Author pov
Maya dan Lulu berjalan menuju parkiran. Disana bertemu dengan sang idola Maya. Pak Yovie. Maya dan Lulu jadi bingung harus bersikap bagaimana. Dan lagi ini masih jam pelajaran, sedangkan mereka berdua sudah membawa tas dan menuju parkiran.
"Apa yang kalian lakukan disini?" tanya pak Yovie dengan nada tegas dan muka datarnya yang dapat menyihir para wanita yang melihatnya.
"I-itu pak... Maya sakit. Makanya saya antar dia pulang." Jawab Lulu ragu. Lulu tahu betul bagaimana karakter sosok idola sahabatnya ini. Tegas, galak, dan kadang tak memandang siapa yang di hadapannya.
"Mengantar pulang teman sakit? Kenapa gak ke UKS aja? Disana sudah ada dokternya kan? Mending dibawa kesana dari pada kamu repot-repot antar dia pulang. Dan lagi.... Kenapa kamu juga bawa tas?" mata pak Yovie menatap tajam ke arah Lulu. Lulu semakin menunduk.
"Maaf pak sebelumnya. Tapi bapak juga bawa tas dan sepertinya baru saja datang ke parkiran ini juga. Apa bapak sudah tidak ada kelas?" sela Maya. Dia membantu Lulu berbicara. Lulu yang mendengarnya pun jadi sedikit lega. Pak yovie terlihat sedikit gugup. Ya jelas saja. Peraturan sekolah salah satunya guru dan murid jam pulangnya tetap sama dengan pengecualian kepentingan sekolah.
"Apa itu urusan kamu?!" bentak pak Yovie menghilangkan rasa gugupnya. Tapi sangat terlihat jelas di mata Maya dan Lulu bahwa pak Yovie menyembunyikan sesuatu.
"Bukankah peraturannya sudah jelas pak? Guru dan murid pulang di jam yang sama yang sudah di tentukan?" tanya Maya mengintimidasi balik.
"Wah wah.... Sudah mulai mengajari guru ya? Kalian ini murid yang cerdik sekali, memutar balikkan fakta. Padahal saya cuma mau menanyai baik-baik. Tapi kalian sudah memancing amarah saya. Saya membawa tas ke mobil saja sudah kalian ceramahi. Bagaimana jika saya akan menghadiri pertemuan dengan sekolah lain? Dan kalian ternyata anak-anak pembangkang. Lihat sekarang! Kalian bolos jam pelajaran. Dan siapa guru kalian? Hah?! Biar bapak adukan kalian!" celoteh pak Yovie panjang lebar.
"Lu, mending kamu balik aja ke kelas." bisik Maya singkat. Tapi mana mungkin Lulu meninggalkan Maya begitu saja. Dia masih disana.
"Kenapa gak pergi? Udah kamu balik aja." pinta Maya sekali lagi. Sedangkan pak Yovie mencoba mencari-cari jadwal kelas Maya dan Lulu.
"Percuma kalau balik. Aku akan temenin kamu." jawab Lulu tegas.
"Wah wah wah.... Ternyata setia kawan ya? Saya pikir kamu bakal umpankan teman kamu ini." ucap pak Yovie dengan sinis dan senyum licik. Pak Yovie sudah menemukan guru yang mengajar di kelas Maya dan Lulu. Dia menelpon guru tersebut.
"Pak Hendru. Disini ada dua siswi yang mau kabur dari pelajaran anda, pak. Saya menemukan mereka di parkiran. Iya pak... Baiklah." pak Yovie mematikan ponselnya. Lalu menatap kedua muridnya yang berada di hadapannya kembali. Dia tersenyum penuh kemenangan saat melihat kedua muka siswinya terlihat gelisah.
"Hukum saja aku pak. Aku yang memaksanya ikut pergi. Jadi bebaskan Lulu." ucap Maya dengan tegas. Dia tak mau menyeret Lulu kedalam masalahnya kembali. Lulu sudah seringkali mendapat masalah karenanya. Pak Yovie tersenyum penuh kemenangan.
