---perdebatan tak adil
Aku menghempaskan tubuhku ke atas kasur setelah mandi. Berdebat dengan Nenek tidak akan ada habisnya. Itulah sebabnya aku memilih untuk diam dan beranjak ke kamarku. meskipun aku sudah keramas tetap saja kepalaku masih belum terasa segar. Aku menoleh dan langsung melihat tumpukkan map pekerjaanku, Noah si celengan gurita itu seperti tidak punya hati. aku mengggelinjang kesal sampai mendengar nenek berbicara diluar kamarku "sampai kapan dia bakalan seperti itu terus. Dia merasa sangat cantik apa sampai harus menunda pernikahan" ucap nenek
Aku menutup telingaku dengan bantal, setiap hari apa yang diperdebatkan selalu saja sama. Kalau bukan karena dia nenekku, aku sudah menendangnya keluar dari rumah ini. "Ona? Ini aku jesika. Boleh masuk nggak?" tanya jesika. Aku menghela nafas panjang untuk sejenak "iya" jawabku. Jesika membuka pintu kamarku, ia bergegas masuk dan aku langsung memberi tanda agar jesika mengunci pintu kamarku dengan cepat
"uhhh, kesel ya?" jesika memanyunkan bibirnya berbicara padaku, seolah-olah sedang membujuk anak kecil yang tengah marah. "mau gimana lagi. udah makanan sehari-hari. Nenek masih belum berhenti marah-marah ya?" tanyaku. Jesika menganggukkan kepalanya "ho'oh. Riko sama Roki juga milih pergi dari rumah, padahal baru pulang main. Gara-gara denger nenek gitu, mereka katanya mau main basket aja" jesika tersenyum tipis
"hari ini aku lelah banget. Boss baru ternyata banyak perintah, susah ditebak dan banyak maunya. Capek banget loh jess. Pas nyampe rumah disambut gitu sama nenek. Kan kesal aja" gerutuku. Jesika mengelus rambutku. Memang terkadang di saat seperti ini, jesika menjadi pendengar terbaik yang aku punya. Padahal di beberapa kasus jesika terkadang tidak pernah memberiku solusi untuk masalah yang aku hadapi
"kamu nggak suka yah sama Andri?" jesika menatapku lekat. Aku sejenak diam, memahami perasaanku sendiri. merasakan aya yang sedang aku rasakan saat ini "Jes, kamu kan tau aku tu nggak punya waktu untuk hubungan konyol kayak gitu. Semenjak papa meninggal, aku tu udah nggak pernah ngerasain lagi jatuh cinta itu apa. kayak udah mati rasa aja gitu. Nah kalau ditanya suka apa enggak sama Andri, ya gimana? kan dia tampan. semua wanita juga pasti suka lah. Tapi rasanya disini tu nggak ada rasa apa-apa" aku menunjuk dadaku
Mata jesika membulat mendengar pernyataanku "kamu mati rasa. hati kamu tuh ibaratnya udah dingin aja gitu, kayak nggak srek sama siapapun. Tapi sebenernya bisa kalau kamu coba. Cuman kalau kamunya nggak nyaman nggak usah dipaksa" jesika menengankanku. Inilah aku dengan hatiku
Jika ditanya? Kenapa aku harus serumit itu?. aku rasa ada trauma yang sangat aku rasakan. Aku hanya bertemu dengan orang-orang yang menjalin hubungan rumit. Pasangan yang selalu bertengkar, bahkan orang tuaku sendiri tidak bisa memberikan pengalaman bahwa cinta yang tulus dalam ikatan yang saling memiliki itu memang ada.
