Lampu-lampu kristal berpendar temerang, makanan telah tertata rapi di atas meja makan. Beberapa orang koki sibuk mempersiapkan hidangan utama dan pelayan sibuk melayani seluruh anggota keluarga Wijaya. Mereka menuangkan air ke dalam gelas atau minuman lain seperti wine dan jus.
Alexandro, Melani, Lexandro, Karina tampaknya sudah tidak sabar untuk mengetahui seperti apa wanita pilihan Leonardo. Mereka bergumam dalam benak masing-masing. Mungkin sedang berpikir bagaimana cara memperkenalkan diri, mungkin juga cara menjatuhkan dan menghina wanita itu.
"Cih, kenapa mereka terlambat?!" Melani berdecak sebal.
"Ya ampun, Ibu, baru juga tiga menit!" Alexiana menyela ucapan ibunya.
"Ya, tetap saja, waktu kita itu sangat berharga." Melani melipat tangan di depan dada.
Alexandro menatap lamat istrinya, dari ujung kepala sampai kaki terlihat penuh perhiasan sampai menyilaukan. Pria itu bergeleng pelan, kenapa sampai harus berdandan seheboh itu hanya untuk makan malam perkenalan.
"Panjang umurnya, mereka datang." Alexiana mendengar langkah kaki Leonardo dan Jasmine yang semakin mendekat. Bunyi heels stilleto yang lancip beradu dengan lantai pualam menjadi tanda kehadiran mereka.
"Selamat malam, Ayah, Ibu. Ini Jasmine, calon istri dan ibu dari anakku." Leonardo menggandeng Jasmine.
"Malam Paman, Bibi." sapa Jasmine
Semua keluarga terperangah saat menatap Jasmine, bahkan Alexiana yang semula tampak acuh pun —karena sudah mengenal Jasmine— mulai menaruh perhatian. Wanita yang sedang berdiri di dekatnya itu sungguh amat sangat berbeda dari wanita yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakitnya 10 hari yang lalu.
Semua mata tepukau, bahkan pelayan yang bertugas pun sampai tak berkedip saat menatap Jasmine. Wanita itu tampak sangat mengagumkan, dengan balutan gaun coctail putih bersih model backless yang sengaja memamerkan punggung. Dadanya terlihat bulat dan penuh, pinggul besar dengan pinggang langsing, Jasmine memamerkan tubuhnya yang orang bilang seindah gitar Spanyol.
Mata bulat besar Jasmine menjadi nilai plus tersendiri pada riasan make up flawless. Dominan warna peach membuat wajah Jasmine telihat segar. Bibirnya memakai warna pink coral yang lembut, lip gloss itu mengkilat membuat kesan bibir yang juicy sekaligus sexy. Rambut hitam sebahu dibiarkan tergerai dengan satu sisi menutupi telinga, sisi lain tertata rapi di belakang telinga. untuk assesoris, Relia sengaja menitik beratkan pada telinga. Anting besar melingkar sepanjang garis daun telinga yang terbuka dan turun sampai melebihi rambut. Relia memesannya khusus dari perancang perhiasan kondang tanah air.
Jasmine berjalan seanggun mungkin dengan pandangan 90 derajad ke depan. Dagunya sedikit terangkat. Bahu tegap dan berjalan tanpa melihat ke bawah. Jasmine mempelajari pelajaran tata krama dan gestur tubuh dengan baik rupanya. Leonardo berdecis sambil tersenyum manis. Ia tak menyangka wanitanya bisa beradaptasi dengan mudah.
"Silahkan duduk!" Alexandro mempersilahkan Jasmine menempati kursinya di samping Alexiana, Leonardo membantu Jasmine menarikkan kursi sebelum ia juga duduk pada kursinya sendiri.
"Aku Alexandro, Ayah Leon, Ini Ibunya, Melani. Lalu ada Lexandro, kakak tertua, Karina, istrinya, Isabella dan Arabella anak mereka, lalu Alexiana putriku yang tercantik."
Melani melenggokkan kepalanya, sedikit kesal karena Jasmine jauh dari bayangan gadis kampung yang ada di dalam benaknya. Jasmine lebih mirip Dewi Yunani atau putri dalam negeri dongeng. Lexandro menatap Jasmine datar, entah apa yang ada di dalam pikirannya, yang pasti tangannya terus menggenggam tangan Karina. Karina menggigit bibir bawahnya karena rasa cemburu, tapi ia tak berani menatap Jasmine atau pun Leonardo karena Lexandro. Arabella dan Isabella hanya duduk diam acuh dengan pembicaraan itu sembari makan dari suapan para pengasuh mereka. Alexiana tersenyum pada Jasmine.
