Chereads / HANYA AKU UNTUK DIA / Chapter 43 - 43 Terpaksa Dinner

Chapter 43 - 43 Terpaksa Dinner

"Eh, ayok makan dulu, beneran enggak apa-apa. Ayok tolong jangan ditolak. Aku jujur saja sangat lapar. Jangan malu-malu, teman Inez brarti teman aku juga. Nanti kalau aku sudah nikah bakal sering ketemu juga, kan kita? Hayuk," ajakku kasihan juga nasib Liza ini, Inez kemana sih? Aneh sekali. Dia juga kulihat menarik-narik gaunnya yang pendek itu, seperti tidak nyaman dengan pakaiannya, dan wajahnya sangat merah.

Akhirnya aku dan Liza naik ke lantai tiga dan kami duduk di food courd berdua, dia kulihat masih sangat malu dan canggung. Akhirnya ya aku yang coba memulai pembicaraan duluan. Menanyakan tentang dirinya itu. Sambil menunggu pesanan kami datang. Kutatap dia juga terus mencoba menghubungi Inez, sambil terdengar ngomel sendiri meskipun pelan, tapi aku bisa mendengarnya dengan jelas.

Kulihat wajahnya sangat tidak nyaman dengan dinner ini denganku, aku juga mencoba mebghubungi Inez, tetap saja nihil. Apalagi aku? Liza yang serasa saudara saja di tinggal dan di cuekin begini, aku sendiri sudah tahu kalau Inez enggak akan mungkin mau mengangkat telefonku, dia sangat membenci aku, tapi minimal dihadapan temannya ini, aku ada usaha untuk membantunya yang terlihat sangat galau.

"Liza, mari sebaiknya kita makan dulu saja, nanti kita coba hubungi lagi, okey? Lihatlah jam sudah semakin malam, agar kau juga tidak terlalu telat pulangnya."

"Maafkan aku ya, Mas. Aku jadi merepotkanmu. Inez beneran menghilang tidak bisa dihubungi sekarang. Aku jujur saja tidak enak kepadamu." Liza mencoba mengambil piringnya dan berusaha perlahan menyuapkan pada mulutnya.

"Tidak apa-apa, aku juga tidak tahu kalau terjadi seperti ini. Aku tiba-tiba dihubunginya dan dia mengajak aku makan malam sekarang. Aku juga tak mengerti kenapa dia menghilang?"

Setelah kami selesai makan, aku dan Liza beranjak dari tempat duduk kami, dan memang ingin pulang, takkan mungkin kami menunggu Inez lagi, dia pasti sudah pulang. Dan entah ini maksudnya apa? Aku selalu dibuatnya kesal, tapi saat melihat wajahnya. Sungguh dia tampak imut dan meluluhkan hatiku lagi. Akan aku tanyakan besok kepadanya. Apa maksud semua ini. Aku merasa ini terlalu malam untuknya pulang, karena dia temannya Inez, maka aku pastikan dia sampai di parkiran dengan baik, pikirku dia harus menaiki mobilnya dulu baru aku akan ke mobilku.

Wajah Liza nampak pucat ketika ia melihat keadaan mobilnya.

"Ah Sial!" umpatnya.

"Kenapa?!"

"Lihatlah itu." Dia menunjuk ke arah ban mobilnya, tampak ia menggeleng-geleng makin geram. Seketika itu juga aku melihat ke arah ban mobil dia, ternyata benar, ban itu kempes tak ada angin.

"Ban mobilmu kempes. Sebaiknya aku mengantarmu ke rumah, tolong jangan sungkan. Aku tak ada maksud apa-apa. Semua ini terjadi karena Inez. Dia adalah tanggung jawabku," tawarku kepada Liza.

"Tidak usah, Mas. Aku bisa naik Gr*b car kok. Tenang saja. Aku juga sudah biasa," jawabnya.

"Se-malam ini juga kurang aman jika kau naik Gr*b car dengan orang yang tak dikenal, aku antar saja. Kau akan aman, aku calon suami temanmu. Jadi meskipun kita baru kenal, tapi kamu tak perlu khawatir." Aku terus memaksanya untuk menerima ajakanku. Karena aku melihat wajahnya yang sangat lelah dan kesal itu. Sungguh sangat kasihan dia harus seperti ini gara-gara tindakan calon Istriku.

"Liza, mari ke mobilku, besok kau bisa ambil kesini mobilmu. Aku juga meminta maaf atas ketidaksopanan Inez, bagaimanapun dia adalah orang dekatku yang membuatmu jadi tidak nyaman begini," ujarku agar dia sedikit tenang menjalani saat ini untuk bareng dengan aku.

"Kamu tak perlu meminta maaf Mas, ini kan bukan salahmu. Ini jelas salah dia, dia sengaja melakukan ini kepada kita." Liza tampak bersungut-sungut.

