"Oh, Tuhan… Max Sayang… Cepat sekali kau recharging-nya… Kau begitu menggebu-gebu malam ini, Sayang…" Junny Belle mengusap-ngusap tangan sang pangeran tampan nirmala yang masih melingkar di perutnya.
"Dari mana kau bisa tahu, Darling?" tanya Max Julius menyeringai nakal.
"Tentu saja… Tubuhmu kini sudah penuh sesak di dalam tubuhku di bawah sana…" sahut Junny Belle dengan rona merah yang kembali menyelangkupi kedua belahan pipinya.
"Bolehkah aku menggerakkan pinggulku lagi, Darling?"
"Memangnya aku bisa menolaknya?" tanya Junny Belle berguyon.
Max Julius membenamkan kepalanya ke ceruk leher dan bahu sang bidadari cantik jelita. "Jangan menolakku, Darling… Please…"
"Oke… Kalau begitu, lakukanlah… Lakukan dengan lembut ya…"
"Tentu saja, Darling…"
Perlahan-lahan tapi pasti, Max Julius memulai pergerakan memompanya dari belakang tubuh Junny Belle. Junny Belle mulai mendesah dan mendesau tak karuan. Laksana air yang mengisi penuh sebuah gelas kosong, gairah kewanitaan Junny Belle semakin dipompa, semakin naik dan menjulang tinggi.
Sungguh suatu malam yang panjang bagi sepasang sejoli yang saling mencintai dalam diam selama ini, dan sekarang telah memiliki keberanian yang tinggi untuk saling mengungkapkan cinta.
***
Jam sudah menunjukkan pukul tiga lewat sedikit dini hari. Mendadak saja telinga Max Julius yang tajam nan awas, mendengar bunyi yang aneh dari lantai bawah. Max Julius terbangun seketika. Dalam waktu hanya beberapa detik, Max Julius sudah bisa meraih kembali kesadarannya.
Suara barang pecah belah yang jatuh ke lantai kembali terdengar. Max Julius menjadi semakin awas dan pandangan matanya mulai tajam dan serius. Mau tidak mau Max Julius bangun sepelan mungkin dan sehati-hati mungkin memisahkan penyatuan tubuhnya dengan tubuh sang bidadari cantik jelita.
Junny Belle hanya sedikit menggeliat dan kemudian terlelap lagi. Mungkin karena ia sudah terlalu lelah sehabis melayani permainan sang pangeran tampan nirmala yang beronde-ronde. Max Julius tersenyum cerah. Ia mengecup mesra kening dan kemudian bibir sang bidadari cantik jelita. Perlahan-lahan kedua kaki turun dari tempat tidur. Tampak tubuh polos Max Julius yang tinggi, besar, kekar nan bedegap. Max Julius mengenakan kembali undies dan jubah tidurnya. Dia berjalan ke lemari dan mengeluarkan pistol pendeknya yang sudah lengkap dengan corongnya.
Sepelan mungkin dan sehati-hati mungkin, Max Julius membuka pintu, keluar dari kamar, dan menutup kembali pintu kamar tersebut. Max Julius pelan-pelan menuruni tangga. Suara langkah-langkah kaki dan orang-orang yang berbisik-bisik semakin jelas terdengar dari lantai bawah. Max Julius memperkuat genggamannya pada pistol pendek yang dibawanya.
"Hati-hati, Bodoh… Kau sudah menjatuhkan cangkir-cangkir keramik itu tadi… Bisa-bisa nanti perempuan itu bangun dan memergoki kita sebelum kita sempat mengeluarkan semua barang berharga dari rumah ini…" tegur maling yang pertama kepada salah satu dari kedua rekannya.
"Oke… Oke… Tidak tampak aku ada cangkir-cangkir keramik di sudut sana… Gelap sekali lantai bawah ini…" kata si maling yang kedua membela diri.
"Sudah kaubongkar paksa laci meja yang berisi uang itu?" tanya si maling yang pertama beralih ke maling yang ketiga – yang memang ditugaskan untuk membongkar laci meja kerja Junny Belle di mana ia menyimpan semua uang hasil transaksi-transaksi hariannya.
