Chereads / Munaafik / Chapter 6 - Buta

Chapter 6 - Buta

Matahari mulai meninggi, sudah sepuluh menit aku berdiri disini, bel rumah juga sudah kubunyikan berkali-kali, tapi sosok seorang Asyraf masih belum juga muncul, handphone nya juga tak bisa kuhubungi. Sebenarnya kemana dia? Apa dia lupa bahwa aku akan menemuinya hari ini.

Tanpa sadar lima menit sudah berlalu lagi, masih tak ada apa-apa. Suara dering ponsel melambung menyadarkan ku, tertera nama Asyraf disana, tanpa basa basi segera kuangkat panggilan dari nya.

"Assalamualaikum Zah maaf, hari ini aku nggak bisa ketemu sama kamu, aku ada urusan mendadak, maaf juga karena tidak memberitahu mu lebih awal."

Aku mendengus pelan, mungkin ada sedikit rasa kesal yang menjalar.

"Waalaikumussalam, oh ok nggak apa-apa, kalau gitu lain kali saja ya!"

Aku menutup sambungan telepon dan segera beranjak dari rumah Asyraf. Padahal hari ini aku sangat tidak ingin duduk diam dirumah, aku pikir dengan kerumah Asyraf dapat menghapus kebosanan. inti nya hari ini aku ingin keluar entah kemana. Walaupun sendiri tak masalah, toh Asyraf bukanlah satu-satunya duniaku. Aku masih memiliki dunia lain yang mampu kunikmati dengan sendiri walaupun tanpa sosok seorang Asyraf.

aroma kertas yang khas memenuhi rongga hidung, perpustakaan umum Surabaya disini lah sekarang aku berada. mengikis waktu yang kupunya dengan tenggelam diantara ribuan kertas yang mengukir berbagai huruf dalam sebuah kisah ataupun informasi.

Banyak buku yang membuatku tertarik. semuanya ingin ku baca dalam waktu yang bersamaan.

"Zahrah, kamu disini?"

Seseorang mengejutkan ku dengan menepuk pelan pundakku, aku lantas menoleh kearah sumber suara. Juha.

"Oh Juha kamu juga disini? memang nya hari ini kamu free?"

"Seperti itu lah, hari ini aku nggak ada jadwal ngajar disekolah."

Aku mengangguk paham sebagai jawaban.

"Oh ya Zah, gimana kalau hari ini aja kita keluar?"

"Kamu nggak bisa nunggu hari Ahad?"

"Afwan Zah, aku ada rapat guru pada hari itu."

"Okelah lagi pula aku juga bosen."

"Kita mau kemana?"

"Kemana aja boleh."

Satu mangkok ice crem didepan ku sudah tinggal setengahnya. Sementara gadis berkerudung coklat susu disana masih sibuk bermain dengan sedotan digelas nya.

"Kamu kenapa Juha? Apa yang kamu pikirkan?"

"Zah aku mau tanya."

"Tanya apa?"

"Rasanya jadi munafik itu kayak gimana ya?"

"Kenapa kamu bertanya hal itu padaku Juha?"

Mataku sedikit menajam, apakah dia sudah curiga sejak waktu itu? Saat dimana Asyraf menjemputku. Tak biasanya Juha su'udhon terlebih dahulu.

"Ya nggak apa-apa Zah, wajar kan kalau aku tanya hal ini sama kamu?"

Aku menghembus kan nafas pelan, menyendok ice cream lalu melahap nya kemudian perlahan aku menghadap keluar jendela. Menatap hiruk piruk kota Surabaya disana.

"Rasa nya manis, lebih manis dari gula, mengalahkan madu, manis nya membuatmu buta, tak tahu apa itu hitam maupun putih, tak tahu apa itu merah maupun biru."

Aku kembali mengalihkan pandangan ku pada sosok yang berada didepan ku. Tanpa kusadari bulir air mata menggulung pelan pipi nya yang kering. Aku sedikit membulat kan mataku, apa adakah perkataan ku yang menyinggung nya?

"Juha? Aku salah ngomong ya? Maaf."

dia mengusap pelan pipi nya yang basah, lalu menggeleng pelan seraya tersenyum lembut kearahku.

"Nggak kok Zah, kamu nggak salah ngomong. Ucapanmu sangat menjawab pertanyaanku. Makasih."

"Lalu kenapa kamu nangis?"

"Aku takut jadi munafik, tapi kalau sudah terlanjur bagaimana?"

"Ha? Maksud kamu?"

"Ah tidak, tidak apa-apa, aku mungkin sudah bicara terlalu jauh, hari ini cukup sampai disini saja ya Zah, bye."

