"Kita kehilangan jejaknya, Tuan."
Brakk!
"Dasar tidak becus! Hanya mengikuti mereka dan kita akan tau dimana Tuan sombong itu berada dan kalian masih kehilangan mereka? Brengsek!"
Bugh!
Satu orang pria tersungkur di lantai begitu pukulan menerjang tubuhnya. Ia melirik pria muda yang baru saja menyalurkan emosi pada wajahnya. Jika saja bukan karena kekuasaan harta mungkin dia sudah menghabisinya sejak dulu. Ia mengusap ujung bibirnya yang berdarah dan kembali fokus pada dirinya yang mulai beranjak.
"Maaf," ucapnya setelah berdiri. Ia agak mundur, mensejajarkan dirinya dengan tiga orang yang ikut bertugas mengikuti tangan kanan Lucas sebelumnya. Ya ... siapa yang tak mengenal Tuan kaya raya tapi sombong itu? Bahkan seluruh pelosok negrinya tau siapa Lucas Vantouxer.
"Kalian hanya membuang-buang waktuku saja dengan laporan tak berguna. Pergi!" ujar pria muda itu menekan kata 'pergi'. Dadanya naik turun menahan emosi karena ulah anak buahnya yang tidak pernah becus mengerjakan sesuatu. Dan sialnya ia masih mempertahankan mereka. Memang bodoh, tapi siapa lagi yang mau ia rekrut sebagai orang-orangnya mengingat hampir semua orang pintar di negrinya mengikuti jejak Lucas. Hah! Lagi-lagi karena Lucas. Ia benar-benar terobsesi menghancurkan Lucas secepatnya. Dan itu tak semudah yang ia bayangkan.
Semua orang yang ada di dalam ruangan lantas keluar seperti yang pria muda itu perintahkan. Mereka tak mau jadi sasaran empuk Tuannya dan babak belur sana sini. Enak saja, mereka merawat tubuh dengan biaya yang tidak sedikit dan pria muda itu seenak hati mengahajar mereka. Oke ... mereka tau dia lebih berkuasa dan kaya dibanding mereka. Ah lupakan.
Pria muda itu mengotak-atik ponselnya. Menelpon seseorang.
"Bantu aku menemukan dimana Lucas berada. Aku akan menghabisinya," ujarnya penuh ambisi begitu teleponnya tersambung.
Pria diseberang terkekeh. "Kau punya apa hingga mau membunuh Lucas? Pria sepertimu harusnya santai dan menikmati tubuh para jalang jalanan daripada harus bersusah payah campur tangan dengan Lucas."
Bukannya terdiam dan merenungi ucapan pria diseberang. Pria itu malah tertawa mendengarnya. Semua orang tampak meremehkan dirinya. Memangnya sekuat apa Lucas hingga semua orang perlu takut dan menghindar? Sialan!
"Siapa yang peduli siapa aku? Aku benci dengan pria sombong sepertinya."
Pria diseberang kembali tergelak. "Kau tak pernah berkaca, Giolson."
Pria itu mendengkus kasar. Jika saja pria diseberang bukan temannya ia bisa saja mengirim utusan untuk membunuhnya. Hanya saja ia sedikit kasihan dan tidak diketahui juga orang yang ia anggap teman itu justru meremehkan dirinya hanya karena nama Lucas disebut.
"Aku tak peduli, Erg. Yang jelas aku ingin segera melihat Lucas di pemakaman," ujarnya lagi. Ia tak mau mengakui kekalahan jika masih bisa bertahan. Peduli setan dengan siapa dirinya yang berada jauh dengan kasta Lucas atau Erg. Ia hanya tidak suka dengan kesombongan yang terus Lucas tebarkan ke sana kemari. Pria itu sungguh membuatnya bosan.
"Baiklah. Aku sedikit kasihan padamu. Aku akan mengirimkan alamat dimana Tuan Vantouxer itu berada. Kita lihat nanti, siapa yang akan berada di pemakaman lebih dahulu. Kau atau justru … Lucas?"
Suara kekehan terdengar nyaring. Tepat menghina seorang Giolson di depannya dan itu dilakukan oleh Erg. Sialan!
Brengsek Erg! Tega sekali ia mengatakan itu padanya. Dia benar-benar teman tak tau diuntung. Baiklah. Kita lihat Erg siapa yang akan menang melawan seorang Lucas Vantouxer.
"Terimakasih temanku yang baik. Aku akan mengirimkan jalang baru untukmu sebagai tanda terimakasihku."
Erg kembali terkekeh. Giolson memang menganggapnya sebagai teman, padahal ia hanya mencari keuntungan dengan para wanita yang selalu Giolson kirimkan. Ah ... mereka benar-benar menggoda hasrat seorang pria-nya. Giolson benar-benar terbaik.
"Segera kirimkan Giolson. Aku sudah lama tak bermain."
Giolson mendengkus. Lama katanya? Baru saja tiga hari yang lalu ia mengirimkan jalang dan sekarang Erg bilang sudah lama tak bermain? Pria itu sungguh tergila-gila dengan permainan ranjang.
"Baiklah. Aku akan mengirimkan lima sekaligus agar kau semakin puas menjejalkan burung kecilmu itu pada mereka," ejek Giolson.
"Brengsek kau!"
Giolson tertawa. "Segera kirimkan alamatnya Erg," ujarnya mengingatkan tujuan awalnya.
"Kau lihat saja pesan yang masuk. Aku ada urusan."
Tut!
Giolson menaruh ponselnya di atas meja. Ia menatap tajam pintu di depan sana seolah sedang menatap seseorang yang sudah lama ingin ia lenyapkan. Bibirnya tersungging miring mengingat sebentar lagi akan menemui Tuan Agung di negrinya itu.
"Bersiaplah Tuan Lucas yang terhormat. Kematian akan datang menghampirimu sebentar lagi."