Chereads / HANYA AKU UNTUK DIA / Chapter 47 - 47 Alasan Ayah

Chapter 47 - 47 Alasan Ayah

Ibu memelukku dengan erat, namun Ayahku masih tetap bersikeras dengan keputusannya.

"Ayah! Aku tidak setuju Putriku menikah dengan lelaki itu kalau memang dia tidak baik. Aku tak mau Putriku tidak bahagia, Yah, karena kebahagiaanya adalah kebahagiaan kita juga," bantah Ibu yang tak terima dengan kenyataan yang baru aku bawa.

"Dengar dulu, Bu, Nez," Ayahku mulai melembutkan nada bicaranya. Beliau mendekat kepada kami dan barulah mau duduk di sofa bersama kami.

"Ayah punya alasan kenapa masih mempertahankan dia. Maafkan Ayah kalau Ibu dan Inez ternyata tidak setuju, tapi ini semua demi kebahagiaan kalian ...." Ayah mulai menjelaskan alasannya berdasar logikanya sendiri.

Ayah mengatakan bahwa ia ingin aku dan Ibu bahagia dengan pria mapan yang memiliki penghasilan cukup. Sehingga mampu memiliki apapun yang aku dan anak-anakku kelak inginkan. Tidak bersusah payah seperti dirinya yang dari muda sangat rajin dan berusaha bekerja keras sebaik-baiknya tapi sampai sekarang ia merasa tetap tidak menjadi orang sukses, sedangkan Ayah melihat Pak Ronald yang dari dulu bandel, kini malah melejit sukses dan jadi keluarga kaya raya. Padahal belajar tidak rajin, sekolah juga sering bolos.

"Kenapa aku memiliki anak cuma satu? Ibumu inginkan anak lebih sebenarnya, tapi Ayah terlalu takut tak bisa membahagiakan kalian. Karena itu Ayah putuskan anak satu saja cukup. Lihat Ayah hanya mampu membeli rumah besar ini dan mobil yang sedikit mewah agar kita menjadi orang yang terpandang dan bisa dilirik oleh konglomerat meskipun penghasilan mencekik hanya habis untuk membayar cicilan? Aku tak mau itu terulang padamu Nez." ungkap Ayah yang tiba-tiba menampakkan wajah yang sangat sedih.

Ayah bilang tak mau hidupku tersentuh oleh cicilan dan kekurangan seperti Ayah saat ini, bisa memiliki anak sejumlah berapapun tanpa berat hati karena pasti tercukupi oleh pendapatan suami yang bisa diandalkan. Ayah merasa sampai seusia segini belum bisa membahagiakan aku dan Ibu. Beliau menjelaskan bahwa Ayah iri dengan teman-teman kantornya yang sering membawa anak istrinya berlibur ke Luar negeri, padahal gaji mereka sama jumlahnya.

Ayah juga iri saat acara-acara kantor atau pertemuan dan undangan. Ayah tak bisa memberi penampilan yang terbaik untuk Ibu, seperti membelikan gaun baru pada setiap acara, ke salon untuk perawatan tubuh dan wajahnya. Hingga ia sedih membiarkan wanita yang Ayah cintai menjadi tak secantik istri rekan-rekannya. Ayah bukan malu dengan Ibu, tapi Ayah hanya menyesal tak bisa memberikan yang terbaik untuk istrinya itu.

Entah Seorang Riyanto Yulivan tiba-tiba berkaca-kaca dan menangis menutupi wajahnya, Ayahku sungguh sangat terpukul selama ini melihat aku dan Ibu tak pernah menuntut apapun kepadanya, padahal ia melihat rekan-rekannya yang lain sangat bisa membahagiakan anak dan istrinya dengan maksimal.

"Aku tak bisa memberikan dan memenuhi kebutuhan kalian dengan maksimal. Itu membuat aku sangat terpukul. Gaji Ayah hanya habis untuk makan sehari-hari dan kreditan mobil juga rumah ini." lanjut Ayah.

Aku dan Ibuku terdiam. Baru kali ini kami melihat Ayah menangis dan menumpahkan isi hatinya. Kejujuran hatinya, ternyata Ayahku yang kaku dan keras kepala itu mungkin diakibatkan oleh perasaan bersalahnya dan juga beban yang ia pikul sendiri.

