Ini pertama kalinya bagi Febiana merasakan rasa gugup dalam hidupnya. Keringat dingin sampai keluar di tengkuk serta sekujur wajahnya, tangannya gemetar, bahkan nyaris seluruh tubuhnya. Bukan tanpa sebab, melainkan sebuah agenda pertemuan yang perlu ia lakukan kali ini berbeda dengan pertemuan biasa.
Wanita itu tengah berpijak di depan sebuah pintu ruang kamar yang masih tertutup rapat. Sementara tempat keberadaannya sekarang adalah di sebuah rumah berlantai dua milik pamannya—Zainal—yang belum lama ini ia ketahui. Sore ini Febiana hendak melihat sang ibu kandung yang dibawa oleh Zainal ke dalam rumah itu, terutama di kamar lantai dua yang sedang Febiana tuju.
"Aku belum siap sama sekali. Apa yang harus aku lakukan saat ini?" gumam Febiana sembari menggigit ibu jarinya. "Apa yang akan aku katakan setelah melihatnya?"