Seorang pria mempercepat langkah kakinya begitu turun dari sebuah bis. Wajahnya terlihat tegang karena rencana yang ia kerjakan bersama dua orang parternya yang lain tidak berjalan dengan baik. Pada punggungnya menggantung sebuah tas ransel hitam besar.
"Hei, plan B. He's going home!!" serunya pada cellphone kuno.
"What???!!"
"Aku akan pergi ke tempat, V. Pastikan kau menggiring wakil walikota ke sana." Pria itu langsung menutup panggilannya.
Tak berapa lama kemudian, bersamaan dengan hujan yang turun. Ia telah masuk ke dalam sebuah bangunan veterian/ klinik hewan. Melewat pintu belakang gedung. Ada pintu baja menuju ke rubana (ruang bawah tanah) kecil tepat di samping pintu emergency itu. Dari dalam tanah mengeluarkan asap dan bau tak sedap. Itu adalah saluran pembuangan air kotor, pipa air panas, instalasi gas, dan juga tempat panel-panel mesin terletak. Itulah yang staff veterian yakini, padahal jauh di dalamnya menyimpan sebuat rahasia besar.
Pria itu menuruni tangga menuju ke dalam rubana. Ia harus menyelusuri lorong kecil selebar 60 cm, dengan ketinggian 180cm sebelum menuju ke sebuah ruangan besar.
"V, rencana kita lusut. Wakil walikota membatalkan kunjungannya ke panti asuhan dan bergegas pulang," ujarnya pada rekan wanitanya.
Seorang wanita tampak serius mengecek selang infus dan juga monitor penunjuk tanda fital. Ia langsung berpaling begitu pria itu mengoarkan kekesalannya.
"Hah?? Yang benar?" Wanita yang dipanggil V itu mengusap dahinya panik.
"Aku harus segera menyelesaikan hal ini."
Pria itu menaruh tas ranselnya pada meja, lalu mengeluarkan semua perkakas di dalamnya. Beberap komponen besi berwarna hitam berhamburan di atas meja. Dengan cepat tangannya bekerja membentuk komponen-komponen besi itu menjadi sebuah senjata laras panjang.
V menelepon rekannya yang lain. Menyuruh pria itu mengarahkan sang wakil walikota untuk melewati jalanan di depan veterian miliknya.
"Aku akan naik," ucap pria itu. Ia memeriksa lagi monitor pada pergelangan tangannya. Ada sebuah layar kecil yang menunjukan gps, terus berkedip kemana pun mobil sang wakil walikota bergerak.
"Semoga berhasil, S."
"Aku tak pernah lusut, V. Hanya butuh pria itu melewati jalan ini. Semua tergantung padanya," sergah pria itu. Bukan masalah untuk membidik sasarannya itu. Masalahnya adalah bagaimana cara rekannya memancing wakil walikota. V melipat tangan dan mengangguk paham.
Pria itu menuju ke sisi lain rubana, melewati lorong sempit berbeda. Lorong itu punya lebar dan ketinggian dengan lorong masuk, namun keluar pada kamar pribadi milik V. Keluar pada celah kecil yang disembunyikan di belakang lemari pakaian.
"Kau sudah memacingnya?" tanya Pria itu pada rekannya yang lain.
"Sudah, Walikota telah membuatnya melewati jalan itu. Kau tunggu saja."
"Baiklah."
Setelah mematikan panggilan, ia memasang senjata laras panjang dengan tripod, menaruhnya tepat jendela kamar mandi. Tanpa menunggu lagi pria itu bergegas mengecek tekanan udara, memastikan kecepatan angin sebelum akhirnya mengatur jarak dan sudut bidikannya.
Tak lama sebuah mobil muncul bersamaan dengan bunyi desingan pelan dan target tereliminasi. Pria itu bergegas pergi.
"Aku harus pergi V. Kau urus sisanya."
"OK."
—ooooo —
Malam harinya, seorang dokter dengan pakaian serba hijau masuk ke dalam ruang otopsi. Pada lehernya tergantung tanda pengenal, dokter Arkam, ahli bedah forensik. Ia mengenakan masker dan juga hair cap hijau, senada dengan pakaiannya.
"Selamat malam, Dok." Sapa petugas kepolisian yang berjaga di depan kamar otopsi.
Dokter itu hanya mengangguk dan masuk ke dalam. Dokter itu melepaskan tanda pengenalnya, menyembunyikan di dalam saku celana saat masuk ke dalam ruangan. Di dalam ada juga empat opsir kepolisian. Mereka berdiri tegap pada sudut ruangan, dekat dengan dua mayat. Satu mayat Wakil walikota, satunya adalah sopir pribadinya.
Dokter itu mengenakan sarung tangannya sebelum mulai bekerja. Ia mengambil beberapa peralatan medis yang telah dipersiapkan di dekat mayat. Tanpa ragu ia mengecek lubang peluru, mengutak atik isi di dalam kepala untuk mengambil sempel.
