Chereads / My Favorite Problem / Chapter 11 - Part 10 : Cinta Anak SMP

Chapter 11 - Part 10 : Cinta Anak SMP

Nayla sedang berjalan di menyusuri jalan setapak, dan sepertinya tempat ini adalah sebuah taman, di lihat dari banyaknya bunga di pinggiran jalan. Bunga warna warni itu merekah dengan sempurna bagaikan senyum seorang pujangga yang sedang jatuh cinta.

Tapi Nayla tidak tahu ini di mana? Dan kenapa dia bisa ada di sini? Seingatnya sepulang sekolah tadi dia ada di dalam kamar, kenapa tiba-tiba dia bisa berada di sini?

Nayla terus mencari jawaban, tapi tidak ada seorang pun yang bisa ia jadikan tempat untuk bertanya. Sepi, di situ benar-benar sepi. Nayla bingung, dia hanya mengikuti kemana kakinya melangkah.

Akhirnya, Nayla melihat seorang laki-laki berpakaian serba putih sedang berdiri di pinggir danau. Di lihat dari posturnya Nayla sangat kenal orang itu. Nayla hafal semua hal tentang dia, punggungnya, cara jalannya, rambutnya, segalanya. Nayla tak mungkin salah, itu pasti dia.

"Arkan," panggil Nayla dengan hati-hati, hingga orang itu pun menoleh.

"Nayla," benar saja, dia adalah Arkan dengan senyumnya yang khas.

"Ar, aku kangen sama kamu. Aku pengen peluk kamu, aku ... Aku rindu, Arkan," pekik Nayla, hatinya sangat bahagia bisa bertemu dengan kekasih yang sangat ia rindukan di sini, hingga Nayla tidak mampu lagi menahan perasaan harunya.

"Sebentar lagi kita pasti bertemu, tuan Putri," ucap Arkan, wajahnya penuh teka teki.

"Maksud kamu apa?" Tanya Nayla. Namun, bukannya menjawab pertanyaan Nayla, Arkan justru perlahan pergi.

"Ar, kamu mau ke mana? Kita baru aja ketemu, bahkan kita belum saling melepas rindu," Nayla berusaha mengejar Arkan, tapi yang di kejar justru semakin menjauh.

"Ar, jangan tinggalin aku sendiri lagi," Nayla menangis, dia memohon kepada sang kekasih.

"Jangan menangis, putri kecebong. Maaf, aku harus pergi," Arkan semakin hilang di telan kabut putih.

"Arkan, jangan pergi," Nayla menangis tersedu-sedu, hingga seluruh persendiannya lemas dan dia pun jatuh terduduk di atas rerumputan.

"Arkan ... Arkan ... " entah berapa kali lagi dia harus memanggil, tapi Arkan memang tak akan pernah datang.

"Arkaaaannn ... " Nayla menjerit sekuat tenaga, matanya terbuka lebar, nafasnya terengah-engah karena ritme jantungnya yang berdetak sangat cepat.

Ah sial. Lagi-lagi mimpi !!

Ingin rasanya, Nayla memaki dirinya sendiri. Kenapa harus selalu mimpi tentang Arkan yang hadir di setiap tidurnya? Kenapa bukan mimpi indah, mimpi mendapatkan makanan, atau mimpi Nemu uang sekoper, atau apalah. Jangan selalu tentang Arkan.

Nayla mendudukkan dirinya, dia termenung sambil memijat-mijat kening.

"Jam berapa ini?" Nayla bertanya pada dirinya sendiri. Dia melirik sebuah jam yang ada di mejanya. Jam 19.30, itu artinya dia tidur selama 7 jam lebih. Astaga, selama itukah? Dia baru menyadari kalau ternyata dia tertidur masih dengan menggunakan seragam.

Perasaan Nayla masih tidak karuan karena mimpi buruk itu. Dia mencari air minum di mejanya.

"Ah, minumnya abis lagi," gumamnya. Nayla berjalan gontai menuju ke dapur untuk mengambil minum. Dia masih seperti orang yang linglung.