"Iya, tolong jangan benci dia. Aku tahu cuma kamu sahabat terbaiknya untuk menemani dia disaat beratnya, aku rasa dia tidak sepenuhnya bersalah juga. Dia sedang dalam kondisi tertekan," balasku untuk menenangkannya lagi.

"Iya aku tahu, tapi tidak seperti ini juga caranya? Aku yang tak tahu apa-apa masak kena imbasnya begini?" Liza berkata semakin penuh penyesalan.

***

KEESOKAN HARINYA ...

"GUBRAKH!!! ... BUKH!! BUKH!!! ...."

"Klontang!!! Klonteng!!!"

"WERRR!!! SERRR!!!"

Saat aku tiba di kantor, dari jauh aku melihat Liza yang teramat sangat marah. Dia melempar semua peralatan yang ada, Buku-buku, kertas HVS yang bertumpuk, alat-alat kantor kami, peralatan tulis dan masih banyak lagi hingga menimbulkan suara yang bising sekali.

[GLEKH!]

"Mati aku! Liza mengamuk pagi ini, gara-gara aku kemarin, memang setelah aku meninggalkan mereka aku sengaja mematikan ponselku, agar rencanaku berjalan sempurna." Gumamku dalam hati.

"Kalau aku kesana sekarang, aku akan langsung di terkamnya seperti singa kelaparan, haduuuh. Aku mau tunggu Arman saja," tambahku masih dalam hati. Aku pun keluar lagi dari kantor menunggu Arman datang untuk menyelamatkan aku.

"Kamu ngapain disini Nez?" Arman tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangku.

"Aku lihat dari jauh tadi kamu mondar-mandir saja, seperti kebingungan? Kenapa enggak masuk saja? Ada apa?" lanjut Arman penasaran.

"Aku takut diamuk Liza. Dia kalau marah sungguh mengerikan. Itu sekarang ruangan admin diacak-acak sama dia marah-marah."

"Marah-marah kenapa?" Arman semakin bingung denga penjelasanku yang hanya sepotong. Akhirnya aku menceritakan semua detail kejadian kemarin sore di TP* Mall Plaza Surabaya itu. Arman malah membungkam mulutnya sambil cekikikan seakan ada yang lucu. Aku langsung menendang kakinya. Dia mengangkat kakinya kesakitan karena aku mamakai sepatu Pantovel.

"Iiiih ... Malah ketawa sih? Aku sungguhan takut nih," cetusku kepada Arman.

"Ya, kamu itu kebangeten, Nez. Itu keterlaluan, aku enggak sampai ngira kalau kamu setega itu pakai cara seperti itu?" Arman malah menyalahkan aku. Aku begini itu juga demi dia. Dia enggak tahu bagaimana aku susahnya mengatur rencana itu.

"Ya sudah, ayo masuk sama aku." Aku berjalan di belakang Arman dengan tujuan bersembunyi. Dia tiba-tiba tahu kedatanganku. Liza menatapku tajam dan penuh dendam seakan bertemu musuh bebuyutan.

Akhirnya dia melempar segala apa yang tadi ia buang dan segala yang masih ada di meja. Ia lemparkan ke arahku.

"Minggir Arman! Aku punya urusan sama makhluk yang satu itu, minggir atau kau juga kena?" Liza terus melempar ke arah kami. Ada Tipe X, selotip, spidol, board marker, penghapus papan, buku dan lain sebgainya.

Arman berusaha menangkis dengan tasnya, dan aku? Menunduk mencari perlindungan dibalik punggungnya.

"Arman jangan ikut campur! Dia sudah kurang ajar banget sama aku! Dia mempermainkan aku juga membohongi kami! Dasar menghalalkan segala cara untuk kesenanganmu!!" teriaknya menggebu-gebu.

"Tapi, kan sebenarnya niatku amat baik Liz. Siapa tahu dia suka padamu? Lalu kalian berjodoh? Soalnya kalian kayak cocok deh dari segi latar belakang keluarga."

"Itu bukan alasan! Lagian main ketemuin kami berdua? Sungguh itu gak lucu! Tega sekali kamu mengempeskan ban mobilku?! Senang kamu Hah?!" Liza masih terbakar amarah. Dia berlari mendekatiku dan berusaha meraihku, tapi Arman berusaha tetap melindungi aku dari kebengisan dendamnya.

"Liza, tolong maafkan dia. Sekarang, kan Inez sedang kebingungan untuk keluar dari masalahnya. Aku tahu dia salah, tapi ayok kita bicarakan baik-baik. Dia nekat melakukan hal yang tak masuk akal ini pasti ada alasannya. Maafkan dia ya?

"Tapi ya kira-kira dong, sadis amat mbohonginnya? Harga diriku langsung jatuh dan sangat memalukan!! Awas kau kalau kena nanti. Aku cincang halus dirimu. Huh!!!" Liza berhenti menggangguku lagi, tapi dia pergi ke luar kantor. Dan sekarang ruanganku sangat berantakan? Akhirnya ya aku dan Arman yang merapikan. Humm nasib ya nasib.