Lagipula aku tidak ingin konsentrasiku terganggu. Jika aku punya pasangan, otomatis waktu ku akan terbagi, sementara aku bahkan tidak memiliki libur yang aku harapkan. Besok disaat aku biaanya 'me time' Noah malah menyuruhku untuk mengerjakan beberapa hal yang tidak masuk akal. Aku sebagai sektretaris tidak bisa melawan terlalu banyak. Terlebih aku masih belum bisa membaca bagaimana sikap Noah. tegas dan cerdas dari Noah sudah kutemui. Hanya saja masih ada beberapa hal terpendam yang belum Noah tunjukkan
Aku membuka pintu jendela kamarku, membiarkan angin malam masuk menyapaku. Langit sudah hitam diatas sana. mataku berpindah-pindah dari satu bintang ke bintang lainnya. Anehnya bulan tidak terlihat "kenapa ya aku harus terlahir sebagai manusia pa? papa udah tenang ya diatas sana? maaf ya pa, sampai sekarang Ona masih maraH sama papa. Ona masih belum bisa ngerelain semuanya gitu aja" gerutuku sendiri.
Mendadak ponselku bErdering, aku merogoh ponselku dari saku celanaku dan melihat nama Noah tertera dilayar. Mataku melotot kaget membaca nama Noah, padahal saat itu jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. "Hallo pak, ada apa ya pak?" tanyaku tanpa basa-basi. Terdengar suara bariton Noah dari seberang "kamu sudah kerjakan apa yang saya suruh?" tanya Noah padaku. aku beralih melihat map yang masih tertata rapi di atas mejaku. Bahkan tidak aku sentuh sedikitpun
"ah iya pak, sedang saya kerjakan" jawabku berbohong, lebih tepatnya aku mencari aman. Noah diam untuk sejenak, aku sampai berdebar menunggu Noah berbicara. aku semakin cemas karena Noah tidak kunjung juga berbicara "Bapak?" panggilku. Noah berdecak kesal "tunggu sebentar, saya sedang minum. Baru selesai gosok gigi. Apa kamu tidak bisa sabaran sedikit" ucap Noah kesal
Aku mengangakan mulutku tidak habis pikir. Aku tidak menggangunya kan? Aku hanya memastikan panggilan itu masih tersambung atau tidak "yah, maaf pak" jawabku kesal. Aku meremas bantal guling melepaskan emosiku "yasudah, kamu nggak usah kerjain file itu. besok kamu ikut saya saja. sekitar jam Sembilan pagi temui saya didepan kantor" perintah Noah tiba-tiba
"hah? besok kan libur kerja pak, kan bapak bilang butuh banget file ini" protesku. Noah terdiam lagi, aku hanya bisa menunggu dengan perasaan yang sudah uring-uringan " saya bilang kamu nggak usah ngerjain itu besok bukan berarti saya bilang nggak usah dikerjain kan? Maksud saya kamu ngerjain itu nanti saja setelah urusan besok selesai. udah nggak usah bantah. Temui saya besok" Noah memutuskan pangggilan
"hallo pak? bapak? Hallo?" aku memastikan berkali-kali apa panggilan sudah terputus atau belum. Ternyata sudah, aku menghela nafas berat "arghhhhhh sialan tu orang. Sumpah seumur hidup aku kerja, baru kali ini loh di uji kayak gini. Duh, kalau ngerjain semua file itu pas udah kerja pasti bakalan susah nih. Apa aku kerjain setengah aja ya sekarang" gerutuku
Akhirnya aku memutuskan untuk mengerjakan setengah dari map itu. beruntung aku sudah memiliki beberapa salinan file, jadi tidak terlalu rumit bagiku untuk menyusun dalam file baru. Hatiku mendongkol, ini sudah larut dan aku tetap bekerja. Tapi di sisi lain aku tidak bisa berhenti. Adikku butuh sekolah dan mama juga masih butuh bantuanku "duhh, mataku udah nggak bisa diajak kompromi" ucapku. Aku bahkan sudah mengompres mataku dengan batu es. Tetap saja rasa ngantukku masih terasa
"sudahlah, aku tidak bisa paksakan. Tidur saja" aku menyerah dan kalah dari perperangan dengan mataku. Alhasil aku berbaring diatas kasurku, menatap langit-langit kamarku "sepertinya hari yang akan aku lalui setelah ini tidak akan mudah. Aku pasti akan melewati hari yang melelahkan. Kenapa aku harus terlahir sebagai perempuan di anak pertama? Tidak, semakin aku menggerutu akan hidupku ini, semesta akan semakin marah padaku" ucapku dan memejamkan mataku
************
Alarm pagiku sudah terdengar nyaring, apalagi kalau bukan suara Tv dan ocehan nenek. Dengan malas aku membuka mataku. Aku tidak tersenyum saat cahaya matahari menyapaku. Karena memang hari ini menyebalkan untukku. untuk menghindari rasa kantukku yang sewaktu-waktu bisa kembali lagi, aku memilih untuk langsung mandi saja. air dingin akan lebih cepat membuatku sadar.