"Baiklah kalau begitu. Saya beri kesempatan untuk kamu pergi dari sini dan kembali ke kelas." ucap pak Yovie menyetujui keinginan Maya. Maya dan Lulu terkejud mendengarnya. Maya meminta Lulu cepat-cepat pergi. Dan Lulu sempat menolak. Tapi Maya meyakinkan Lulu untuk tetap pergi dan akhirnya Lulu pergi. Lulu berlari ke arah taman. Dia mengintip dari balik pohon. Dilihatnya Maya dan pak Yovie sedang berbicara. Dan tak lama kemudian mereka pergi menggunakan mobil pak Yovie. Lulu sangat terkejud melihatnya. Dia menunggu pak Hendru datang. Tapi sudah lama tak kunjung datang. Lulu jadi curiga. Dia langsung berlari menuju parkiran dan langsung mengendarai mobil miliknya.
Lulu melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Dia sangat khawatir pada sahabatnya. Tapi dia tak tahu kemana sahabatnya itu di bawa. Saat menyetir dia sambil berpikir keras dimana pak Yovie membawa Maya. Lalu dia teringat GPS. maya selalu menyalakan GPS. Lulu pun menepikan mobilnya dan melacak GPS milik Maya. Tak lama kemudian dia berhasil menemukannya. GPS nya mengarah ke arah taman kota. 'Apa yang mereka lalukan disana?' batin Lulu. Tanpa pikir panjang Lulu dengan cepat menuju ke taman kota. Dia mengitari pelataran taman kota. Mencari mobil pak Yovie. Tak lama kemudian Lulu berhasil menemukannya. Berada di pojokan tempat parkir. Lulu pun memarkirkan mobilnya sedikit jauh dari tempat pak Yovie karena tempat parkirnya lumayan penuh.
Lulu sedikit berlari menuju mobil pak Yovie. Saat sampai disana, yang dicarinya tak di temukan. Tak ada pak Yovie dan juga Maya di sana. Pasti mereka pergi kesuatu tempat yang tak jauh dari sana. Lulu berlari kearah taman. Dia menoleh ke kanan kiri, berlari kesana-kemari tapi tak menemukan dua orang yang dia cari. Dia sudah memutari taman juga tak menemukannya. Lalu dia coba menatap layar ponselnya, mencari posisi GPS nya berada. Lulu diarahkan ke parkiran. 'ah mungkin mereka sudah kembali ke parkiran.' batin Lulu. Dia berlari kearah parkiran. Sesampainya disana dia tak melihat siapapun. Hanya orang-orang yang datang dan pergi. Tapi GPS nya mengarah ke parkiran. Lulu pun mendekati mobil milik Pak Yovie. Dia mengintip ke dalam. Dilihatnya ponsel Maya di sana. Tapi tak ada Maya. Lulu tak menyangka kalau Maya bakal meninggalkan ponsel kesayangannya itu. Lulu jadi semakin khawatir.
.
.
.
Maya pov
Udara disini sangat sejuk. Menenangkan hatiku yang sangat suntuk. Ku biarkan angin menerpa rambutku yang tergerai. Tempat ini sungguh menghipnotisku. Ku pejamkan mata untuk menikmati suasana ini. Aku tak pernah menyangka bahwa pak Yovie sangat pengertian. Aku sangat berterima kasih padanya sudah membawaku kemari.
Flashback mode on....
"Sekarang kamu mau kemana?" tanya pak Yovie padaku. Aku hanya menundukkan kepala. Aku juga tak tahu mau kemana.
"Sebelumnya apa yang buat kamu mau pergi dari sekolah di jam pelajaran kayak gini? Apa ada masalah?" tanya pak Yovie sekali lagi. Aku hanya mengangguk. Lalu pak Yovie memintaku untuk ikut dengannya. Tanpa bertanya aku mengikutinya memasuki mobilnya.
Di dalam mobil pak Yovie menanyai tentang masalahku. Awalnya aku hanya diam. Tapi pak Yovie terus memancingku supaya aku cerita. Dan aku pun menceritakan semuanya. Entah sejak kapan air mata mengalir begitu derasnya. Pak Yovie terlihat iba menatapku. Sepertinya beliau tak akan lagi memarahiku. Beliau terdiam. Aku seperti memikirkan sesuatu.
