Chereads / Inevitable Fate [Indonesia] / Chapter 8 - Dia Memang Baik dan Dermawan

Chapter 8 - Dia Memang Baik dan Dermawan

I'm a survivor, I'm gonna make it

I will survive, keep on survivin'

- Survivor by Destiny's Child -

==========

Entah kenapa, setiap Reiko menatap mata Nathan Ryuu, dia seperti orang tolol yang patuh tanpa bisa memberikan penolakan.

Berkat bujukan dari Nathan Ryuu dan diyakinkan juga oleh Bu Meguro, akhirnya Reiko pasrah ketika dua kancing teratas piyamanya diurai agar dokter Anzai bisa menempelkan stetoskop ke dada kiri atas dia.

Meski risih, apalagi ada sensasi dingin ketika permukaan alat itu terasa dingin di kulit Reiko, dia menahannya. Mungkin uang makan untuk seminggu ini dia relakan saja sebagai pembayaran untuk dokter.

Kemudian, dokter juga memeriksa tekanan darah Reiko menggunakan alat lainnya yang dibelitkan di lengan. Lalu, dokter memeriksa luka-luka di wajah Reiko.

"Ssshh!" Gadis itu mendesis kesakitan saat salah satu lukanya disentuh. Baru inilah Reiko menyadari ada yang terasa sakit di wajahnya.

"Hm, nanti biar perawat yang membersihkan luka, aku akan menuliskan resep obat dulu." Dokter Anzai mundur dan berjalan keluar kamar tersebut.

Setelah kepergian sang dokter, Reiko lekas meraih selimut di ujung tempat tidur untuk dijadikan tameng pelindung terbaik bagi dirinya.

Tak berapa lama, seorang perempuan muda dengan pakaian putih khas perawat pun datang ke kamar itu dan mendekati Reiko. "Permisi, saya Akiko, akan memeriksa tubuh Nona." Ia membungkuk memperkenalkan diri. Lalu menatap ke Nathan Ryuu sambil berkata, "Maaf, Tuan, bisakah Tuan keluar dulu sebentar?"

"Ohh, ya." Nathan Ryuu sadar dia memang harus keluar dan paham apa yang akan dilakukan sang perawat. "Biarkan Bu Meguro tetap di sini."

"Baik, Tuan." Perawat dan Bu Meguro secara hampir bersamaan menjawab Onodera Ryuzaki.

Usai keluarnya pemilik rumah, Bu Meguro menutup pintu dan perawat mendekat dan duduk di tepi ranjang.

"Nona, permisi, tolong ijinkan saya untuk memeriksa tubuh Nona." Suster Akiko menundukkan kepala secara hormat pada Reiko. Menilik dari besarnya vila ini, mana mungkin si perawat bertindak sembrono pada siapapun pasien yang ada di rumah itu?

Reiko menatap Bu Meguro dan wanita paruh baya itu mengangguk. Akhirnya, Reiko pun membiarkan perawat untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh pada dirinya, termasuk di bagian intimnya.

"Ke-kenapa harus itu juga?" tanya Reiko, mulai panik ketika celana piyama kedodoran itu hendak dipelorotkan Suster Akiko.

"Maaf, Nona, saya harus memastikan apakah bagian itu memiliki trauma, karena jika iya, maka saya harus menuliskan laporan dan menyampaikan ke dokter agar dilakukan tindakan perawatan lebih mendalam." Suster Akiko melantunkan suara lembutnya.

"Harus?" tanya Reiko lagi dengan wajah tak yakin. Dia tentu saja risih jika harus memperlihatkan bagian intim dia pada orang lain, meskipun itu sesama perempuan.

"Nona," ucap Bu Meguro, "biarkan suster melakukan tugasnya dan Nona akan baik-baik saja."

Reiko bimbang tapi kemudian dia menyerah dan membiarkan celana itu diloloskan dari kedua kakinya. Yang membuat dia terkejut, ternyata dia tidak memakai celana dalam! Ohh, bahkan kini dia menyadari dia juga tidak memakai bra!

Siapa yang melucuti itu semua dari tubuhnya? Semoga saja bukan lelaki itu! batin Reiko.

Suster Akiko melakukan tugasnya dengan cepat, tangkas dan benar. Walaupun Reiko merasa risih ketika daerah intimnya harus diperiksa dan dia harus membuka pahanya, ia hanya bisa meremas selimut di samping tubuhnya dan menggigit gerahamnya. Ia sangat malu bagian terintim dia dilihat intens bahkan disinari lampu terang di sana.

"Ahh, sudah semua." Suster Akiko menarik kepalanya dari pangkal paha Reiko dan tersenyum sembari dia membereskan peralatannya. "Ternyata tidak terjadi apa-apa di situ, syukurlah."