Seperti biasa aku mengenakkan baju kantorku, mengingat Noah memintaku untuk bertemu dengannya didepan kantor sudah pasti ada pekerjaan yang harus aku dan Noah lakukan. "loh sayang? Kok hari ini kerja? Bukannya hari ini libur?" mama menyambutku saat aku menuju meja makan. "Ada pekerjaan mendadak ma, CEO perusahaanku kan udah ganti" ucapku. Aku berusaha untuk tidak melakukan kontak mata dengan nenek, rasa kesalku masih ada
"mbak, Riko sama Roki kan sekarang udah kelas dua. Bentar lagi ada study tour mbak ke museum, sekalian kelas mau jalan-jalan juga. Kami boleh ikut nggak?" tanya adikku Riko tiba-tiba. aku tersenyum mendengar diriku menjadi tempat untuk mereka mengadu. Aku sangat paham mereka membutuhkan Dana untuk setiap kegiatan yang mereka ikuti. Belum sempat aku menjawab ucapan mereka nenek sudah lebih dulu berbicara
"kalau nggak berguna kegiatan kayak gitu nggak usah ikut. Kalian juga nanti buang-buang uang disana kan? Mending uangnya ditabung buat masa depan kalian. hidup kalian nggak bakal enak. jadi nggak usah berlagak kayak punya uang banyak" celoteh nenekku. Sontak Riko dan Roki langsung menundukkan kepala mereka.
"ma, jangan dipatahin gitu ma. Mereka juga bisa belajar dari pengalaman kan. Nanti mama kasih ya nak uangnya" mamaku membela sikembar. Raut wajah nenek menegang, sudah kuduga ini tidak akan usai disini saja. aku memberi kode pada sikembar untuk keluar saja, memilih menghindar dari perdebatan itu. sesampainya diluar aku dan sikembar menghirup udara segar "nih, kalian simpan uangnya buat pergi ya. Kalau kurang bilang sama mbak" jawbaku.
Senyuman Riko dan Roki sudah menjadi vitamin untukku. melihat lesung pipi mereka saja membuatku merasa diharagai "makasih ya mbak. Ini udah lebih banget." Ucap Roki. Aku mengusap kepala mereka barulah aku berlalu pergi menuju kantorku.
Sepanjang jalan menuju kantor aku bertanya-tanya, apa yanga kan kukerjakan hari ini. sebelumnya Pak Ling tidak pernah menganggu waktuku di kala libur. Tidak peduli seberapa banyak aku membandingkan Pak Ling dan Noah, tetap saja mereka jauh berbeda. Aku memarkir motorku di basement kantor. Mataku menyapu keadaan didepan kantor dengan mataku. Sejauh aku melihat aku belum bertemu dengan Noah.
Padahal aku sudah datang tepat waktu, Noah malah tidak terlihat. Aku duduk di pinggiran zebra cross kantor menunggu kedatangan Noah, sesuai permintaan Noah bertemu di depan kantor. Beberapa menit berlalu barulah aku melihat mobil Noah datang. aku langsung berdiri karena Noah berhenti tepat di depanku "Pagi pak" sapaku ramah.