Kami pun berhenti di dekat taman. Pak Yovie membukakan pintu untukku. Beliau mengajakku ke satu gedung yang kelihatannya kosong tapi masih terawat. Tak ada orang yang berkeliaran disana. Kami pun pergi ke atap gedung. Disini aku dapat melihat pemandangan kota yang indah.
Flashback mode off
Aku terlalu lama melamun di sini. Aku sampai aku tak sadar bahwa pak Yovie sudah tak ada disini. Aku menuruni anak tangga dan mencarinya. Di lorong gedung ini terlihat bersih. Tapi tak ada seorang pun yang terlihat. Sejujurnya aku penasaran gedung apa ini.
Saat aku melihat-lihat seisi lorong, aku menemukan satu pintu di sebelah kananku sedikit terbuka. Aku mencoba masuk ke dalamnya. Terlihat seperti kamar yang sangat mewah dan besar. Dan sepertinya luas kamar ini hampir satu lantai disini. Ku lihat ada beberapa lukisan abstrak terpajang di dinding dan satu lukisan besar perempuan cantik di tengah-tengah deretan lukisan abstrak. wajahnya begitu menawan dan anggun. Matanya sangat teduh. Senyumnya begitu manis mempesona. Pakaiannya biru muda campur putih membuat kulit putihnya semakin bersinar. Sepertinya dia pemilik kamar ini.
Aku terlalu terpaku melihat lukisan itu sampai aku tak sadar kehadiran pak Yovie di sampingku. Beliau ikut memperhatikan lukisan itu.
"Bukankah dia cantik?" tanya pak Yovie mengagetkanku. Aku pun menoleh padanya.
"Dia siapa, pak?" tanyaku kembali menatap lukisan itu. Pak Yovie tidak langsung menjawaku. Kulirik dia. Menunggunya menjawab pertanyaanku.
"Dia satu satunya wanita yang bapak cintai...." jawabnya dengan senyum getir. Terlihat jelas dimata pak Yovie menahan kesedihan.
"Dia begitu menawan sampai bisa membuatku jatuh cinta. Dia sangat berharga untukku." Kutatap pak Yovie. Saat ini tak ada raut wajahnya yang menunjukkan kalau beliau guru yang galak.
"Sekarang dia dimana, pak?" tanyaku penasaran. Raut wajahnya terlihat begitu sedih. Air mata mulai jatuh dari pelupuk matanya. Aku sungguh tak menyangka dengan reaksi pak Yovie yang seperti ini. Matanya terpejam. Beliau tak langsung menjawab pertanyaanku. Dia pun pergi menuju sofa di tengah ruangan. Aku pun mengekor.
"Dia sudah meninggal." jawaban pak Yovie terdengar sangat berat. Aku duduk di sebelahnya.
"Dia meninggal saat kami akan menikah. Kami memang berencana menikah muda saat itu. Tapi tak pernah ku sangka hal itu yang membuatnya harus meninggalkanku untuk selamanya." pak Yovie menjelaskan dengan sedikit terisak. Aku mengambilkan tisu yang berada di meja depan sofa dan memberikannya pada pak Yovie.
"Apa yang terjadi, pak?" tanyaku penasaran.
"Dia dibunuh oleh temannya yang tak setuju dengan pernikahan kita. Temannya ini sebenarnya suka dari dulu padanya. Dan bisa dibilang dia cemburu. Yahh... Walaupun temannya ini juga perempuan. Makanya karena dia tak bisa memiliki Diana, dia membunuh Diana agar tak bisa dimiliki siapa pun. Dia memang sudah benar-benar gila. Jika aku menyadari hal itu, mungkin aku akan mencegah hal itu terjadi. Tapi kejadian itu terjadi begitu cepat. Dia menemani Diana di ruang make up dan membunuh Diana disana." pak Yovie menghela nafas panjang untuk menenangkan dirinya. Setelah itu dia melanjutkan ceritanya.
"Dan dia juga mengakhiri hidupnya setelah membunuh Diana. Aku sangat tak bisa mempercayai itu benar-benar terjadi." pak Yovie menatapku lekat-lekat.
