Chereads / My Favorite Problem / Chapter 7 - Part 6 : Rencana Pindah Sekolah

Chapter 7 - Part 6 : Rencana Pindah Sekolah

Sesampainya di rumah, Reno langsung membuka sepatunya dan masuk ke dalam dengan di ikuti oleh arwah laki-laki tadi.

Arwah itu mengamati sekelilingnya, rumah kecil yang terlihat kumuh dan usang tak berwarna, karena tidak ada sentuhan cat sama sekali, dengan plafon yang sudah reot dan banyak kain menempel di sana sini untuk menutupi jendela yang bolong.

"Wah, beda banget sama rumah gue dulu," katanya pelan.

"Assalamu'alaikum ... Ibu, aku pulang," Reno langsung menghampiri ibunya yang sedang terbaring lemah di atas tempat tidur. Dia lalu mencium tangan ibunya penuh hormat.

"Kamu sudah pulang, Nak," Mira menggenggam tangan anak kesayangannya itu.

"Iya, Bu," Reno tersenyum.

"Kenapa mukamu kelihatan sedih begitu? Apa ada masalah?" Tanya Mira dengan suara parau khas orang sakit.

Reno semakin lesu saat dia menatap wajah ibunya lekat-lekat. Wajah yang terlihat letih meski aktivitasnya hanya berkutat seputar tempat tidur dan kamar mandi, di sebabkan oleh penyakit ginjal stadium akhir yang menggerogotinya selama ini. Dia harus rutin cuci darah untuk membuang limbah berbahaya yang ada di tubuhnya, karena ginjalnya sudah tidak berfungsi lagi.

"Kenapa, Ren?" Tanya Mira lagi.

"Aku ... Aku di pecat dari restoran, Bu," jawab Reno dengan lemah, dia takut ibunya akan kecewa.

Tapi justru senyum Mira malah tersungging di bibir pucatnya.

"Enggak usah sedih, Nak. Mungkin rezeki kamu memang bukan di sana. Percaya sama Ibu, Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik," sebagai Ibu, Mira justru merasa bersalah karena anak satu-satunya itu harus menanggung semua beban keluarga. Menggantikan posisi suaminya yang telah meninggal dunia beberapa tahun lalu. Sedangkan, dia sendiri harus terbaring lemah karena penyakitnya.

"Ibu gak mau tanya apa alesannya?" Tanya Reno.

Mira menggeleng, "Ibu selalu percaya sama kamu. Ibu yakin, kamu anak yang baik. Mungkin itu memang bukan rezeki kamu aja,"

"Makasih ya, Bu," Reno mengelus rambut ibunya sambil tersenyum.

"Itu ibu Lo sakit apa?" Tanya arwah laki-laki yang sedari tadi berdiri di belakang Reno.

Reno menatapnya dan memberikan isyarat melalui tangannya agar dia diam dan tidak banyak omong. Mira sudah hafal pada gelagat anaknya itu. Dia tau kalau Reno mewarisi kemampuan ayahnya yang mempunyai Indra keenam.

"Reno, kamu bawa siapa?" Mira bertanya penuh selidik.

"Hah, siapa? Gak ada siapa-siapa, Bu," Reno terpaksa berbohong karena dia tahu bahwa ibunya tidak suka kalau Reno berteman dengan makhluk dari dunia lain.

"Jangan bohong!"

"Bener, Bu," Reno meyakinkan ibunya.

"Ibu gak mau kalau apa yang terjadi sama Bapak dulu, terjadi lagi sama kamu. Mangkanya Ibu selalu ngelarang kamu berhubungan sama makhluk-makhluk itu," Mira mengingatkan Reno tentang kejadian pahit yang menimpa mereka dulu.

"Iya, Ibu tenang aja. Yaudah, Aku ke kamar dulu ya, Bu," Reno beranjak dari duduknya.

"Cepet ganti baju," pesan Mira.

Reno mengangguk seraya pergi ke kamarnya, tentu saja arwah itu masih mengikutinya.

"Wah, ternyata Lo pinter juga ya, sering dapet juara umum sama juara olimpiade," arwah itu melihat banyak sekali piagam-piagam penghargaan dan juga piala yang di pajang di kamar yang kecil.

Reno tidak menjawab, dia malah duduk termenung di atas tempat tidur, tatapannya menerawang jauh ke depan.

"Woi, Reno!" Panggil arwah itu. Tapi, yang di panggil tak menggubris.

"Renoo!!" panggilnya sekali lagi.

Reno sedikit terhenyak, "Kok kamu bisa tau nama aku?"

"Tadi kan, gue denger Lo ngobrol sama ibu Lo,"

"Oh, iyaya," Reno manggut-manggut, tapi kemudian dia kembali merenung.

"Sebenernya Lo punya masalah idup apa sih? Kayanya berat banget gitu," rupanya arwah itu sangat penasaran sedari tadi. Dia pikir, Reno punya banyak masalah selain hanya tentang dia yang baru saja di pecat dan juga ibunya yang sedang sakit itu.