Noah turun dari mobilnya dan menatapku dengan alis kanannya yang terangkat "kenapa kamu berpakaian kayak gini? saya nggak bilang kita kerja di dalam kantor kan? Pakai outfit biasa saja tidak bisa?" komentar Noah setelah melihat diriku dari ujung kaki hingga kepala. Aku menyipitikan mataku "maaf pak, tapi kan saya udah tanya bapak urusannya apaan, bapak nggak kasih tau saya, makanya saya pakai baju kayak gini. Apa perlu saya ganti pak?" tanyaku berbasa-basi
"buang-buang waktu. naik saja ke mobil" ucap Noah dan langsung masuk kedalam mobil. akupun bergegas masuk kedalam mobil. Noah mulai melaju ketempat yang masih belum aku ketahui "maaf pak, saya masih bingung. Kita kemana ya?" tanyaku lagi. dibandingkan penasaran, aku lebih kesal rasanya.
"saya mau membeli tanah untuk bangun rumah baru saya disini. ada beberapa berkas yang harus diurus untuk tanah, lalu material untuk bangun rumah sekaligus furniture untuk dekorasi di dalam rumah. kakek menyarankan saya untuk pergi ke tempat Pak Liam. Kamu kenal dia kan?" Noah balik bertanya
Aku menganggukkan kepalaku. Lalu Noah kembali diam. Padahal aku sudah menunggu Noah untuk menjelaskan lebih lanjut. Noah bertingkah seperti suara yang keluar dari mulutunya itu sudah seperti emas saja, yang sayang kalau di buang-buang "lalu pak?" tanyaku memberanikan diri.
Mata Noah menatapku lekat, akupun tanpa sengaja membalas tatapan mata Noah. mendadak iris mata Noah yang berwarna coklat halus itu seperti memberi getaran tersendiri untukku, aku merasa bayanganku di dalam miror mata Noah "lalu apalagi, ya kamu tunjukin saya jalan untuk ke tempat pak Liam. Setelah itu kamu atur semua berkas dengan dia. Saya sedikit kesulitan untuk berbicara denga orang baru terlalu lama" ucap Noah
"baik pak" jawabku tegas. Noah berdehem "sebelum itu kita ganti pakaianmu dulu. rok mu terlalu pendek kalau bertemu dengan pak Liam. Saya dengar dia pria tua yang tidak tau diri, masih saja nafsu melihat wanita" Noah mengatakan hal sesuka hatinya begitu saja. tentu saja aku protes "tapi pak, saya nggak perlu beli baju, saya bisa pulang untuk ganti baju saya" ucapku
Noah mengangkat telunjuknya, dan menggerakkan telunjuk itu ke kiri dan ke kanan "tidak bisa, itu akan membuang waktuku. Ah itu ada toko pakaian. Kita berhenti sebentar" Noah langsung memarkir mobil didepan toko itu. tidak peduli aku yang protes dan menolak untuk membeli baju baru. Untuk apa aku harus membeli baju yang hanya aku pakai se saat saja.
"pak, saya bisa tepat waktu. lebih baik saya ganti dirumah saja" ucapku sebelum turun dari mobil. Noah mendesah berat "Leona, kita turun dan pilih baju yang sesuai dengan ukuranmu. Jangan ada drama penolakan atau aku harus memaksamu dulu. itu seperti anak kecil yang harus dibujuk untuk makan sayur. Bersikap dewasalah dan keluar saja mengerti" perintah Noah
Aku tertegun dengan sindiran halus dari Noah, alhasil sindiran itu hanya membuatku mengalah dan menuruti perintah Noah. padahal aku sudah membentengi diriku untuk bersikap tegas, jika aku merasakan hal itu bertentangan dengan kenyamananku.
Aku turun dari mobil dan mengikuti Noah masuk ke dalam butik itu, ada beberapa baju yang menurutku cocok untuk aku pakai sebagai outfitku, Noah berjalan kearahku "cepatlah pilih. Jangan membuang waktu, lihat saja ukurannya dan ambil" Noah mendorongku. Dengan kesal aku melangkah dan mengambil sembarangan baju kaos polos berwarna hitam dan hot pants navy. Ketika aku hendak membayar baju itu Noah mengambil baju itu dari tanganku dan berjalan ke meja kasir "dia akan pakai disini langsung. Jadi hitung saja dulu harga baju ini" ucap Noah kepada penjaga kasir.