Juha segera beranjak pergi, setidak nya apa yang dikatakan Juha ada benar nya. 'Bagaimana jika sudah terlanjur' kalimat itu terngiang-ngiang dalam benakku. Mengganggu ketenangan batin yang kupunya.

Satu hal lagi yang membuatku terganggu adalah. Ada apa dengan Juha? Mengapa dia menanyakan hal itu?

Aku segera beranjak dari kedai ini, tak ada alasan lagi aku berlama-lama. Kakiku menapak trotoar yang melintang, menuju arah yang tak jelas, keinginan untuk pulang masih jauh dari jangkauan pelupuk mata. Jadi kuikuti langkah kakiku dimana ia ingin menapak. Dan disini lah aku berakhir, dalam sebuah taman.

Aku hanya duduk diam dibangku taman, mataku sibuk melihat berbagai hal didepan sana. Banyak orang berdiam diri disini dengan tujuan yang berbeda-beda. Dimulai dari sebuah leluarga, orang pacaran, anak kampus, pedagang keliling, anak kecil yang bermain, semuanya ada disini. Bagaimana aku menyebut nya. Muhasabah, itulah yang ada didalam benakku sekarang. Mungkin saja dengan melihat berbagai macam orang dapat merubah sesuatu dalam diriku yang selama ini tidak sempat untuk kurubah. Ambil hikmah nya saja.

"Assalamualaikum ukhty."

"Waalaikumussalam."

Seorang wanita yang sama sekali tak kukenal menyapaku dengan tatapan hangat. Netra pekat nya menunjukkan kewibawaan yang ia miliki.

"Boleh saya duduk disebelahmu?"

"Oh, tentu, silahkan."

Aku sedikit bergeser dan memberi tempat untuk wanita itu. Wajah nya masih muda, mungkin usia nya sama denganku.

"Kamu Zahrah bukan? Najwa Azzahrah."

"Anda kenal saya?"

"Kamu itu lucu ya! Siapa coba yang nggak kebal kamu?" ucap nya dengan sedikit tawa.

"Saya Anna Ailla Azzura. Panggil saja Anna."

Aku sedikit mengukir lekung bulan sabit diwajah ku sebagai balasan.

"Kamu sendiri disini?"

"Seperti yang kamu lihat."

"Saya lihat kamu dari tadi diam disini, kenapa?"

"Saya lagi muhasabah."

"Dengan mengamati orang?"

Aku mengangguk pelan sebagai jawaban.

"Muka kamu kayak ada masalah."

Kali ini aku mengukir seulas senyum pada nya. Memandang dalam pada sorot mata nya.

"Kamu seorang Psikolog?"

"Saya mahasiswa semester akhir jurusan Psikolog. Maaf, bukanya saya ingin mencampuri urusan kamu, lagipula kita baru saja kenal kan?"

Aku sedikit menyeringai, melihat nya seperti melihat sosok Juha disana. seperti menganggapku seorang teman tapi aku tak pernah menganggap lebih dari seorang kenalan saja.

Diam masih setia menyelubung diantara kami. Kupandang sekali lagi sosok yang berada disebelah ku, pandangan nya beralih terpacu pada arah depan.

"Mbak saya mau tanya."

"Panggil saja Anna."

"Ok Anna."

"Mau tanya apa?"

"Rasanya jadi Munafik itu bagaimana sih?"

"Ha? Maksud Zahrah?"

"Nggak cuma pengen tahu pandangan kamu pada orang munafik itu seperti apa?"

"Menurut pribadi ya Zahrah. Eum... aku boleh panggil Zahrah kan?"

"Ya silahkan. Menurut pribadi kamu?"

"Menurutku. Kita nggak bisa sih mengklaim seseorang sebagai munafik, walaupun memang sebenarnya dia munafik. Kita nggak tahu kedepan nya mereka mungkin lebih baik dari pada kita. Karena nggak selamanya orang itu berbelok kan? Yah walaupun ada yang selamanya berbelok. Lebih baik membenahi diri sendiri untuk jadi lebih baik daripada mengurusi urusan orang lain."

"Kalau kamu tahu aku munafik apa yang kamu pikirkan?"

"Ha?"

"Lucu bukan? Aku seorang penda'i, membicarakan masalah agama kesana kemari, menegakkan ajaran agama Islam dengan mengangkat tinggi tombak kebenaran, akan tetapi topeng yang ku kenakan sangat sempurna untuk menutupi wajah asliku. Apa yang kamu pikirkan jika aku seorang munafik Anna?"