"Maya. Apa kamu tau kenapa aku menceritakan ini padamu?" tanya pak Yovie yang masih menatapku. Aku menggeleng karna memang aku tak mengerti. Dia menghela nafas dan memalingkan wajahnya.
"Aku ceritakan ini padamu supaya kamu juga harus hati-hati pada Luna. Bukankah dia terlihat sangat menggilaimu sampai berbuat senekat itu? Apa kamu tak takut jika suatu saat dia bisa saja menghalangimu untuk menikah dengan lelaki yang kamu sayang? Dia bisa saja berbuat demikian bukan?" asumsi pak Yovie sangat mengena dipikiranku. Dia menatapku dengan raut wajah sedih. Aku pun jadi terpikirkan kejadian di sekolah tadi. Dia memang terlihat menakutkan dengan cara dia seperti itu. Aku jadi takut jika hal itu bakal terjadi padaku juga. Aku menundukkan wajahku. Aku jadi sedikit melamun. Sampai aku tak sadar kalau pak Yovie sudah tak lagi duduk di sampingku. Beliau berjalan menuju ke depan lukisan Diana. Begitu aku menyadarinya, aku menyusul pak Yovie.
Pak Yovie menatap lukisan itu. Kali ini aku tak melihat kesedihan di wajah pak Yovie. Saat aku sampai di sampingnya, pak Yovie menatapku lekat-lekat. Lalu senyum terukir dibibirnya. Dia terlihat begitu menawan dengan sedikit semburat cahaya yang masuk melewati celah jendela. Aku terpaku menatapnya. Seperti melihat malaikat disore hari.
"Apa kamu tak mau bertanya kenapa aku membawamu kemari? Padahal ini tempat paling aku sukai dan tak ada orang yg menjamah gedung ini selain diriku. Dan sebenarnya ini gedung yang akan ku persembahkan untuk mendiang Diana." aku terkejut mendengar penyataan pak Yovie barusan. Pantas saja tak ada orang disini. Aku menggelengkan kepalaku karna memang aku tak mengerti. Pak Yovie tersenyum manis. Sampai-sampi aku seperti tersihir oleh senyuman itu. Tak ku alihkan tatapanku darinya.
"Coba sekarang kamu mengacalah. Cerminnya ada disana." pak Yovie menunjukkan cermin yang berada di seberang lukisan Diana. Aku pun berjalan menuruti apa yang di katakan oleh pak Yovie. Pak Yovie pun mengikutiku dari belakang.
"Sekarang lihatlah wajahmu lalu lihat lukisan Diana." aku melihat wajahku lalu lukisan Diana dari pantulan cermin. Tunggu dulu! Ada apa dengan wajahku? Wajahku begitu mirip dengan wajah Diana. Mataku melotot melihatnya. Aku tak percaya dengan ini. Yah walaupun menurutku masih lebih cantik Diana, tapi wajahku begitu mirip dengannya. Kulihat dari cermin pak Yovie tersenyum manatapku.
"Sekarang apa kamu tau alasanku membawamu kemari?"
"A-aku mirip kak Diana?" jawabku gugup. Kulihat wajahku mulai memerah. Apa lagi saat kulihat pak Yovie tersenyum mendengat jawabanku.
"Bukan hanya itu..." wajah pak Yovie berubah serius. Aku membalikkan badan. Ku lihat wajahnya menunggu penjelasannya.
"Setelah ku dengar ceritamu tadi, aku ingin dan berharap kamu tak mengulang kejadian yang menimpa Diana. Mungkin aku yang sebagai gurumu dan kamu sebagai muridku itu tak boleh menjalin hubungan, tapi ku harap aku bisa menjagamu sebagai muridku." penjelasan pak Yovie membuatku mematung dan sepertinya jantungku berhenti berdetak. Sepertinya wajahku sudah mulai merah semua. Pak Yovie mendekatkan wajahnya di depan wajahku. Jantungku mulai berdebar hebat. Rasa takut dan senang bercampur. Aku memejamkan mataku. Ku raskan tangan pak Yovie mengacak-acak rambutku. Aku pun membuka mata. Kulihat pak Yovie tersenyum geli melihat tingkahku yang sudah tak karuan. Aku jadi semakin malu dibuatnya.