"Namaku Jasmine, senang mengenal kalian semua," jawab Jasmine sembari menundukkan sedikit saja kepalanya.
"Kau cantik sekali, Jasmine. Tak heran Leon tergila-gila padamu." Alexandro memuji kecantikan Jasmine.
"Terima kasih atas pujiannya, Paman."
"Panggil saja aku Ayah, Nak. Kita akan segera menjadi keluarga."
"Baik, Ayah."
Makan malan dimulai, pelayan menyajikan hidangan dengan susunan seperti saat di restora tempo hari —saat Leonardo melamar Jasmine. Jasmine telah mempelajarinya dan masih hapal betul dengan cara makan yang diajarkan Leonardo. Bedanya, kali ini Jasmine menahan suapannya dalam porsi kecil agar tetap terlihat anggun. Melani menatap bingung, kenapa anak petani bisa punya gestur beradab layaknya anak dari keluarga besar.
Saat makan malam berlangsung Leonardo tak segan-segan menunjukan kemesraan mereka, mulai dari mengelus punggung Jasmine sampai mengiriskan daging pada piringnya dan menukar dengan piring calon istrinya itu. Karina merasa sebal karena cemburu, ia menggenggam leher gelas wine erat-erat.
"Aku sudah kenyang, aku ingin istirahat." Karina bangkit dari tempat duduk, namun lagi-lagi Lexandro menahan tangannya.
"Mau kemana, Sayang? Tidak sopan meninggalkan tamu kita." Lexandro menatap tajam istrinya, tubuh Karina gemetaran, ia kembali duduk dan diam pada tempatnya.
"Jangan coba-coba pergi!! Lihatlah mereka berdua begitu mesra. Adikku, dia sama sekali tak mencintaimu, Sayang!" Lexandro berbisik di telinga Karina, membuat wanita itu sekuat tenaga harus menahan air matanya.
"Hukum saja aku lagi, Lex. Jangan kau siksa batinku untuk melihat semua ini." Karina melirihkan suaranya.
"Baiklah, aku akan menghukummu lebih keras dan liar dari biasanya. Aku harap kau segera sadar dan melupakan adikku!"
"Maaf Ayah, Ibu, sepertinya Karina sedang tidak enak badan. Aku akan mengantarnya ke kamar." Lexandro bangkit. Alexandro mengangguk sebagai jawaban.
"Maaf Ayah, Ibu, perutku rasanya mual." Karina mencari alasan juga.
"Benarkah? Kalau begitu lekaslah beristirahat!! Aku harap mual ini karena kau mengandung, bukan mual karena bau busuk pupuk kandang yang melekat pada tubuh seseorang." Melani menyindir Jasmine karena dia anak seorang petani.
"Melani, jaga mulutmu!!" bentak Alexandro.
"Baiklah, kami permisi. Maafkan kami, Jasmine. Kami harap kau menikmati makan malam dan perkenalan ini." Lexandro berbasa basi, Jasmine bangkit dan mengangguk. Karina membuang muka, enggan menatap keduanya.
"Leon bilang kau anak seorang petani, benarkah?" Melani kembali memulai pembicaraan begitu hidangan penutup di sajikan.
"Benar, Ayah saya seorang petani di desa."
"Ternyata benar, aku hampir tetipu dengan cara berpakaian dan gerak gerikmu. Yah, jujur, sebagai Ibu aku masih berharap Leonardo mendapatkan wanita kelas atas. Yang setara dengan nama keluarganya." Melani menyeringai, masih menyuapkan desert puding mangga masuk ke dalam mulutnya.
"Memang apa salahnya menjadi anak petani? Aku tak malu atau bahkan sedih. Aku bangga dengan pekerjaan Ayahku. Tanpa petani, tak akan ada nasi di meja makan ini, kita tak akan kenyang. Benarkan, Bu?" Senyum Jasmine.
"Puft ..." Leonardo menahan tawa. Alexandro tersenyum juga dengan jawaban Jasmine. Wajah Melani tampak tegang, namun ia belum menyerah untuk menyerang Jasmine.
"Apa pekerjaanmu saat ini?"
"Apa aku masih perlu bekerja ketika punya kekasih anak seorang konglomerat?" Jasmine menggenggam tangan Leonardo. Saling tatap dengan sorot mata berbinar seakan sedang dimabuk asmara.
"Ap itu berarti kau hanyalah wanita matre murahan yang mencoba untuk menggoda anakku?"