"Kak Nay, baru juga mau Vivi bangunin suruh makan," ujar Vivi, dia sedang mempersiapkan makanan di meja makan. Rupanya Gerald juga sudah duduk di sana.

"Nay, kamu baru pulang sekolah jam segini? Kok masih pakai seragam?" Tanya Gerald keheranan.

"Iya, Pah. Baru pulang, pulang dari pulau kapuk," celetuk Vivi.

"Ih, bocah," Nayla mengacak-acak rambut Vivi.

"Ya ampun, ini anak perawan," Gerald geleng-geleng kepala.

"Biasalah, Pah. Aku kecapean," kata Nayla seraya duduk di pinggir Vivi.

"Ayo, sini makan. Kita cobain masakan ala chef Vivi," ajak Gerald.

"Wah, Ibu Vivi ternyata makin pinter masak ya," goda Nayla.

"Siapa dulu, Vivi gitu loh," dia mengibaskan rambutnya ke belakang dengan sombongnya.

"Eum, enak banget, Vi," puji Gerald setelah menyuap sesendok nasi dan lauknya. Dia sangat bangga pada Vivi, karena dia sudah sangat mandiri di usianya yang masih sangat belia ini. Vivi tampak tersenyum malu karena di puji papahnya.

"Eh, Kak. Kenapa Kakak gak pernah bilang ke Vivi, kalau kakak ternyata punya temen cowok ganteng selain Kak Arkan," kata Vivi kemudian.

Nayla mengerutkan keningnya, "siapa?" tanya Nayla.

"Itu Kak Nathan, yang tadi nganterin Kakak pulang. Dia ganteng banget tau. Mirip Opa Eun woo," Vivi kembali membayangkan wajah ganteng Nathan, sampai dia baper sendiri.

"Oh, si Nathan," ujar Nayla. Eh, tapi dia baru ingat, karena ketiduran Nayla sampai lupa kalau Nathan pasti menunggunya tadi.

"Cie, ada yang di anterin calon rupanya. Gimana hubungan kamu sama Nathan? Papah harap sih, perjodohan ini bisa berjalan lancar," Gerlad menggoda Nayla sambil menjengitkan alisnya.

"Ohok ... Ohok ... " Vivi tiba-tiba tersedak karena mendengar perkataan papahnya.

"Vi, kenapa? Minum dulu nih," Nayla menyodorkan segelas air.

"Jadi, Papah jodohin Kak Nayla sama Kak Nathan?" Kata Vivi setelah meminum airnya. Ada apa ini? Kenapa dia begitu terkejut?

"Iya, Vi. Gimana menurut kamu, cocokkan?" Tanya Gerlad.

"Cocok," jawab Vivi sambil tersenyum getir. Vivi tidak mengerti kenapa hatinya seperti tidak menerima kenyataan ini?

Vivi memang masih kecil, dia belum tahu apa itu cinta? Dia juga belum pernah merasakan hal semacam itu, yang selama ini dia pelajari adalah bagaimana cara mengikhlaskan kepergian orang yang begitu ia sayangi, bukan mencintai orang baru yang datang. Ya, mungkin nanti seiring berjalannya waktu dia akan mengerti.

Tapi, kali ini ada rasa yang berbeda. Vivi merasa tidak rela jika papah menjodohkan kakaknya dengan kakak ganteng pujaannya itu. Tapi, apalah dia, Papah tentu hanya menganggapnya sebagai seorang bocah yang belum di perbolehkan mengenal kata cinta.

Seusai makan malam, Nayla membantu Vivi merapikan meja makan. Tak jarang kakak beradik itu terlihat kompak. Saat Nayla sedang mencuci piring, diam-diam Vivi membuka hp Nayla, dia mencari kontak seseorang, lalu mencatatnya.

"Vi, masih ada gak piring kotornya?" Tanya Nayla.

"Nggak ada, Kak."

"Oh, yaudah," Nayla mencuci tangannya yang penuh busa.

"Kak Nay, Vivi mau tanya, boleh gak sih, kalau misalnya anak SMP pacaran sama anak SMA?" Vivi sangat penasaran dengan hal itu.

