun jadi salah tingkah. Ternyata, yang meneleponnya sejak tadi adalah Angela. Wanita yang membuatnya terpesona siang tadi saat di restoran. Ia pun mengawasi ke segala sudut rumah, agar Rany tak mengetahui hal ini.
"Eh, kamu? Aku kira siapa, makanya aku agak lama ngangkatnya. Maaf, ya." Mata Arkan menatap sana sini, mengawasi Rany yang masih berdiam diri di meja makan.
"Iya, gapapa kok. Santai aja lagi."
Cukup lama mereka teleponan, sampai-sampai Arkan jadi lupa makan malam bersama dengan Rany. Saking asyiknya bicara dengan Angela, hingga membuatnya berdiri tegak di depan pintu berlama-lama. Pria itu tampak terkikik geli karenanya.
Rany dan anaknya sudah selesai makan malam. Sampai sekarang pun, Arkan masih tak kembali ke meja makan. "Salsa balik lagi ke kamar, ya, biar mama yang beresin piring-piring ini," ucap Rany.
"Iya, Ma." Setelah Salsa berlalu pergi, Rany mencoba untuk menghampiri sang suami yang masih berada di luar.
Terlihat sang suami masih berdiri di ambang pintu sambil memegang ponsel. Rany merasa heran, kenapa suaminya selama ini teleponan. Dengan siapa? Ia pun mencoba untuk tak berpikiran negatif.
"Mas?"
Mendengar panggilan Rany, Arkan pun dengan cepat memutuskan panggilannya pada Angela. Pria itu lalu menaruh ponselnya dalam saku celana dengan tergesa-gesa. Arkan bergegas membalikkan badan dan menatap wajah sang istri.
"I–iya, sayang? Kenapa?"
"Kok lama teleponannya, Mas? Sama siapa?"
"A–anu ...." Arkan terlihat bingung harus menjawab apa. Rany menunggu ucapan yang akan terlontar dari mulut sang suami.
"Anu apa, Mas?" tanya Rany lagi.
"Tadi sama Pak Budi. Biasalah masalah tender perusahaan ini."
Rany manggut-manggut mendengar ucapan sang suami. Kemudian, ia pun menyuruh suaminya untuk kembali ke meja makan. Arkan menurut dan berjalan bersisian dengannya.
Arkan bernapas lega setelahnya, karena Rany tak merasa curiga sedikit pun. Beruntung, ia bisa mengelabui sang istri. Senang rasanya bisa berteleponan dengan Angela di malam hari. Walaupun harus diam-diam dari sang istri, tapi tak mengapa.
'Aku merasa nyaman teleponan dengan Angela, dia bisa membawa suasana jadi ga canggung. Dan, hatiku juga kian berdegup kencang karenanya.'
"Mas?" Rany memanggil suaminya lagi karena terus melamun di kursi. "Ayo, lanjut makan lagi, Mas."
"Hm, ga jadi deh. Mas ternyata sudah kenyang," ujar Arkan sambil berdiri dari kursi. Ia pun meninggalkan Rany.
Sang istri hanya bisa mengembuskan napas panjang. "Mas Arkan agak aneh hari ini, kenapa ya? Apa telah terjadi sesuatu padanya?"
Rany hanya bisa melihat kepergian sang suami begitu saja. Ia segera membereskan sisa piring kotor di atas meja makan. Nasi di piring Arkan masih lumayan banyak. Wanita itu membawa piring-piring kotor untuk dicuci di wastafel. Setelah itu, Rany akan segera menghampiri suaminya di dalam kamar.
"Mungkin Mas Arkan sekarang sudah tidur," ucap Rany pada diri sendiri.