"Sudah… Tidak kusangka wanita itu menyimpan banyak sekali uang tunai di rumah. Apa dia tidak memiliki rekening bank di Indonesia ini? Bodoh sekali dia bisa menyimpan banyak sekali uang tunai di laci meja kerjanya ini…" celetuk maling yang ketiga.
"Sikat saja… Jarang ketemu wanita yang polos dan teledor seperti ini… Masukkan ke dalam tas kita…" kata si maling yang pertama menyeringai jahat.
"Ada barang berharga lainnya?" tanya si maling yang kedua.
"Di lantai bawah ini kebanyakan peralatan kafe dan perlengkapan toko roti. Untuk perhiasan dan sejenisnya, sepertinya wanita itu hanya menyimpannya di lantai atas," sahut si maling yang ketiga.
Si maling yang pertama – yang kelihatannya adalah sang pemimpin dari ketiga maling yang masuk ke rumah Junny Belle – terlihat mereka-reka sesuatu terlebih dahulu sebelum akhirnya ia memutuskan,
"Oke… Kita naik saja ke lantai atas…" kata si maling yang pertama.
"Kalau si wanita itu sempat terbangun karena kehadiran kita, kita harus bagaimana? Apakah… Apakah kita harus langsung membereskannya?" tanya si maling yang kedua menelan ludah ke dalam tenggorokannya yang serasa tercekat. Terlihat jelas si maling yang kedua sedikit lebih penakut daripada kedua rekannya.
"Tentu saja… Aku sudah memberimu tongkat kasti dan pisau belati pendek itu kan? Kau mau ikut ke sini tapi penakut kali kau kutengok!" kata si maling yang pertama sembari menjitak sekali kepala si maling yang kedua.
Si maling yang kedua hanya mengelus-elus kepalanya sendiri. Si maling pertama mulai mengarahkan jalur mereka ke lantai atas. Namun, sungguh sial bagi ketiga maling itu… Begitu mereka menaiki anak-anak tangga dan berbelok ke lantai atas, alangkah terhenyaknya mereka bertiga tatkala mereka melihat bayangan tubuh lelaki yang tinggi, besar, kekar nan bedegap tengah berdiri di tengah-tengah tangga dan menatap mereka bertiga dengan sorot mata tajam nan mematikan.
"Kalau kalian berpikir bisa naik ke lantai atas dan merampok istriku, kalian salah besar…" desis Max Julius dengan nada kejam dan tak berperasaan sama sekali.
Max Julius mulai menodongkan pistol pendeknya yang sudah dipasangkan corong ke ketiga perampok tersebut.
Si maling yang pertama mengangkat tongkat kastinya dan hendak menyerang Max Julius. Namun, dengan sigap Max Julius langsung menembakkan pistol pendek bercorongnya ke bahu sang perampok. Sang perampok berteriak nyaring dan kontan melepaskan tongkat kastinya. Tentu saja itu menciptakan kegaduhan yang luar biasa di pagi-pagi buta yang teramat tenang nan sunyi.
Junny Belle tersentak kaget dan sekonyong-konyong terbangun dari tidurnya yang lelap. Dia segera meraih kesadarannya, turun dari tempat tidur dan buru-buru mengenakan pakaiannya. Dia langsung bergerak ke pintu kamar tidurnya begitu dilihatnya sang pangeran tampan nirmala tak lagi berada di atas ranjang mereka.
Si maling yang ketiga yang berada di urutan nomor dua juga mengangkat tangannya yang menggenggam tongkat kasti, hendak menyerang Max Julius. Max Julius juga dengan sigap menembakkan pistolnya ke bahu dan kali ini juga ke lutut maling yang ketiga. Maling yang ketiga berteriak nyaring, juga langsung ambruk ke anak-anak tangga, menyusul si maling yang pertama tadi.
Si maling yang kedua – yang memang agak penakut tadi – kini berdiri dengan tubuhnya yang bergelugut hebat. Dia berpaling, menuruni anak-anak tangga dengan cepat, hendak melarikan diri. Max Julius juga tidak melepaskannya. Dia juga menembakkan pistol pendek bercorongnya ke betis si maling yang kedua. Setelah berteriak nyaring, si maling yang kedua itu juga terlihat ambruk tak berdaya ke lantai.