"Ada apa nih, tumben kamu tanya tentang itu?" Nayla balik bertanya, sambil menatapnya dengan curiga. "Wah, jangan-jangan kamu jadi korban sintron," lanjutnya

"Ya, enggak, Vivi cuma tanya aja," Vivi sedikit merengut.

"Vi, cinta itu gak pandang umur, mau berapa pun jarak usianya, ya boleh. Karena cinta itu datang dengan sendirinya dari dalam hati," jawab Nayla. Vivi mencerna setiap kata yang keluar dari mulut kakaknya.

"Udah, ah. Masih kecil. Belajar yang bener. Nilai aja masih ada yang merah," kata Nayla seraya pergi meninggalkan Vivi yang masih merenung.

***

Reno sudah bersiap untuk berangkat ke sekolah. Dia sudah memastikan semua buku pelajaran hari ini telah tersimpan rapi di dalam tasnya.

"Siap berangkat?" Tanya Reno.

"Siap, Tuan bos," gurau Arkan sambil membungkuk hormat.

"Yuk, kita mulai pencariannya," ajak Reno. Ya, Reno akan membantu Arkan sepenuh hati. Karena orang tua Arkan juga telah begitu banyak membantunya.

Mereka berjalan beriringan hingga sampai di sekolah. Jarak antara sekolah dan rumah Reno memang cukup dekat. Hanya 20 menit, mereka sampai di gerbang sekolah.

Arkan memandang tugu yang bertuliskan "SMA 1 PANDEGLANG" yang telah bertengger selama puluhan tahun di depan gerbang. Sepertinya tugu itu memang tidak asing lagi bagi Arkan, meskipun ini pertama kalinya ia datang ke sekolah sebagai arwah.

"Ayo, masuk," ajak Reno setengah berbisik. Arkan mengangguk, menepis semua perasaan aneh dalam dirinya.

Saat berjalan melewati koridor sekolah, rasanya Arkan seperti kembali hidup seperti dulu, bukan sebagai arwah seperti sekarang.

"Gue kangen sekolah," gumam Arkan, berbagai momen yang sempat ia lupakan terlintas begitu saja di pikirannya. Tentang ia yang sering di elu-elukan sebagai kapten basket, dia yang sedang belajar di kelas, dan lainnya.

"Sabar, ingat ini takdir," ucap Reno, dia paham bagaimana perasaan Arkan sekarang. Reno terus menatap Arkan iba, hingga dia tidak menyadari ada sebuah kulit pisang di depannya. Reno pun menginjaknya hingga ia jatuh terpeleset.

"Aww ... " Reno meringis kesakitan sambil mengusap pantatnya.

"Hahaha, mangakanya liat-liat kalo jalan," Arkan yang tadinya sedih pun jadi tertawa melihat Reno.

Buku yang di genggaman Reno terlihat berserakan di lantai.

"Reno, Lo gak apa-apa?" Tanya seorang perempuan yang tiba-tiba datang menghampiri Reno. Dia membantunya memunguti buku-buku Reno.

"I-iya, aku baik-baik aja," kata Reno dengan gugup, sambil berdiri.

"Cie-cie, di tolongin sama cewek," goda Arkan. Reno memandangnya sebal. Arwah itu ternyata rese juga.

"Wah, Lo ternyata pecinta novel Habiburrahman juga ya?" Tanya Nayla, sambil menyerahkan bukunya pada Reno.

"I-iya, aku suka. Apalagi sama novel yang judulnya Ayat-ayat cinta sama Merindukan Baginda," jawab Reno.

"Jangan gugup dong, Ren," Arkan tak henti-hentinya menggoda Reno.

"Wah, gue gak nyangka, setelah sekian lama, akhirnya gue ketemu sama pecinta novel yang satu genre," Nayla terlihat antusias. Reno hanya tersenyum malu-malu. Sial, dia memang begitu gugup jika berhadapan dengan manusia.