"Ibu, bukannya aku malas dan tidak mau bekerja. Aku hanya menjaga harga diri calon suamiku. Bagaimana pandangan orang bila tahu Leon tak bisa memenuhi kebutuhan kekasihnya sampai masih harus bekerja keras? Tak hanya Leon, bukankah seharusnya seluruh keluarga Wijaya juga malu?" Jasmine berkelit, ia memutar balikkan fakta dan ucapan Melani.
"Jadi maksudmu kau ingin hidup mewah sambil bermalas-malasan dengan uang anakku? Dasar, apa kau wanita yang tak punya harga diri!!"
"Setidaknya, aku tak harus memakai berbagai macam perhiasan sampai sesilau itu untuk menunjukan nilai diriku, Ibu," tukas Jasmine, Melani langsung menilik penampilannya yang bagaikan toko perhiasan berjalan.
"Wah, ternyata kau wanita yang unik juga. Baru kali ini ada yang membalas ucapan pedas Ibuku dengan ucapan yang lebih pedas." Alexiana terkikih.
"Maaf, Ibu. Jasmine akan mengalah lain kali." Jasmine menundukan sedikit kepala, lalu tersenyum manis.
"Bwahahahaha!!" Akhirnya Leonardo tertawa juga.
Anak sialan!! umpat Melani dalam hatinya. Ia langsung membanting sebet makan dan pergi dari ruang makan keluarga.
Alexandro terkekeh dengan tingkah kekanakan istrinya. Sudah lama ia juga tak tertawa selantang itu.
"Kapan kalian menikah?" Alexandro mengembalikan fokus makan malam itu ke hal yang seharusnya. Pernikahan.
"Awal bulan depan," jawab Leonardo.
"Hah??" Jasmine menoleh spontan, Leonardo tak pernah membicarakan apapun tentang tanggal mau pun persiapan pernikahan. Kenapa tiba-tiba saja ia sudah menentukan kapan pernikahan mereka akan berlangsung? Benar-benar menyebalkan, tapi Jasmine hanya bisa terdiam. Pernikahan ini memang hanya untuk memberi status pada bayinya agar tidak terlahir sebagai anak haram, bukan karena keinginan dan cinta dari kedua belah pihak.
"Dua pekan lagi?" Alexandro juga tampak setengah tak percaya, anaknya terlalu terburu-buru.
"Benar, aku tak ingin perut Jasmine terlihat." Leonardo memberikan alasan.
Cih, pembohong! Batin Alexiana, ia menyeringai sambil bersangga dagu.
"Baiklah, Ayah juga sudah tak sabar lagi untuk menggelar pesta pernikahan yang termegah tahun ini." Alexandro mengangguk.
"Sederhana saja, Ayah. Aku dan JAsmine setuju untuk tidak menyebarkan berita pernikahan kami. Benarkan, Sayang?" Leonardo menoleh pada calon istrinya.
"Be—benar."
Tentu saja ia tak ingin pernikahan ini diketahui publik. Ini hanya pernikahan perjanjian selama sembilan bulan, batin Jasmine, entah kenapa justru Jasmine merasa sesak dan sakit hati bila memikirkannya. Apa benar, dia mulai jatuh cinta pada Leonardo?
"Baiklah, terserah kau saja. Ayah mendukung apapun keputusan kalian." Alexandro mengangguk senang.
"Terima kasih, Ayah."
"Sepertinya Jasmine lelah. Aku akan kembali ke kediamanku lebih awal. Ayah berisirahatlah," tutur Leonardo, ia bangkit dan mengecup pipi Ayahnya.
"Baik, berhati-hatilah, Leon."
"Tolong jaga Ayah, Na."
"Tanpa kau suruh pun aku akan menjaganya." Alexiana ikut bangkit.
"Kami undur diri, Ayah, Kak Ana." Jasmine berpamitan. Alexandro mengangguk, wajahnya terlihat puas.
"Hati-hati. Jangan lupa minum vitaminnya." Ana mengelus lengan Jasmine.
"Aku selalu meminumnya tepat waktu, Kak." Jasmine mengelus perutnya.
"Baguslah." Alexiana tersenyum kecut, ia merasa agak kasihan dengan Jasmine. Wanita polos itu masih menganggap dirinya sedang mengandung. Padahal semua kebohongan itu hanya digunakan adiknya agar bisa memiliki dan menghukum Jasmine dalam penjara bernama pernikahan.
"Ayo!" Leonardo menawarkan sikut lengannya, Jasmine mengangguk dan menerimanya.
oooooOooooo
Simak terus ya!!
Dukung kisah cinta Jasmine dan Leonardo dengan powerstone kalian! Aku cinta aku cinta 💋💋💋💋💋
Jangan lupa ikutan giveaway!!!!
Novel gratis dari Belle 🥰🥰🥰🥰