"Ayah, aku sudah bahagia bersamamu, juga dengan kehadiran Inez. Aku tak butuh yang lebih, Yah," ucap Ibu menenangkan Ayah, Ibu mengelus punggung Ayah, sedangkan aku masih menangis mencoba mencerna alasan Ayahku.

"Kau lihatlah Micellin, Mamanya Royan. Dia lebih tua dari Ibumu. dia teman sekolah Ayah juga dan seusia Ayah, tapi lihat masih bisa tampil muda dan modis dengan uang suaminya. Sedangkan Ayah? Ayah tak bisa apa-apa untuk Ibumu, yang harusnya bisa lebih cantik dari Micellin itu," sesal Ayah akan dirinya sendiri.

"Ayah ... kami sangat bahagia dengan segala kasih sayang dan pemberian Ayah, setiap hari kita semua tersenyum. Mana pernah hari-hari kita menangis dan menuntut Ayah? Aku juga tak ingin ke salon segala macem, semua sudah aku syukuri." jawab Ibu.

"Tidak, kalian memang perempuan hebat tak pernah menuntut Ayah, tapi Ayah yang sedih. Aku sangat ingat waktu Inez masih kecil, kamu ingin ikut Ayah saat pertukaran pegawai ke Australia. Kamu nangis-nangis dan Ayah tak bisa membawa kalian. Teman-teman Ayah semua mengajak anak dan istrinya selama seminggu. Aku lihat mereka bahagia sekali, tak seperti Ayah. Ayah sangat sedih, makan enak ingat kalian, tidur di hotel berbintang ingat kalian. Sejak saat itu Ayah ingin kita kaya seperti teman-teman Ayah,"

"Ayah, itu hanya persepsi Ayah saja, Ayah tidak boleh berfikiran begitu. Itu namanya tidak bersyukur Ayah, kita sudah bahagia dengan semua ini. Ayah, jangan melihat kekayaan. Itu tak menjamin kebahagiaan," ungkapku dengan sendu.

"Kekayaan memang menjamin! Tak ada yang mengubahnya. Ayah lihat sendiri. Ronald dan Micellin anaknya tiga dan semua anaknya sekarang sudah punya usaha masing-masing. Mereka semua bahagia, tidak seperti Ayah."

"Dan Ronald, aku tahu dia masa sekolahnya sangat tengil, tukang pacaran dan langganan kena strap. Buktinya dia setia kepada Micellin. Sampai sekarang, jadi kalau masa remajanya sudah nakal. Dewasanya pasti sudah kapok, mereka akan berubah lebih baik." Ayah menjelaskan seakan itu logika matematika. Dikira satu tambah satu selalu jawabannya dua. Padahal untuk ukuran watak dan perilaku manusia tidak bisa berpatokan pada itu.

"Ayah, tak ada yang menjamin dia akan sama dengan Pak Ronald, bagaimana kalau dia berbeda? Bagaimana kalau dia belum jera dengan sifat playboynya?" bantahku menyerang Ayah.

"Pokoknya Ayah ingin membuktikam teori Ayah. Kamu harus bahagia dengan suami yang bisa mencukupimu. Titik! Tak akan ada yang mengubahnya. Kalau suatu saat nanti dia berani menyakiti putri Ayah, akan aku bantai semua keluarganya. Masuk penjara pun aku tak masalah! Ingatlah, ini janji Ayah,"

Ternyata Ayah tetap bersikukuh akan pendiriannya, meskipun Ibu dan aku membantahnya, Ayahku tak mau mengubah keputusan itu. Aku harus tetap menikah dengan menantu idaman Ayah itu. Meskipun sudah tahu kalau Royan bukan lelaki yang baik seperti Arman.

Aku dan Ibu hanya menangis, begitupun Ayah ... tapi beliau sudah menyeka air matanya. Iya juga, Ayah ada sedikit benarnya, meskipun tak semua pendapatnya benar, tapi ada yang benar, harusnya aku sudah dewasa dan bekerja ini lebih memperhatikan Ibu, mengajaknya ke salon bareng, shopping dan beli baju bareng. Harusnya seperti itu agar Ibu lebih bahagia. Lagian kalau aku memang menikah waktuku sudah tersita dan tak bisa lagi berduaan dengan Ibuku. Ayo Nez berjanjilah bahwa aku akan bisa membahagiakan Ibu dan lebih menghabiskan waktu bersamanya juga Ayah. Agar aku tak menyesal kemudian hari karena sudah tak punya waktu untuk bersenang-senang bersama mereka.