Hanya hitam yang mampu tertangkap oleh indra penglihatan nya, semuanya gelap bagaikan sebuah potongan malam yang diselimuti kegelapan serta ketakutan. 'Rasa nya manis, lebih manis dari gula, mengalahkan madu, manis nya membuatmu buta, tak tahu apa itu hitam maupun putih, tak tahu apa itu merah maupun biru.' Ucapan Zahrah masih jelas melambung memekak kan telinga Juha.
Ini manis, sangat manis hingga tak mampu untuk memaksa mata nya terbuka. Tersesat, bagaikan musafir yang tak tahu arah mata angin untuk pulang, terombang-ambing diatas jalur yang penuh ketidak jelasan. Juha tahu betul apa yang ia rasakan, lakukan dan ia dekap adalah sebuah kegelapan yang nyata. Juha sangat mengerti jika dia terjerat, tenggelam dan terperangkap lebih dalam, tapi dia tidak bisa keluar, atau lebih tepatnya tidak mau. Pandangan nya gelap hatinya pun ikut menghitam, sebenarnya siapa yang munafik disini?
Rembulan memandang bumi dalam diamnya, begitu pula ribuan bintang yang terjajar disekitarnya, mataku tak mampu terpejam sama sekali, seakan ada yang mengganjal dipelupuk mata. Ku langkahkan kakiku menuju meja belajar, mengambil buku catatn dan juga bulpoint, lalu kumenuju balkon kamar, menyandarkan punggungku pada kursi kecil disana, menulis apapum yang ada dipikiranku walaupun hanya sajak-sajak yang tak jelas. Pikiranku melaju pada hari esok, besok hari Ahad, aku harus mengisi pengajian di masjid Agung Surabaya. Materi apa yang akan kusampaikan?
"Kalau kamu tahu aku munafik apa yang kamu pikirkan?"
"Ha?"
"Lucu bukan? Aku seorang penda'i, membicarakan masalah agama kesana kemari, menegakkan ajaran agama Islam dengan mengangkat tinggi tombak kebenaran, akan tetapi topeng yang ku kenakan sangat sempurna untuk menutupi wajah asliku. Apa yang kamu pikirkan jika aku seorang munafik Anna?"
"Ali Bin Abi Tholib pernah mengatakan nya bukan? Undhur man qoola wa laa tandhur man qoola (Lihatlah apa yang dibicarakan dan jangan melihat siapa yang berbicara) Selama yang kamu katakan benar, selama apa yang kamu sampaikan bukan dusta, aku akan mengikuti ucapanmu Zahrah walaupun kamu seorang munafik. Kita mencari ilmu nggak hanya melalui guru saja bukan? Contohnya seperti saat ini kamu melihat berbagai macam orang untuk muhasabah. mereka juga menjadi guru untukmu kan?"
Tanganku bergerak mengukir huruf demi huruf pada lembar kertas yang ada didepanku. Undhur maa qoola wa laa tandhur man qoola Mungkin itu yang akan kubahas. Lengang menyelimuti kesendirianku, mataku terus tertuju para sepetak tulisan yang terpampang jelas disanan.
"Cih. Aku seperti melakukan pembelaan saja pada sifat munafik." umpatku.
Kupandang lamat langit hitam diatasku, warnanya mungkin sama dengan warna hatiku, akan tetapi langit tak sepenuhnya gelap, terdapat berbagai benda langit yang siap menyingkap kegelapan nya, andaikan mendung menggulung semuanya, masih ada walaupun secercah cahaya bintang yang mampu menembus, apakah hati juga begitu? Walaupun terlalu pekat apakah masih ada sinar harapan yang menyingkap walaupun hanya secercah? Mataku terus mengedar kesegala penjuru langit, tanpa sadar pria paruh baya itu duduk disebelahku.
"Abi? Abi belum tidur?"
"Kamu sendiri belum tidur."
"Zahrah nggak bisa tidur Bi."
"Abi juga nggak bisa tidur."
Aku menghembuskan nafas pelan, kembali menatap bintang gemnintang yang membentang memecah kegelapan yang melintang. Abi juga ikut mengedarkan pandangan nya pada langit malam yang berteman sepi.
"Bi." panggilku lirih
Abi menoleh kearahku, memandang lembut mata kami yang bertemu.