"Eh, kenalin, gue Nayla," Nayla mengulurkan tangannya, di sambut dengan senang hati oleh Reno.

"Reno," jawabnya.

"Gue udah tau kok," ujar Nayla, mendengar itu, Reno kembali tersipu malu.

Saat mendengar nama Nayla, hati Arkan bergetar hebat. Dia memandang lekat-lekat wajah cewek itu. Wajahnya seperti ...

"Ar ... "

"Ke toko buku yu,"

"Nih, kunci motor kamu,"

"Bajunya rapihin, Arkanio,"

Percakapan demi percakapan berkelebatan begitu saja. Terdengar suara seorang perempuan yang begitu manja. Tapi, semuanya masih abu-abu, Arkan tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas.

"Ah, aww, sakit," Arkan menjenggut rambutnya sendiri. Kepalanya sangat sakit karena terlalu berusaha mengingat. Reno terkejut melihat itu, pandangannya berubah menjadi sangat cemas.

"Dia kenapa?" Tanya Reno dalam hati.

"Ren, Reno ... " panggil Nayla, dia melihat ada yang aneh pada anak baru itu. Apa yang Reno lihat sampai sedemikian rupa, padahal di situ hanya ada mereka berdua.

"Eh, i-iya, Nay," Reno sedikit tersentak. Dia mengalihkan pandangannya. Untung saja, Arkan bisa kembali pulih dengan cepat.

"Nayla ... " seseorang memanggil Nayla dari belakang, saat dia menoleh rupanya itu Nathan. Arkan menatap ke arah Nathan. Kenapa dia juga merasa kalau orang yang baru datang itu, sangat tidak asing baginya.

"Pagi, sayang," sapa Nathan.

"Oh, jadi cowok itu pacarnya," gumam Arkan, sambil terus memperhatikan keduanya. Tapi, kenapa sekarang hatinya tiba-tiba sakit. Kenapa ada perasaan marah di sana. Siapa sebenarnya Nathan dan Nayla? Apa hubungan dia dengan keduanya semasa hidup dulu? Tak ada yang bisa menjawab semua pertanyaan itu.

"Nathan, ihh," Nayla terlihat risih dengan panggilan Nathan. Nayla tidak mengerti, kenapa cowok ini tiba-tiba menjadi kaum bucin sekarang.

"Kenapa? Wajar dong, semua orang juga tau kamu pacar aku," Nathan merangkul pundak Nayla.

"Eh, Lo Reno kan," ujar Nathan. Nayla langsung melotot padanya. Dia takut kalau Nathan akan kembali membuat keributan dengan Reno.

"Enggak, Nay. Aku kan, udah janji mau berubah," Nathan bisa menebak pikiran Nayla dengan jitu.

"Gue minta maaf ya, Ren. Ok, sekarang kita temenan," Nathan tersenyum ramah sambil merangkul pundak Reno.

"I-iya, a-aku juga minta maaf," balas Reno.

Lega rasanya Nayla melihat Nathan berdamai dengan Reno. Semoga Nathan bisa benar-benar berubah.

"Ke kelas yuk, Nay," Nathan menarik tangan Nayla dengan lembut.

"Dah, Reno. Mungkin lain kali kita bisa hunting buku bareng," ucap Nayla di iringi dengan senyumnya yang menawan.

"Kamu kenapa tadi?" Tanya Reno setelah Nayla dan Nathan pergi.

"Enggak apa-apa, tadi gue kebayang sesuatu aja,"

"Apa?"

"Masih belum jelas," Arkan menggeleng lemah.

"Yang sabar ya. Yaudah, yuk kita ke kelas, mungkin di sana kamu bisa ketemu orang yang bisa kamu kenali," kata Reno dengan sangat hati-hati, karena khawatir ada siswa lain yang melihatnya berbicara sendiri.

Arkan mengikuti Reno menuju ke kelasnya. Hati Arkan masih bertanya-tanya, kenapa dia merasakan perasaan-perasaan aneh itu padahal selama jadi arwah dia tidak pernah merasakannya. Entahlah, Arkan masih belum ingat.