"Ohh." Reiko masih tak paham apa maksud ucapan perawat barusan dan hanya merespon dengan wajah bingung saja.

"Nona, izinkan saya memeriksa dan mengobati luka Anda." Suster Akiko menundukkan kepala meminta izin dengan sangat sopan pada Reiko.

Menerima perlakuan sangat istimewa begitu, mana mungkin hati Reiko tidak tergugah. Meskipun masyarakat Jepang terbiasa berlaku sopan pada orang lain, tapi akan ada bedanya jika perlakuan itu ditujukan pada orang berkuasa atau orang kaya yang berpengaruh. Kesopanannya lebih mendalam.

"Baiklah." Reiko dibantu Bu Meguro memakai kembali celana piyama besar itu.

Setelah mendapatkan izin dari Reiko, Suster Akiko pun mulai melihat luka di wajahnya dan lekas mengobatinya. Reiko beberapa kali meringis sembari mendesis ketika luka berdarahnya tersentuh obat luka. Dia merintih pelan ketika merasa ngilu di beberapa lebam yang diolesi salep oleh perawat.

"Saya meminta izin akan memeriksa sekujur tubuh Anda, Nona. Jika terasa sakit, jangan ragu-ragu untuk mengaduh." Suster Akiko

Reiko mengangguk saja. Kemudian, perawat mulai menekan-nekan dari kepala sampai ke ujung kaki. Dia beberapa kali memekik pelan ketika ada yang terasa ngilu. Di lengan kiri, di dekat telinga kiri, di samping payudara kanan dan di paha kanan.

Sepertinya Yamada Shoichiro benar-benar kesal pada perlawanan Reiko sampai dia memukul tanpa ampun di bagian tersebut. Rupanya peralatan dan obat darurat yang dibawa sang perawat memang lengkap di tasnya.

Suster Akiko mulai mengoleskan salep khusus luka lebam di bagian-bagian tadi dan berkata, "Nona, terus oleskan salep ini di bagian yang terasa ngilu. Nanti bisa dibantu Ibu." Dia menoleh ke Bu Meguro.

"Baik, serahkan saja tugas itu kepada saya." Bu Meguro menundukkan punggungnya. "Terima kasih, Suster Akiko."

Reiko tersadar dan mengucapkan, "Terima kasih sekali, Suster."

Suster Akiko tersenyum dan berkata sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam ke Reiko. "Sudah merupakan kewajiban saya. Permisi, saya keluar dulu." Ia pun bangkit dari tepi tempat tidur dan melangkah keluar dari kamar.

Di luar, Nathan Ryuu melihat perawat muda itu keluar dan bertanya, "Sudah semuanya?"

"Sudah, Tuan." Suster Akiko membungkukkan badan ke Nathan Ryuu. "Sudah saya obati luka luar dan juga lebam-lebamnya."

"Apakah banyak?" tanya Nathan Ryuu. "Dan bagaimana dengan ...."

Suster Akiko paham apa saja yang ingin diketahui Onodera Ryuzaki. Maka dari itu, dia pun menjelaskan semua pemeriksaan tadi.

"Hm, syukurlah kalau memang dia tidak sampai mengalami pemerkosaan." Nathan Ryuu lega. "Tapi, tetap saja dia telah mengalami pelecehan dan kekerasan. Tidak boleh dibiarkan! Dokter Anzai, apakah kau sudah menulis laporannya?"

"Akan saya kerjakan setelah ini, Tuan. Jika sudah selesai, saya akan serahkan pada Tuan." Dokter Anzai mengerti bahwa Nathan Ryuu meminta dia untuk menuliskan visum et repertum.

Meskipun biasanya visum diminta oleh pihak berwenang seperti polisi, jaksa atau hakim, namun seseorang seperti Nathan Ryuu mengapa tidak bisa memintanya? Tentu saja bisa!

"Ya, kerjakan saja, nanti akan aku suruh asistenku untuk mengambilnya." Nathan Ryuu kemudian mengantar dokter dan perawat sampai ke teras depan. "Terima kasih atas pekerjaan baik dokter dan suster."

Mereka saling membungkuk sebelum dokter dan perawat itu masuk ke mobil dan pergi dari sana.

"Tuan Ryuu sangat baik, yah Dok." Suster Akiko awalnya mengira Reiko mengalami kekerasan oleh Nathan Ryuu, tapi kemudian dia langsung tahu bahwa pelakunya bukan Onodera muda.

"Ya, dia memang baik dan dermawan. Nona itu sangat beruntung." Dokter melajukan mobilnya.