"Ali Bin Abi Tholib pernah mengatakan nya bukan? Undhur man qoola wa laa tandhur man qoola (Lihatlah apa yang dibicarakan dan jangan melihat siapa yang berbicara) Selama yang kamu katakan benar, selama apa yang kamu sampaikan bukan dusta, aku akan mengikuti ucapanmu Zahrah walaupun kamu seorang munafik. Kita mencari ilmu nggak hanya melalui guru saja bukan? Contohnya seperti saat ini kamu melihat berbagai macam orang untuk muhasabah. mereka juga menjadi guru untukmu kan?"

Aku sedikit menunduk, air mataku hampir keluar dari sangkar nya, bahkan untuk seorang munafik sepertiku masih ada yang percaya padaku? Aku sedikit tersenyum, ucapan nya sangat luar biasa.

"Ah, maaf apa aku terlalu banyak bicara?"

"Tidak, hei bisa kita bertukar nomor? Siapa tahu kita bisa jadi teman."

"Tentu saja boleh Zahrah."

Mendung menggulung pelan kota Surabaya, temeram cahaya masih mampu meberobos paksa awan tebal yang melintang, jalanan kota masih padat seperti biasanya. Aku tertuduk diam didalam angkot, mataku menatap kosong jalanan yang sudah mulai basah oleh rintik hujan, klakson dibunyikan berkali-kali, kemacetan juga belum reda sama sekali, sementara deru rintik hujan semakin deras menyapu bumi yang sedikit lembab. aroma air hujan yang bercampur dengan polusi memekakan saluran pernafasan, suara gemricik air juga ikut melambung memecah berbagai keramaian ditengah kemacetan.

Jalanan yang padat kini sedikit tenang, angkot yang kunaiki juga sudah mulai berjalan dengan baik, hanya aroma dan gemricik hujan yang masih setia menemani perjalanan pulangku dalam senyap.

hujan sudah reda, hanya menyisakan trotoar yang basah, lampu-lampu jalan juga sudah mulai dinyalakan, seharian ini aku sudah keluar, matahari sore mulai tergelincir pelan dibalik awan penghujung barat, menyisakan mega merah yang menyala dengan terang.

Mataku tertuju pada pemakaman komplek yang sudah tua, puluhan bahkan ratusan batu nisan berjajar disana, ilalang pun menjalar disegala penjuru, bau kamboja yang menyegat menujukkan pekat aroma kematian, pemakaman adalah tempat yang sangat cocok untuk melakukan muhasabah, batu nisan yang berjajar membuat setiap insan yang melihat mengingat akan kematian.

Air mataku keluar dengan sendirinya, kali ini aku benar-benar menangis, jika kita renungkan secara bersama, adakah yang tahu kapan ajal akan menjemput, tak ada yang tahu apakah pagi akan kembali menyapa kita esok hari, tak ada yang tahu ini akan menjadi sholat yang terakhir atau bukan, bahkan lima menit dari sekarang tak ada yang tahu apa yang akan menimpa kita. Tak ada yang tahu kapan kematian akan bertemu dengan kita, yang menjadi masalah adalah kita mati dalam keadaan apa? Mengerikan bukan jika kita mati dalam keadaan munafik.

Aku kembali melangkahkan kaki menuju rumah, banyak hal yang terjadi hari ini dan aku tidak menyesal hari ini aku keluar rumah.

"Assalamualaikum, Zahrah pulang."

"Waalaikumussalam, ya Allah zahrah kenapa sekarang kamu baru pulang, kamu kemana aja?"

"Zahrah hari ini nggak jadi kerumah teman Mi, teman Zahrah hari ini nggak ada dirumah. jadi Zahrah keliling-keliling."

Aku beranjak menaiki anak tangga untuk menuju kamar.

"Kamu nggak mau makan dulu?"

"Zahrah udah kenyang Mi."

"Kamu udah sholat ashar?"

Aku mengangguk sebagai jawaban, lalu kembali naik kekamar.

Aku melihat Abi keluar dari kamar nya yang terletak didepan kamarku.

"Kamu sudah pulang Zahrah? Kemana saja kamu? Abi khawatir sama kamu Zah."

"Zahrah cuma jalan-jalan saja kok Bi, Zahrah udah gede Bi, bukan anak kecil lagi yang perlu pengawasan ekstra dari orang tua."

"Kamu itu anak Abi satu-satunya Zah, kamu juga seorang wanita."

Abi berlalu meninggalkanku, aku sedikit menarik ujung baju Abi, Abi sedikit menoleh kearahku.

"Bi Zahrah nggak nyesel kok hari ini pulang larut, banyak hal yang mungkin akan merubah Zahrah walau sedikit."

Aku melihat senyum mengembang diwajah Abi, Aku pun kembali masuk kekamar untuk mengistirahatkan diri sejenak.