Beberapa orang polisi yang melihatnya merasa mual. Tapi mereka tetap harus berjaga karena pembunuhan terhadap wakil walikota adalah tindakan yang serius.
"Kalian mau di sini atau keluar? Jangan membuatku sebal dengan gerak gerik kalian!" tanya dokter itu lirih.
"Bolehkah kami keluar? Aku sudah tak tahan dengan baunya, ini menjijikan."
"Tentu saja."
"Terima kasih, Dok."
Dua orang polisi bergegas keluar, sedangkan dua orang yang lain tetap tinggal. Mereka adalah dektektif kepolisian yang bertugas menangani kasus ini.
"Apa kau dokter Arkam?" tanya dua yang lainnya.
"Benar."
"Kenapa suaramu seperti wanita? Apa kau sakit?" gurau yang lain.
"Ya, uhuk ... hanya flu dan mungkin karena masker, uhuk ... suaraku jadi sedikit berubah." elaknya.
"Ah, begitu."
"Jangan banyak bicara, kalian menggangguku."
"Baik, Dok."
Cukup lama, dokter itu menganalisis kedua korban tewas. Menuliskan beberapa laporan penting hasil investigasinya sebagai seorang petugas forensik.
"Apa Anda percaya ada yang bisa membunuh orang dengan seakurat itu? Bahkan di tengah cuaca buruk siang tadi." Salah satu polisi memecah keheningan.
"Atasanku bilang hanya Shadow yang bisa melakukan itu, Dok. Apa Anda pernah mendengarnya? Tim Omega?" Yang lain menimpali, ternyata keduanya adalah opsir polisi siang tadi.
Tangan dokter itu berhenti menuliskan laporannya. Terdiam sesaat sebelum melanjutkan gerakan tangan.
"Tapi kata ketua tim mereka sudah mati, benarkah? Jangan-jangan mereka belum mati dan berkeliaran dengan bebas."
"Itu menakutkan," sahut temannya yang lain.
"Hentikan omong kosong kalian, Tim Omega hanya khayalan, kebohongan pemerintah untuk menakut-nakuti musuh." ujar sang dokter, ia memberikan kertas laporan yang di susunnya pada petugas kepolisian.
"Tapi kata pak kepala."
Dokter itu menatap tajam dari balik kacamatanya. Mereka berdua mendadak terdiam, ada aura yang menakutkan keluar dari matanya yang lebar.
"Itu sudut kemiringan tembakan berdasarkan lubang pada kepala korban. Kalian bisa menganalisa dari mana datangnya peluru itu. Ketinggian, arah, dan juga letak."
"Terima kasih, Dok." Senyumnya.
Dokter Arkam tak menjawab, memilih bergegas pergi dari tempat itu. Tubuh tingginya tertutup oleh pakaian kedodoran, membuat seakan-akan tubuh itu lebih berisi selayaknya lelaki.
"Ah, menyebalkan." Ia masuk ke dalam ruang dokter, lalu melepaskan hair cap dan juga maskernya. Ternyata seorang wanita cantik dengan bibir merah merona dan rambut pirang panjang sepinggang. Dia tak lain adalah V.
Seorang pria berusia kepala tiga tengah mendesah di atas sofa, tubuhnya hampir telanjang. Dengan segera V melepaskan pakaian operasi, mengenakan kembali pada tubuh pria itu. V mengenakan kembali pakaiannya.
"Dasar lelaki, isi di otak kalian cuma seks." V terkikih, namun berkat itu dengan mudah ia memanipulasi keberadaan dokter Arkam. Beruntung pula dokter itu tidak bertubuh gemuk, kalau tidak V harus mencari cara lain untuk memanipulasi data otopsi mayat.
"Aku beri kau hadiah, a hand job, okay." V tersenyum, ia memainkan tangannya pada benda lonjong milik sang dokter sampai memuncratkan cairan di dalam celananya.
"Oke, beres. Maaf ya, tapi tenanglah, obat yang ku berikan padamu tidak berbahaya. Kau hanya akan berhalusinasi. Sebentar lagi kau akan bangun dan melupakan perjumpaan kita seakan-akan itu hanyalah mimpi." V terkikih. Ia mencuci tangannya sebelum meninggalkan ruang milik dokter Arkam.
Saat dokter itu terbangun, ia mendapati dirinya begitu basah karena keringat dan juga lelehan miliknya sendiri.
Teringat dalam benaknya, ia baru saja membantu seorang wanita cantik yang terpeleset di depan matanya. Wanita itu begitu cantik dan menggoda, aromanya tubuhnya begitu membuat sang dokter tergelitik. V memang sengaja menyemprotkan sedikit obat racikkannya saat terjatuh tadi. Membuat sang dokter terbius dan semakin lama semakin berhalusinasi.
"Di mana wanita itu? Godness!! Apa aku hanya sedang bermimpi basah?" Panik sang dokter, ia bergegas melepaskan pakaiannya.
— MVV —
Vote gaeskuh
Comment
Dan follow ya
💋💋💋💋