"Masalah aku banyak, kalau di sebutin satu-satu mungkin bisa sampe subuh," jawab Reno sekenanya.

"Buset, sebanyak itu?"

"Yang paling berat sih satu, kayanya aku harus berhenti sekolah," kali ini Reno menjawab dengan mimik serius. Karena dia pikir arwah ini baik, masih muda juga, jadi cocok di ajak curhat.

"Kenapa? Bukannya Lo itu anak yang pinter?"

"Pinter aja gak cukup kali. Aku kan, udah di pecat, jadi sekarang aku pengangguran. Sedangkan, aku harus kumpulin uang buat ibuku cuci darah. Nah, dari mana aku bisa dapetin uang? Apalagi kalau di tambah sama biaya sekolah, makin gede aja kan?" Reno tertunduk lesu, matanya tampak berkaca-kaca. Keheningan malam menambah suasana semakin dramatis.

"Emang Lo sekolah di mana? Emang Lo gak dapet beasiswa?"

Reno menggeleng," aku sekolah di swasta. Pernah dapet beasiswa, tapi di cabut, karena aku sering bolos beberapa kali, dan suka tidur di kelas, akibat kerja part time," jelasnya.

Arwah itu manggut-manggut, lalu katanya, "pindah aja sekolahnya ke SMA Negeri 1 Pandeglang,"

"Itu kan, sekolah favorite, pasti biayanya mahal," sanggah Reno.

"Lo salah, justru di sana itu banyak banget beasiswa. Apalagi kalau Lo pinter dan bisa bikin nama sekolah jadi harum, pasti beasiswa Lo gak akan pernah di cabut," Reno masih ragu tapi dia melihat ada keseriusan pada wajah si arwah.

"Gue serius. Kepala sekolahnya itu baik banget, udah ganteng, ramah lagi. Pokoknya the best," dia terus masih berusaha meyakinkan Reno.

"Emang siapa kepala sekolahnya?" Reno masih menyelidiki kebenarannya, mana mungkin dia langsung percaya pada arwah gentayangan itu.

"Bokap gue," si arwah itu nyengir, meskipun wujudnya tak terlalu jelas terlihat.

"Pantes, di puji-puji," Reno mencibirnya.

"Eh, tapi beneran emang baik banget,"

Reno kambali menatapnya dengan tajam, seakan-akan dia ingin menembus dada arwah itu. Ah, dia baru ingat kalau dia kan, belum tau asal usul arwah itu, "nanti deh, aku mau tanya, emang sebenernya kamu itu siapa sih? Kenapa kamu bisa jadi arwah gentayangan di jalan?" Tanya Reno.

"Em, kenalin gue Arkanio Gibson. Anak dari Bapak Samuel Gibson, kepala sekolah yang tadi gue ceritain," yups, benar. Arwah laki-laki itu adalah Arkan.

"Gue meninggal beberapa bulan lalu, karena kecelakaan. Tapi sayang, Malaikat nolak arwah gue. Karena katanya hati gue masih di kunci sama seseorang," lanjutnya.

"Terus kenapa tadi kamu kaya kebingungan gitu di jalanan?"

"Ya karena arwah gue di kembaliin ke tempat di mana gue meninggal. Gue harus ngelepasin hati gue dulu, baru deh arwah gue di terima. Tapi masalahnya, ingatan gue itu cuma di kembaliin setengahnya. Jadi gue gak tau jalan pulang," jawab Arkan.

"Berarti kamu meninggal di jalan yang tadi?"

Arkan menggeleng, "Bukan, gue meninggal di perempatan jalan Ahmad Subroto. Terus gue ngikutin orang yang menurut gue menarik, sampe gue ada di jalan tadi, dan akhirnya ketemu Lo," jelasnya.

Reno manggut-manggut, "kasian juga arwah ini, dia sampe gentayangan cuma karena ada orang yang belum bisa ikhlas sama kepergiannya," kata Reno dalam hati.

"Sabar ya, mungkin Ibu kamu yang belum bisa terima kenyataan atas kepergian kamu," kata Reno. Ya, ini bukan pertama kalinya ada arwah gentayangan yang menemui Reno seperti ini. Tapi, Reno rasa yang ini berbeda, dia baik dan enak di ajak curhat.

"Ya mungkin. Lo mau kan, bantu gue buat cari orang itu, biar arwah gue cepet di terima," Arkan memelas pada Reno.

Reno berpikir sejenak, "mungkin gak ada salahnya aku bantu dia. Kasian juga kan, kalau sampe arwahnya itu gentayangan terus."

"Iya, nanti aku bantu kamu," kata Reno.

"Yes, makasih banyak," saking senangnya Arkan bermaksud memeluk Reno, tapi justru yang di dapat hanya hembusan angin. Arkan tidak bisa menyentuh Reno, karena sekarang dia adalah arwah.

"Mana bisa kamu peluk aku, kamu kan, bukan manusia," Reno terkekeh.

"iyaya, gue lupa," Arkan nyengir kuda.

Reno geleng-geleng kepala sambil merobohkan badannya ke atas kasur.

Huh, hari ini cukup melelahkan!