Pak Yovie berjalan menuju pintu. Aku pun mengikutinya. Dan kami pun keluar dari gedung itu. Kami menuju mobil. Pak Yovie mengantarku pulang. Di perjalanan aku hanya melamun memikirkan apa yang dikatakan pak Yovie tadi. Aku masih tak percaya dengan apa yang terjadi hari ini. Sosok guru idolaku mencoba melindungiku dan sepertinya juga menyukaiku... -masih asumsiku saja-
Kami pun sampai di depan rumah. Pak Yovie langsung pamit saat aku menawarkan mampir sebentar. Katanya ada urusan lain. Jadi tak bisa mampir. Dia menjanjikan di lain waktu. Aku pun masuk ke rumah setelah pak Yovie pergi. Kulihat mobil milih Lulu terparkir di halaman. Aku pun cepat-cepat masuk ke dalam. Sebelum masuk ke dalam rumah, ternyata Lulu duduk di kursi teras. Dia berdiri saat melihatku datang. Wajahnya terlihat khawatir.
"Kamu dari mana aja sih, May?! Tadi aku cari kamu gak ketemu. Ku ikutin GPS di hp mu, hp mu malah kamu tinggal di dalam mobil pak Yovie. Emang kalian kemana? Apa yang pak Yovie lakukan ke kamu? Kamu gak diapa-apain kan?!" Lulu langsung menyerangku dengan bertubi-tubi pertanyaannya. Aku tersenyum padanya. Lalu ku gelengkan kepala.
"Aku baik-baik aja kok, Lu. Malahan aku sangat berterima kasih sama pak Yovie. Aku jadi sangat tenang setelah pergi sama pak Yovie." jawabanku membuat raut wajah Lulu terlihat penasaran.
"Apa yang dilakukan si killer ke kamu?" tanya Lulu dengan mata disipitkan menyelidik. Aku tertawa kecil melihat tingkah sahabatku ini. Ku ajak dia masuk ke rumah. Ku jelaskan semua yang terjadi kepada Lulu. Mata Lulu membelalak hebat. Dia benar-benar sangat terkejut mendengar ceritaku yang terdengar menghayal. Tapi itu kenyataannya.
"Kamu percaya begitu saja? Bisa aja itu trik dia buat menenangkanmu aja? Atau trik dia untuk menggodamu? Bisa aja kan?" tanyanya meyakinkanku. Aku hanya tersenyum. Aku berdiri dan meninggalkan Lulu di ruang tamu. Aku berjalan menuju kamarku dan ku taruh tasku dia atas meja belajarku. Lulu mengikutiku ke kamar.
"May, apa kamu benar-benar mempercayainya?" tanya Lulu meyakinkanku. Dia terlihat mengkhawatirkaku.
"Kalaupun apa yang kamu katakan itu benar, aku tak masalah, setidaknya dia berhasil menenagkanku, bukan?" tanyaku meyakinkan Lulu balik. Lulu tertegun mendengar jawabanku. Dia duduk di bibir ranjang. Dia terlihat melamun. Aku menepuk pundaknya menyadarkannya dari lamunan.
"Kamu mikir apa? Aku baik-baik aja kok. Tenang aja." ucapku disertai senyuman. Dia menatapku dengan tatapan kosong. Entah apa yang dipikirkannya. Aku pun merebahkan tubuhku diatas kasur. Hari ini sungguh hari yang melelahkan. Kejadian hari ini begitu cepat. Aku juga sudah melupakan masalah Luna. Dan sama sekali tak terpikirkan apapun tentang Luna.
Lulu pov
Tak pernah terfikirkan olehku bahwa pak Yovie memperlakukan Maya seperti itu. Sepertinya pak Yovie suka sama Maya. Aku yakin dia suka sama Maya. Tapi dia menutupinya karena peraturan sekolah melarah murid dan guru tidak boleh berhubungan. Apa aku harus melepaskan Maya ke pak Yovie? Tapi entah kenapa berat banget buat lepasin. Bukan karena aku cemburu, tapi aku belum bisa mempercayai pak Yovie sepenuhnya.