"Bi apa langit malam itu seperti hati?"
"Maksud Zahrah?"
"Malam itu gelap Bi, tapi selalu saja ada yang menyingkap gelap nya, entah itu bintang ataupun rembulan. walaupun tergulung oleh mendung yang tebal, masih ada yang menyingkap gelap nya walaupun hanya seutas cahaya."
"Belum tentu Zahrah, saat mendung benar-benar tebal maka nyaris tidak ada cahaya yang mampu menerobos, jika Kamu ingin Abi mengibaratkan langit malam itu hati, abi mengibaratkan mendung itu sebagai nafsu dan bintang sebagai keinginan, jika nafsu terlalu tebal akan tapi jika masih ada kemauan untuk menepisnya maka bintang masih memiliki kesempatan untuk menerobos mendung yang tebal, merubah atau dirubahnya hati itu tergantung kemauan Zah, sekarang pertanyaan nya adalah 'apakah hatimu mau dirubah."
Aku tersentak dengan pertanyaan Abi, 'Apakah hatimu mau dirubah?' Aku selalu senang jika berbicara dengan Abi, jika nafsu menyeretku pada lubang kemaksiatan, maka Abi yang menarikku kembali kejalan yang benar walaupun hanya selangkah saja.
"Bi jangan pergi dari Zahrah, kalau sewaktu-waktu Zahrah kesasar, Zahrah butuh Abi untuk menyeret Zahrah kembali."
"Memangnya kamu ada niatan untuk kesasar?"
Bukan ada niatan kesasar Bi, tapi Zahrah memang sudah kesasar, Abi sedikit tertawa oleh ucapanku, lalu beranjak dari tempat duduk nya kemudian mengusap pelan puncak kepalaku.
"Tidur Zah, udah malam."
Aku hanya mengukir seulas senyum untuk menjawab Abi. Dering ponsel menyeretku masuk kedalam kamar, tetdapat nama Asyraf disana. Aku menolak panggilan nya dan mengirim pesan singkat padanya, Asyraf meminta bertemu denganku selepas pengajian di masjid Agung, aku juga menolak nya dengan berbagai alasan bohong yang kurangkai, aku ingin mengakhiri nya, tapi aku tak tahu bagaimana aku melakukan nya, setidaknya perlahan-lahan aku ingin mencobanya.
Kurebahkan pelan punggungku pada kasur yang membentang, kucoba perlahan memejamkan mata, mulutku terus memuroja'ah hafalan yang kupunya, mungkin alam mimpi mampu menyeretku dengan itu.
Alarm yang kupasang merambat mememenuhi kamarku, mataku perlahan terbuka, tepat jam setengah tiga sekarang, aku beranjak kekamar mandi untuk mengambil wudhu, sepertiga malam adalah waktu yang sangat mustajab untuk merapalkan do'a. Ruas-ruas jariku serasa membeku saat air keran mentuh tanganku, dingin nya mengelabui kehangatan yang tersembunyi, segera kuhamparkan sajadah untuk mempertemukan kening dengan bumi.
Mataku menjelajah keseluruh kamar hingga pandanganku jatuh pada buku catatan yang terduduk manis diatas meja belajarku, aku segera berdiri dari duduk panjangku dan menghampiri nya, masih terdapat tulisan kemarin malam disana 'Undhur maa qoola wa laa tandhur man qoola' aku sedikit tidak yakin akan mengankat tema ini pada pengajian hari ini. Ucapan Abi juga masih tertancap tajam pada indra pendengaranku, aku ingin berubah meskipun itu perlahan tapi aku menginginkan kepastian dalam perubahanku. tidak ada manusia yang sempurna didunia ini, semuanya pasti pernah melakukan sebuah dosa, para penda'i juga bukanlah orang yang suci, mereka memberikan nasihat bukan untuk yang mendengar nya saja, akan tetapi teruntuk dirinya sendiri juga. terkadang ucapan diri sendiri adalah senjata tajam untuk pengingat diri sendiri. Tanganku kembali mengukir huruf hingga memebentuk satu kata. Sebuah kata yang kutakuti akan tetapi sangat lekat denganku, sebuah kata yang tak mau kubahas didepan banyak orang, sebuah kata yang tak pernah kugunakan dalam mengisi pengajian dimanapun, Munafik.