Dengan tenaga besar, Febiana mengetuk pintu apartemen Edward, setelah selama sepuluh kali tombol bel yang ia tekan tidak membuahkan has. Rasa kesal datang, tetapi belum ada niatan untuk menyerah pada keadaan.
Febiana yakin bahwa pria itu ada di dalam, sebab sekitar lima menit yang lalu, ia menghubungi Ibnu dan sekretaris dari kekasihnya itu berkata bahwa Edward tidak berada di kantor. Namun herannya, berkali-kali bel pintu berseru, tak ada sahutan atau setidaknya tanda-tanda keberadaan pria itu.
Panggilan via telepon yang Febiana lakukan saja belum juga mendapatkan jawaban. Entah di mana Edward berada, yang pasti pria itu telah sukses merisaukan hati Febiana.
Lelah, haruskah menyerah? Pikir Febiana bertanya-tanya. Tubuhnya berangsur lunglai, kakinya terasa linu lantaran terlalu lama berdiri di depan pintu itu. Ia ingin pergi saja, tetapi sebagian hatinya masih berharap ia melakukan sikap yang sama sebagai kesempatan terakhir.
