"Jangaaan..!! Ar, jangan pergi. Aku mohon, Ar," Nayla teriak histeris, padahal saat itu, matanya tengah terpejam.
"Kak!!, Kak Nay, bangun," Vivi, adik Nayla, menggoyang-goyangkan tubuh Nayla yang masih histeris karena mimpinya.
"Aaaa!" Mata Nayla terbuka lebar, nafasnya tersengal-sengal seperti habis berlari 1000 km, keringat dingin bercucuran dikeningnya.
"Bangun, Kak. Sadar, ini minum dulu," Vivi memberikan segelas air pada Nayla. Lalu, Nayla meneguknya perlahan. Berharap perasaannya akan jauh lebih tenang.
"Kakak pasti mimpi buruk lagi, 'kan?" Nayla mengangguk.
"Mangkanya, Kakak harus mengikhlaskan kepergian Kak Arkan. Mau sampai kapan kakak dihantui seperti ini?" Vivi berkata seperti seorang Ibu pada anaknya.
"Ihh, bocil tau apa?" Nayla mendelik sambil menjitak kepala adiknya main-main. Vivi memang baru beruisa 13 tahun, dia sekarang duduk di kelas 1 SMP.
"Aku bukan bocil, Kakak! Aku sudah de-wa-sa!" Vivi berkata dengan penuh penekanan.
"Dewasa dari mananya, kalau masih takut ke kamar mandi sendirian? Hayoh!"
"Hehe, itu beda masalah, Kak," Vivi malah nyengir menunjukkan giginya yang imut seperti gigi kelinci.
"Yaudah, sana keluar, Ibu Vivi yang dewasa," Nayla malah mengejek adiknya itu.
"Makasih, Dede Nayla," tak mau kalah, Vivi pun balas mengejek Nayla dengan sebutan Dede, karena Nayla sangat tidak suka dipanggil dengan sebutan itu.
"His ... Bociiiill...!!!" Nayla melemparkan bantal gulingnya kearah Vivi, tapi gadis kecil itu telah lebih dulu berlari keluar.
Viona Cassandra Fransisco, begitulah nama lengkapnya. Dia tak kalah cantik dengan Nayla, wajahnya bulat dengan mata yang sipit. Nayla dan Vivi hanya terpaut usia 4 tahun. Meskipun begitu, Vivi jauh lebih mandiri daripada Nayla. Keduanya memiliki sifat yang bertolak belakang. Jika Nayla adalah gadis yang anggun, pendiam, tapi manja. Maka Vivi adalah gadis yang cerewet, pecicilan alias tidak bisa diam, tapi dia mandiri. Mengingat, Vivi sudah ditinggalkan ibunya saat dia masih berusia 11 tahun.
Setelah Vivi keluar dari kamarnya, Nayla tidak bisa melanjutkan tidurnya. Entah kenapa, sebulan setelah kepergian Arkan, Nayla selalu dihantui oleh mimpi-mimpi buruk. Dia selalu terbayang-bayang saat Arkan bersimbah darah dalam pangkuannya.
"Ar, aku belum bisa ikhlaskan kamu. Mana janji kamu yang katanya mau selalu bikin aku bahagia? Aku menderita, Ar. Kenapa kamu tega buat aku kaya gini, Ar?" Nayla berkata dengan lirih. Entah sudah berapa liter air mata yang dia habiskan selama ini. Semua kenangan tentang Arkan masih membekas dalam ingatan Nayla.
Dia tidak tahu, kenapa takdir terus menerus mengujinya dengan perihal kehilangan dan ditinggalkan. Dulu, saat Nayla harus kehilangan ibu yang sangat ia cintai, hidupnya juga hancur, lebih hancur dari ini. Sangat sulit bagi Nayla untuk kembali bangkit dari luka itu. Namun, saat itu ada Arkan disisnya. Arkan yang selalu menyemangati Nayla setiap saat, menuntunnya untuk bangkit dari keterpurukan.
Tapi kini, Arkan yang pergi diambil takdir. Lalu siapa yang akan menuntunnya menemukan jalan untuk melanjutkan hidup? Siapa yang akan merangkul pundaknya hingga ia bisa bangkit?
Setiap Nayla terbangun karena mimpinya, maka saat itu, satu demi satu momen indah yang pernah ia lewati bersama Arkan, akan terputar otomatis dalam benaknya. Apalagi, momen saat Arkan menyatakan perasaannya kepada Nayla.
***
Nayla tidak pernah menyangka bahwa Arkan mempunyai perasaan kepadanya. Karena, Nayla sudah menjalin persahabatan dengan Arkan sejak dia SMP. Sehingga, menghabiskan waktu bersama sudah menjadi kebiasaan mereka.
