Saat ponsel itu berdering, jantung berdetak kencang, hatiku benar-benar menggebu ingin segera mengetahui. Pikiranku dan Icha sungguh melayang-layang menantikan jawaban yang pasti jawaban itu sangat menegangkan.
"Hallo, Assalamualaikum, Paman? Bagaimana keadaan disana," sahut aku dengan tidak sabar.
"Arman, kapan kamu sampai di sini? Echa harus operasi karena patah kaki, sedangkan ayah dan ibumu ... Mereka kritis." Telinga ini bagai disambar petir, tubuhku yang sudah menderita kini bagai semakin disayat-sayat dan ditabur garam. Tenggorokanku kering hendak mengatakan apa, aku tak bisa berkata-kata.
"Apa?! Kritis, Paman?" bisikku pelan tak memiliki daya. Air mata, lagi sudah deras.
"Iya baru saja dokter keluar yang menangani kedua orang tuamu, dan yang menangani Echa mengatakan harus operasi karena mengalami patah kaki," ucap Paman disana.