Tiba-tiba Maya mengejudkanku. Aku menoleh ke arahnya. Ku tatap dia. Kulihat dari matanya dia sedang bahagia. Biasanya saat dia bahagia aku juga bahagia. Tapi kali ini tidak. Dia membaringkan tubuhnya ke atas kasur. Kulihat dia memejamkan matanya. Dia terlihat kelelahan. Dan tentu saja dia sudah tertidur pulas. Aku membenarkan posisi tidurnya agar nyaman.
Kutatap wajahnya yang begitu cantik sekaligus manis. Ku dekatkan wajahku ke sebelah kanan dia. Aku membaringkan tubuhku di sebelahnya. Ku menghadap kearahnya. Ku pandangi kembali wajahnya yang polos saat tidur itu. Dan aku pun memejamkan mataku. Terasa nyaman berada di sebelahnya.
Ku dengar pintu terbuka. Ku coba membuka mata. Dan aku tak percaya dengan apa yang ku lihat. Luna membawa pergi Maya yang masih tak sadarkan diri. Aku mencoba menyusulnya. Tapi tanganku terikat. Sejak kapan tanganku terikat? Kucoba melepaskan talinya. Tapi sangat sulit. Ku dengar suara mobil di depan rumah yang terdengar menjauh dari rumah. Jelas itu Luna. Gak bisa dibiarkan.
Tali ini sangat kencang. Tapi akhirnya aku bisa melepasnya. Buru-buru aku keluar rumah, masuk ke dalam mobil dan mengendarainya. Aku berjalan menuju rumah Luna. Jalanan sangat padat. Akhirnya kuputuskan leeat jalan kecil walaupun jauh yang penting bisa sampai.
Sesampainya di rumah Luna, kulihat ada mobil Luna. Aku masuk ke dalam rumah. Tapi pintunya terkunci. Tak perlu pikir panjang langsung ku dobrak pintunya. Dan tentu saja berhasil. Pertama kali yang kutuju adalah kamar Luna. Pasti dia membawa Maya ke sana. Ku dobrak pintu kamarnya yang tentu saja terkunci. Tak kulihat siapa pun disana. Kucari keseluruh penjuru kamar. Tapi tak ku temukan siapapun. Aku mendengar suara dari kamar mandi. Aku pun menghampiri kamar mandi. Ku dengar erangan Maya. Jelas sekali itu suara Maya. Ku coba buka dan lagi-lagi pintunya terkunci. Ku coba dobrak tapi tak terbuka. Ku coba tendang pun tak bisa. Ku ambil kursi yang tak jauh dari sana. Ku pukulkan ke pintu kamar mandi. Saat berhasil ku buka, aku mendengar jeritan. Saat aku melihatnya, sungguh diluar dugaanku.
Kulihat tubuh Maya yang sudah bersimbah darah. Di sebelahnya ada Luna yang memegang pisau. Dia menatapku tajam. Dia berhasil membuatku ketakutan. Aku melangkah mundur perlahan. Dia tertawa sangat kencang.
"INI KAN YANG KAMU MAU?! HAHAHAHAHA.... " teriak Luna padaku.
"Ke-kenapa kamu membunuhnya?! Bukannya kamu suka sama Maya?" tanyaku gugup karena masuh ketakutan.
"Kenapa? KENAPA KATAMU?! INI SEMUA KARNAMU! KARNA PERBUATANMU SENDIRI!" betaknya. Aku masih tepaku di ambang pintu.
"Aku tak mau ada yang memiliki Maya jika aku tak bisa memilikinya. TERMASUK KAMU! HAHAHAHAHAHA!!!" Tawa Luna sangat nyaring sekali. Dan berhasil membuatku merinding ketakutan.
"Dan sepertinya sekarang giliranmu untuk menyusulnya. Kamu mau selamanya sama dia kan?" Luna mengacungkan pisaunya ke arahku. Sontak saja aku lari. Tapi dia berhasil menangkapku. Kulihat matanya yang menyorotkan kebencian dari dalam. Aku merasa lemas. Tak bisa mengelak lagi. Aku meneriaki Maya dengan keras.
"MAYAAAAA!!!!"
.
.
.