Seiring berjalannya waktu, karena terbiasa bersama perasaan keduanya kian berubah. Sejujurnya, Nayla sendiri memang sudah menyimpan perasaan kepada Arkan selama ini. Nayla terpincut oleh cowok tampan berdarah bule itu, selain ketampanannya yang bisa membuat mabuk kepayang, dia juga adalah orang yang pintar. Hanya saja, sebagai seorang wanita dia gengsi untuk mengakui perasaannya itu lebih dulu.
"Nay, kita ke toko buku, yuk," ajak Arkan ketika pulang dari Sekolah.
"Toko buku mana?"
"Intermedia, katanya lagi ada bazar buku di sana."
"Waw, ayo kalau deh," Nayla adalah salah satu pecinta buku, karena itu dia sering sekali pergi ke toko buku.
Keduanya langsung pergi ke sana tanpa pulang terlebih dahulu. Mereka langsung menuju ke lantai 3 di mana tempat buku-buku itu berada.
Intermedia adalah toko buku yang cukup besar, di sana tidak hanya menjual buku saja, tapi berbagai peralatan sekolah pun tersedia dengan lengkap di sana.
Kebetulan, saat itu hanya ada Nayla dan Arkan di sana. Nayla terlihat sangat antusias memilih buku-buku yang ada di sana.
"Gue mau cari novel terbaru Asma Nadia," ujarnya.
"Eh, iya, di sana tuh deretan novel," tunjuk Arkan.
"Lo kenapa sih, Ar. Dari tadi ko keliatannya resah gitu. Gak kaya biasanya?" Nayla merasa ada yang berada dari Arkan hari ini, di terlihat salah tingkah dan kebingungan.
"Eng-nggak apa-apa, kok, itu cuma perasaan Lo aja kali," sanggah Arkan.
"Iya, kali ya," Nayla mengangguk, tak mau ambil pusing.
Nayla masih sibuk mencari buku di deretan rak, dia tidak menyadari Arkan yang sedari tadi hendak mendekatinya, namun terlihat ragu-ragu.
Hingga akhirnya Arkan benar-benar mendekat, lalu dia meraih bahu Nayla dan membalikan tubuhnya, kini mereka tengah saling berhadapan. Sontak saja Nayla merasa sangat terkejut. Dia membelalakkan mata sipitnya itu.
"Ya ampun, jantung gue rasanya mau copot," Nayla berkata dalam hati, sambil meneguk ludahnya yang terasa mengganjal.
"Nay, gue mau ngomong sesuatu sama lo," terlihat sekali wajah gugup Arkan dengan keringat di dahinya.
"Apa?" sama gugupnya dengan Arkan, Nayla pun sudah merasa panas dingin.
Perlahan Arkan meraih tangan Nayla, lalu menggenggamnya erat namun begitu lembut.
"Gue, sebenarnya gue ... Gue suka sama lo," Arkan berkata dengan terbata-bata.
"What? Jadi selama ini dia juga punya perasaan yang sama, untunglah, gua kira cinta ini bertepuk sebelah tangan," kaget, gugup, tapi bahagia itulah yang Nayla rasakan sekarang, sehingga hatinya tidak berhenti mengoceh.
Harap-harap cemas memenuhi perasaan Arkan. Dia takut, kalau-kalau cintanya akan di tolak oleh Nayla.
"Sebenernya, dari SMP dulu, gue udah suka sama lo, Nay. Tapi gue baru berani ungkapin sekarang. Lo mau enggak jadi pacar gue?" Tanya Arkan, yah, tentu saja dia berharap Nayla menerimanya. Karena Arkan pikir Nayla juga mempunyai perasaan yang sama.
"Sorry, Ar. Gue gak bisa," Nayla melepaskan tangan Arkan.
"Kenapa, Nay? Gue pikir selama ini, Lo juga punya rasa yang sama," Arkan cukup terkejut, hatinya tiba-tiba saja menjadi sakit.
"Gue enggak bisa ... Karena, Lo terlalu istimewa buat gue, itu sebabnya gue gak bisa nolak lo," Nayla langsung berhambur ke dalam pelukan Arkan.
"Ahh, yes!" Dengan senang hati Arkan membalas pelukan Nayla.
"Gue pikir, lo bener-bener gak ada perasaan sama gue,"
"Mana mungkin, gue juga selama ini suka sama lo," kata Nayla.
Arkan menggenggam tangan Nayla erat dan mengecupnya lembut.
"Gue janji ... eh, aku janji sama kamu, aku akan selalu buat kamu bahagia," Arkan berkata dengan sepenuh hati.
Hari itulah mereka resmi menjadi sepasang kekasih, saat itu adalah hari yang sangat bahagia untuk keduanya.